PANDANGAN ISLAM TERHADAP DEMOKRASI
Perdebatan Islam dan Demokrasi
Hubungan antara Islam dan demokrasi
atau dengan kata lain, potensi demokrasi Islam sebagai sebuah agama,
budaya dan peradaban masih menjadi isu yang sangat kontroversial. Salah satu
sisi perdebatan adalah adanya pembedaan yang seringkali dibuat menyangkut
nilai-nilai disatu sisi dan teknik pada lain sisi. Teknik-teknik dinyatakan
bersifat netral dari sudut pandang agama dan moral yang berarti pula bisa di
ambil dan diadopsi dari masyarakat Barat dengan tetap mempertahankan
nilai-nilai Islam yang utuh dan tidak diselewengkan. Kenyataan yang melahirkan
sikap moderasi, suatu sikap yang dilahirkan dari asumsi bahwa tidak semua
ajaran dalam demokrasi bertentangan secara diametral melainkan ada kesejalanan
dengan Islam dalam pelaksanaan yang bersifat teknis.
Selain persoalan tersebut, yang tak kalah kontroversialnya adalah persoalan
perlunya suatu otoritas politik untuk menerapkan seperangkat hukum agama
(Islam), suatu yang sangat ditentang dalam demokrasi. Alasannya tidak
boleh ada dominasi politik tertentu dalam demokrasi, melainkan dalam demokrasi
tersebut haruslah mencerminkan kepentingan seluruh komunitas. Sesuatu yang
senyatanya mencerminkan paradoksial-paradoksial. Oleh karenanya dapat dilihat
bahwa teori dan praktek selalu tak pernah sejalan. Salah satu contohnya adalah
asumsi suara mayoritas dalam pengambilan keputusan. Kenyataan bahwa tidak
semua pandangan mayoritas dijadikan keputusan dan hampir semua pandangan
mayoritas tertolak dalam pengambilan keputusan.
Seluruh pandangan
kontroversial tersebut setidaknya telah memformulasikan profil publik ke dalam
tiga medan dikotomis antara yang pro (Progresif realistis), setengah menolak –
setengah menerima (progresif moderat), Dan kontra (Progresif radikal). Kelompok
yang pro terwakili oleh kelompok yang menganggap demokrasi adalah sebuah
idealitas dan pilihan terbaik dibandingkan sistem politik otoriter. Kelompok
kedua berasumsi didalam demokrasi terdapat prinsip-prinsip yang boleh
diambil dus dijalankan. Sedangkan kelompok yang ketiga menganggap, sebagaimana
dalam demokrasi yang berisi nilai-nilai dan teknik, maka didalam Islam
pun terdapat nilai-nilai dan teknik yang antitesis terhadap demokrasi.
Lebih lanjut, lebih lanjut kebutuhan institusi politik dalam rangka penerapan
supremasi hukum menjadi kebutuhan pokok dan mendesak. Telaahan kedalam akar demokrasi
menjadi sedemikian urgen untuk menemukan realitas demokrasi yang
sesungguhnya serta korelasinya dengan Islam. Apakah korelasi yang positif ataukah
negatif.
Akar Demokrasi; Sekulerisme!
Bila ada kosa kata politik yang paling banyak digunakan akhir-akhir ini
itulah demokrasi. Tidak ada satu
kejadian politik pun yang terjadi dibelahan dunia manapun melainkan digiring
menuju pelaksanaan demokratisasi di segala bidang. Termasuk dalam hal wacana civil
society yang dikembangkan oleh beberapa kalangan belakangan ini pun tidak
terlepas dengan konteks diatas, sebab proses demokratisasi berjalan bila
melibatkan peran serta rakyat sebagai pemegang kedaulatan dan bertindak sebagai
kekuatan penyeimbang negara (counter balancing the state) yang dirasakan
bersifat eksesif dan hegemonik terhadap rakyat atau dapat diistilahkan civil
society ini bersikap opositif terhadap negara. Dengan pemberdayaan civil
society ini diharapkan kultur demokrasi
bisa tumbuh dan berkembang dengan melibatkan peran individu / kelompok diluar
lingkaran kekuasaan untuk menentukan berbagai macam pola kebijakan. Oleh
karenanya kajian komprehensif mengenai demokrasi
sebagai main target pemberlakuan civil society menjadi sesuatu
yang urgen.
Adanya korelasi antara dua gagasan ini tidaklah sulit untuk dipahami,
karena banyaknya tulisan yang menunjukkan hal tersebut. Dalam pandangan Giovani
Sartoni, demokrasi bukan
otoritarianisme, bukan totalitarianisme, bukan absolutisme dan bukan
kediktatoran. Sartoni mengatakan demokrasi
adalah suatu sistem dimana tidak seseorangpun dapat memilih dirinya sendiri,
tidak seorangpun memberikan kepada dirinya sendiri suatu kekuasaan pemerintahan
dan karenanya, tidak seorangpun merebut kekuasaan untuk dirinya secara tidak
terkontrol dan tidak terbatas.
Pada titik
inilah persinggungan antara demokrasi
dan civil society. Intinya keduanya memberikan ruang gerak dan aspirasi politik
bagi kelompok-kelompok masyarakat agar dapat eksis dan bergerak. Tapi mungkinkah seluruh aspirasi politik itu
tertampung didalam demokrasi? Satu
pertanyaan yang senantiasa dicari-cari alibinya oleh pengusung demokras.
Satu hal yang harus difahami didalam mengetahui hakekat demokrasi, bahwa demokrasi tidak bisa dilepaskan dari konteks latar belakang
kemunculannya (historical background) dan apa yang diinginkan oleh para
penggagasnya, sehingga dari sanalah kita akan memperoleh deskriptif yang
obyektif bukan subyektif, sebagai prasyarat berfikir yang rasional.
Demokrasi
merupakan kata yang mempunyai konotasi istilah yang khas, yang sengaja di
pergunakan oleh pencetusnya untuk menyebut sistem pemerintahan tertentu, yang
di bangun berdasarkan asas rakyat sebagai sumber kekuasaan, yang antara lain
rakyat di beri hak membuat undang-undang dan sistem atau yang lazim dipahami
dengan istilah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat ini eksis bilamana rakyat
berkuasa –bila individu memiliki kesamaan hak berpartisipasi dalam proses
politik dan bila satu-satunya tujuan pemerintah adalah menjamin kepentingan
seluruh rakyat, dan bukan orang-orang dari lapisan atau kelompok kepentingan
tertentu.
Ini merupakan posisi teoritis. Arti penting praktisnya adalah bahwa konsep
ini mewakili suatu tujuan di mana rezim-rezim politik yang mengaku menghargai
kedaulatan rakyat harus berusaha mencapainya. Dalam pengertian praktis,
kedaulatan harus dinyatakan dengan tegas melalui pranata yang tidak mesti
sempurna, tetapi setidak-tidaknya memungkinkan rakyat memilih wakil-wakil dan
–baik secara langsung (direct) atau tidak langsung (indirect)- ,
memilih suatu pemerintahan. Pemerintahan adalah sumber legitimasi politiknya.
Symptom ideologi ini muncul sebagai counter atas dominannya penguasa Eropa
–pada abad pertengahan yang gelap “the dark middle age”- yang berasumsi
bahwa mereka adalah wakil tuhan di bumi dan berhak memerintah rakyat
berdasarkan kekuasaan tuhan. Saat itu para raja dan kaisar memanfaatkan agama
(kristiani) untuk mengeksploitasi dan mendzalimi rakyat. Akibatnya berkobarlah
pergolakan sengit antara penguasa (para raja)dengan filosof yang mewakili
rakyat.
Para filosof beranggapan, bahwa pergolakan itu pada intinya antara kelompok
pencerahan mereka sendiri dan para pembawa kegelapan gereja-gereja kristen
ortodoks yang telah mapan. Mereka merasakan agama (kristen) terutama
sebagaimana direfleksikan dalam perjanjian lama, yang membentuk rentetan dogma
dosa asal dan visi mesianis penyelamatan duniawi lainnya. Padahal, manusia
menurut mereka, memiliki kapasitas alamiah untuk berbuat kebajikan, atau
kebebasan untuk berbuat kesempurnaan.
Disamping
menolak apa yang mereka pandang sebagai dogmatisme teologi kristen, mereka juga
mengecam tradisi filsafat spekulatif, yang berpuncak dalam sistem besar
metafisika abad ke tujuh belas. Kosmologi Descartes, Leibniz, Spinoza dan
Malebranche di zaman pencerahan dipuji
karena keluasan ilmunya tetapi pada saat yang sama ditolak karena
keabstrakannya, begitulah kesan yang di tanamkan oleh apa yang di lukiskan oleh
d’Alembert sebagai “semangat sistem” ketimbang “semangat sistematik”
dari zamannya yang tercerahkan.
Diatas semua itu, para filosof yakin bahwa pendahuluan-pendahuluan
metafisika mereka juga banyak menekankan perhatian kepada prinsip-prinsip
pertama pemerintahan, dan tidak cukup pada maksud, tujuan, fungsi dan kegunaan
pemerintahan. Perhatian pemikir-pemikir abad ke tujuh belas tercurah kepada
masalah kedaulatan dan sumbernya, apakah kedaulatan harus absolut atau
terbatas, apakah merupakan pemberian tuhan atau prestasi “persetujuan
masyarakat”.
Setelah melewati konfrontasi yang berkepanjangan, pergolakan ini menemukan
ending-nya dengan suatu jalan tengah (kompromistis). Para gerejawan harus mengakui
mengakui hak-hak politik publik[i], sekaligus
mengakhiri hak suci raja / kaisar (Divine
Right of Kings) dan pemikir pun harus mengakui keberadaan agama, tetapi
dibatasi dalam lingkup yang bersifat privacy. Sejak saat itulah kedaulatan yang
sebelumnya berada di tangan para raja di alihkan ke tangan rakyat. Jargon vox
populi vox dei (suara rakyat adalah suara tuhan) adalah harga mutlak
menggantikan slogan I’etat c’est moi (saya adalah negara) maka
pemerintah adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sebagai institusi
politik resmi yang akan melaksanakan volonte generale (keinginan
rakyat). Momentum bersejarah inilah yang kemudian melahirkan demokrasi dan mengakhiri era kekuasaan
absolut para raja dan teokrasi di Eropa pada waktu itu.
Sekulerisme benar-benar menggembirakan hati para pemikir dan filosof. Tidak
ada lagi gereja yang memenjarakan kebebasan berfikir mereka. Politik dan segala
urusan duniawi telah menjadi sangat bebas nilai. Tidak ada satupun yang
membatasi; tidak nilai agama dan tidak pula nilai moral.
Mulailah para
filosof dan pemikir mulai membahas permasalahan pemerintahan dan menyusun
konsep sistem pemerintahan demokratis yang menempatkan rakyat sebagai sumber
hukum dan kekuasaan yang tidak terikat dengan nilai-nilai spiritualitas agama.
Jadilah gagasan-gagasan demokrasi
sebagai platform sebuah negara yang ideal dan menjadi pusat perhatian
para pemikir semisal Rousseau, John Locke, Voltaire, Montesquieu dan lain-lain.
Mereka inilah tokoh-tokoh yang banyak merumuskan gagasan demokrasi Barat yang inheren sampai kondisi kontemporer saat ini.
Rosseau dan John Lock merumuskan teori kontrak sosial[ii]
sedangkan Montesquieu merumuskan trias politica[iii].
Jadi, hakekatnya, demokrasi
tidak bisa melepaskan dirinya dari landasan epistemologisnya yang berwatak sekuler.
Harvey Cox mengemukakan sebagaimana yang dikutip oleh Amin Rais (1991);
komponen-komponen sekulerisasi adalah disenchanment
of nature, desakralisasi politik, dan dekonsentrasi nilai-nilai. Disenchanment of Nature berarti
pembebasan alam dari nilai-nilai agama agar masyarakat dapat melakukan
perubahan dan pembangunan dengan bebas. Desakralisasi politik bermakna
penghapusan legitimasi sakral (agama) atas otoritas dan kekuasaan. Hal ini
merupakan syarat untuk mempermudah kelangsungan perubahan sosial dan politik
dalam proses sejarah. Sementara itu, dekonsentrasi nilai-nilai maknanya adalah
perelatifan setiap sistem nilai, termasuk nilai-nilai agama, supaya manusia
bebas mendorong perubahan-perubahan evolusioner tanpa terikat lagi dengan
nilai-nilai agama yang bersifat absolut.[iv]
Inilah makna kata-kata demokrasi
yang di konklusikan oleh sebagian orang dengan pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Sehingga ketika kata demokrasi di ucapkan, itu artinya mengandung konotasi makna-makna
tersebut.
Dalam kenyataannya, demokrasi
memang meremehkan nilai-nilai agama dan memandang agama sebagai masa lalu yang
sudah tidak tidak lagi memiliki bargaining sama sekali dalam masalah
pemerintahan. Agama hanya dibiarkan tumbuh dan berkembang hanya sebatas pada
kehidupan individu, sedangkan upaya untuk melegal-formalkan aturan yang berasal
dari tuhan (Allah) dalam sebuah pranata negara dianggap sebagai tindakan yang
ademokratis, sekalipun ‘mayoritas masyarakat’ menginginkannya.
Di era modern,
gagasan ini di adopsi oleh sistem ideologi kapitalisme sebagai standar format
politik mereka. Ini wajar mengingat demokrasi
dan Kapitalisme merupakan induk sekulerisme yang merupakan satu kesatuan
organik yang tidak bisa di pisahkan. Machperson dalam bukunya “The Real World
of Democracy” (1971) mengamati bahwa demokrasi
liberal hanya akan tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang perkembangan
Kapitalismenya relatif tinggi. Dengan kata lain, perkembangan demokrasi liberal memiliki korelasi
positif / paralel dengan perkembangan Kapitalisme. Hanya dalam masyarakat
Kapitalislah demokrasi liberal bisa
diwujudkan dalam makna sesungguhnya. Machperson mengatakan:
“Liberal
democracy is found only in countries whose economic system is wholly
predominantly that of capitalist enterprise. And, with few and mostly temporary
exception, every capitalist country has a liberal democratic political system”.[v]
Artinya, demokrasi merupakan sistem pemerintahan
yang harus diterapkan oleh negara-negara kapitalis yang mengikuti serta
meniru-niru negara-negara kapitalis. Sehingga seringkali penganut kapitalisme
menyebut ideologi mereka sebagai “sistem demokrasi”, walaupun pada hekekatnya penyebutan ini tidak
tepat. Hal ini dikarenakan; pertama, demokrasi bukanlah pemikiran orisinil
kaum kapitalis. Orang Yunani telah lebih dulu mencetuskannya. Kedua, kaum kapitalis bukan satu-satunya
pihak yang menerapkan demokrasi,
karena kaum Sosialis-Marxis juga mengklaim diri mereka sebagai kaum demokrat.
Sampai di akhir hayat ideologi Sosialisme, kaum sosialis tetap mengklaim bahwa
mereka telah menerapkan demokrasi.[vi]
Seiring dengan perkembangan zaman, gagasan ini mencuat kembali setelah
menemukan momentumnya dengan runtuhnya rezim otoritarianisme di Uni Sovyet,
faktor penting yang menyebabkan demokrasi
menjadi obsesi politik dunia (World
Political Obsetion). Berakhirnya perang dingin (cold war) antara blok Barat yang di wakili oleh AS dan blok Timur
yang diwakili oleh Uni Sovyet telah merubah paradigma politik global. Perubahan
paradigma itu ditandai dengan adanya perubahan pendekatan dari
persoalan-persoalan militerisasi, perang konvensional, penjajahan fisik kepada
persoalan-persoalan demokrasi dan
hak-hak asasi manusia.
Akan tetapi, perubahan paradigma ini tidak merubah secara mendasar pola
pendekatan Kapitalisme dalam usahanya untuk mengangkangi dunia. Perubahan
tersebut hanya bersifat artifisial semata. Karena symptom tersebut tidak
merubah kultur Kapitalisme yang berwatak imperialis. Terbukti dengan adanya
paksaan kepada setiap dunia untuk melegislasi sistem pemerintahan ini.
Implikasinya setiap negara yang tidak membangun hierarkhi sistemnya selain
diatas landasan demokrasi akan
teralienasi dari struktur interaksi politik global dan ‘sah’ untuk di
hancurkan.
Kontradiksi Islam dan Demokrasi
Yang
perlu dicatat disini, tolehan sejarah kebelakang (historical hindsight)
munculnya symptom sekulerisme yang menjadi landasan demokrasi adalah dalam konteks kekuasaan para raja dan kaisar yang
mendapat legitimasi gerejawan. Padahal dalam kenyataan, ajaran kristiani tidak
memiliki gagasan –hatta sebatas konsep- penyelesaian problematika manusia.
Semua penyelesaian dibangun berdasar dogma agama yang sering kontraproduktif
dengan realitas dan penemuan ilmiah.
Namun
anehnya adalah kondisi yang kurang lebih sama dieksperimentasikan pada semua
ajaran agama (termasuk didalamnya ajaran Islam) sebagai model intelectual
struggle. Islam direduksi sedemikian rupa hingga pada tataran Islam sebagai
ajaran yang bersifat ritualistik (shalat, zakat, puasa, haji, dsb). Akibatnya,
konsep gagasan Barat yang di bangun diatas trade mark sekulerisme
menjadi bagian integral pula didalam tubuh umat Islam yang senantiasa
diperjuangkan dan menggelinding bak bola salju politik.
Anehnya
lagi, gagasan ini lantas disambut dengan gegap gempita oleh sebagian besar
kalangan kaum muslimin sebagai ekses dari pembusukan ideology (ideology
culdisee). Beberapa tokoh muslim bahkan mencoba untuk mensintesa Islam
dengan adegium ini, lahirlah kemudian istilah demokrasi Islam atau Islam demokratis. Dr. Yusuf Qordhowi, misalkan
dalam bukunya min fiqh ad-daulah fil Islam mengemukakan keheranannya
terhadap kalangan yang menolak demokrasi.
Dia berkata: “Atau bisa saja Anda berkata, ‘substansi demokrasi serupa dengan ruh syuro’ Islam’,”.[vii] Tokoh ini tidak
sendirian, pemikir-pemikir Islam lainnya seperti Musthafa Manshur, atau Abbas
Mahmud al-Aqqad, juga mengamini demokrasi
sebagai bagian dari Islam. Para demokrat muslim bahkan mengatakan bahwa jauh
sebelum demokrasi dilahirkan
masyarakat Barat, Islam terlebih dulu menancapkan prinsip-prinsip kehidupan
yang demokratis, dengan menafikan pengertian dan karakter demokrasi itu sendiri, demokrasi
difahami secara simplikatif sebagai proses pemilihan yang melibatkan banyak
orang untuk mengangkat seorang pemimpin. Menurut asumsi mereka, adanya pemilu,
meminta pendapat rakyat, menegakkan ketetapan mayoritas, multipartai politik,
kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, dan otoritas pengadilan adalah bagian
kehidupan demokrasi yang
substansinya telah ada dalam kehidupan Islam. Padahal literatur-literatur yang
membahas teori-teori politik dan demokrasi
tidaklah memberikan pengertian demokrasi
sesimplikatif pemahaman di atas.
Adanya
fallcy of competition (penyamaan dua
hal yang sebetulnya berbeda) yang dilakukan oleh sebagian pemikir Islam tersebut
ini telah mereduksi ajaran Islam sampai pada tataran yang memprihatinkan.
Impotensi intelektual ini sangat jelas merupakan akibat dari kemunduran
pemikiran dan politik umat, sehingga menjadikan umat Islam mengalami disturbance of self image (keguncangan
citra diri) dan split personality
(kepribadian ganda) dalam seluruh pengaturan kehidupan mereka. Karena pada
gilirannya kedua konsep tersebut tidak mungkin dan tidak akan pernah bisa
dipertemukan. Satu memandang bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan satunya lagi
memandang bahwa kedaulatan di tangan Allah. Satu memandang bahwa negara harus
disterilisasikan dari ajaran agama, sedang yang satunya memandang bahwa negara
sebagai instrumen pokok penerapan aturan agama, dimana letak titik
persinggungan antara keduanya?
Secara
mendasar, teori demokrasi adalah
pemerintahan yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Para pemimpin yang
diangkat dalam sistem demokrasi
terikat dengan kontrak sosial untuk melaksanakan aspirasi rakyat. Adanya
kritik, koreksi bahkan pemecatan pemimpin dalam sistem demokrasi, seluruhnya terkait dengan aspirasi rakyat.
Makna-makna
ini berbeda dan bertentangan dengan hukum-hukum Islam, bahkan demokrasi tidak ada kenyataannya sama
sekali, sampaipun menurut kaum demokrat sendiri. Dari aspek kekuasaan
legislatif dan hak pembuatan sistem, Islam telah memberikannya terbatas kepada
Allah dan Rasul-Nya, di mana sumbernya adalah Al-Kitab dan As-Sunnah yang suci,
serta dalil-dalil yang di sandarkan kepada keduanya serta di tunjukkan oleh
masing-masing. Rakyat atau dengan ungkapan yang lebih mendetail, ummat, tidak
mempunyai hak untuk keluar dari satu nash Islam-pun, meski semuanya sepakat
mengenai hal itu. Allah berfirman:
“Dan hendaknya engkau putuskan perkara
diantara mereka menurut apa yang di turunkan oleh Allah, dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu mereka, serta berhati-hatilah terhadap mereka, agar mereka
bisa memalingkan kamu dari sebagaian yang di turunkan oleh Allah kepadamu.”(QS. Al-Maidah : 49)
Andaikan engkau mentaati kebanyakan orang
yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.”(QS. Al-Anám’: 116)
Dengan demikian,
kekuasaan legislatif ada di tangan Allah dan Rasul-Nya, bukan di tangan rakyat.
Sumber undang-undangnya adalah syara’, dan bukannya rakyat. Sedangkan hak untuk
mengadopsi hukum-hukum sistem dan perundang-undangan di tangan kepala negara,
bukan rakyat. Wakil ummat, yang notabene merupakan anggota majelis syuro’,
hanya berhak menolak apa yang di adopsi oleh kepala negara, jika yang di adopsi
itu bertentangan dengan hukum-hukum syara’.
Siapapun yang menganalisa secara mendalam makna-makna istilah demokrasi, tentu akan bisa melihat
secara jelas bahwa demokrasi
tersebut bertentangan dengan hukum-hukum Islam, baik secara fundamental maupun
secara rinci. Kontradiksi
tersebut tercermin dalam beberapa aspek yaitu:
1.
Asas sistem demokrasi adalah sekulerisme, bentuk konkretnya merupakan hasil
penjelmaan pada abad pencerahan (renaissance) di Eropa. Sedangkan Islam
adalah ajaran yang tidak layak di sekulerkan. Pemerintaha Islam di bangun
diatas landasan aqidah Islam. Tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Negara
dalam Islam adalah institusi politik yang menerapkan persepsi, standar dan
qona’ah yang digunakan untuk melakukan aktivitas ri’ayah su’unil ummah
(mengurusi urusan rakyat). Artinya, diatur dengan aturan-aturan Islam. Dari
sini saja sudah cukup untuk mengatakan demokrasi
tidak ada landasannya sama sekali dalam Islam, termasuk juga didalamnya civil
society, bahkan keduanya sangat bertentangan dengan Islam itu sendiri. Bila
landasannya saja sudah berbeda apalagi dalam hal bangunan yang akan di bangun
diatasnya.
2.
Implikasi dari point 1: Demokrasi memberikan kedaulatan (sovereignity) bukan kepada tuhan
melainkan diserahkan sepenuhnya kepada rakyat, dan mempercayakan kepada
rakyat semua perkara dalam kehidupan.
Sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi,
rakyat adalah sumber kekuasaan: rakyat adalah sumber kekuasaan
perundang-undangan, sumber kekuasaan hukum, dan sumber kekuasaan pemerintahan.
Sedangkan dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syara’, syara’merupakan sumber
rujukan utama mengenai segala perkara. Tidak seorangpun di perkenankan menyusun
perudang-undangan meski hanya satu aturan saja. Dalam Islam rakyat mempunyai
wewenang untuk menjalankan kekuasaan. Rakyatlah yang memilih dan dan mengangkat
seseorang untuk memegang kekuasaan dan menjalankan kekuasaan. jadi, rakyat
hanya menjadi sumber kekuasaan eksekutif semata.
3.
kepemimpinan dalam sistem demokrasi bersifat kolektif dan tidak
individual. Kekuasaan juga di pegang secara kolektif, tidak secara individual.
Dalam demokrasi (parlementer),
kekuasaan di jalankan oleh suatu dewan menteri yang disebut kabinet. Kepala
negara –baik presiden maupun raja- merupakan figur yang berkuasa namun tidak
berhak memerintah. Sedangkan yang memerintah dan memegang kekuasaan adalah
kabinet. Sistem ini bertentangan dengan sistem pemerintahan Islam, di mana
kepemimpinan adalah milik satu orang, tidak bersifat kolektif. Demikian pula
kekuasaan di pegang oleh satu orang dan tidak secara kolektif. Di riwayatkan
oleh Abu Said al-Khudri yang menyatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Äpabila tiga orang melakukan
perjalanan, mereka harus mengangkat satu orang diantara mereka sebagai Amir”.[viii]
Abdullah ibn Umar juga meriwayatkan bahwa Rasulullah telah bersabda:
“Tidak di perbolehkan bagi tiga
orang dimanapun berada di muka bumi tanpa mengangkat salah seorang sebagai Amir
diantara mereka”.[ix]
Kata ( ) “seorang diantara mereka” merujuk pada
suatu bilangan yaitu satu, dan tidak lebih. Hal ini disimpulkan dari mafhum mukhalafah (pemahaman terbalik)
dari kata “seorang diantara mereka”.
Dengan demikian, hadits tersebut bermakna: “Mereka
harus mengangkat seorang Amir, dan tidak boleh lebih” serta “kecuali mengangkat seorang Amir, dan tidak
boleh lebih”. Dengan demikian mafhum
mukhalafah kedua hadits tersebut bermakna bahwa di haramkan menyerahkan Imarah (kepemimpinan) kepada lebih dari
satu orang. Khalifah adalah seorang yang memiliki wewenang penuh atas kekuasaan
dan pemerintahan, dan Islam tidak mengenal adanya power sharing (pembagian kekuasaan) . dengan demikian, kepemimpinan
dan kekuasaan dalam Islam di pegang secara individual.
4. Negara
dengan sistem pemerintahan demokrasi
terdiri dari sejumlah lembaga bukan satu lembaga. Pemerintah merupakan satu
lembaga yang menjalankan kekuasaan eksekutif. Sementara lembaga-lembaga yang
lain merupakan lembaga independen yang memiliki kewenangan memerintah dan
kekuasaan pada bidangnya sesuai ketentuan. Hal ini bertentangan dengan Islam,
dimana negara dan pemerintah merupakan lembaga tunggal yang memegang kekuasaan.
Kalifah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi memiliki qawwah (otoritas)
penuh, sementara orang lain sama sekali tidak memiliki otoritas tersebut. Rasulullah saw bersabda:
“Imam adalah seorang penggembala,
dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya”.[x]
Kata ( ) “ïa” dalam tata bahasa Arab berhubungan dengan bentuk terbatas dan
suatu kata ganti terpisah. Jadi kalimat yang berbunyi ( ) “dan
ia bertanggungjawab” menunjukkan pembatasan tanggungjawab itu hanya kepada
Imam (pemimpin). Dengan demikian, tidak ada seorang pun di dalam negara, baik
individu maupun kelompok, yang memiliki kekuasaan dan wewenang selain Khalifah.
5.
Dalam sistem demokrasi, meminta pendapat rakyat mengenai masalah pemerintahan di
pandang sebagai suatu kewajiban. Penguasa harus meminta pendapat rakyat atau
lembaga perwakilan rakyat, dan ia tidak boleh melakukan aktivitas kecuali bila
rakyat mendelegasikannya. Demikian pula ia tidak boleh menentang keinginan dan
pendapat rakyat. Jadi meminta pendapat rakyat merupakan suatu ‘kewajiban’
penguasa di negara demokrasi. Hal
ini bertentangan dengan Islam, karena Islam menganggap upaya meminta pendapat
ummat, atau yang disebut syuro’
(musyawarah) hanya bersifat mandub
(sunnah), bukan wajib. Dengan demikian, khalifah diutamakan meminta pendapat
ummat dan tidak di wajibkan untuk itu. Sebab, sekalipun Allah SWT memuji syuro’, namun Ia hanya membatasinya
hanya pada perkara-perkara mubah. Pembatasan syuro’ pada perkara mubah ini menjadi qorinah (indikasi) bahwa syuro’ hanya merupakan perbuatan yang
mandub, bukan wajib. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa mandub bagi khalifah untuk bermusyawarah
dengan umat, karena Allah swt memuji syuro’
namun membatasinya hanya pada perkara yang mubah.
6. Demokrasi adalah sistem
pemerintahan berdasarkan ‘suara mayoritas’. Anggota-anggota lembaga legislatif
di pilih berdasarkan suara mayoritas pemilih dari kalangan rakyat. Penetapan
peraturan dan perundang-undangan serta pemberian mosi percaya atau tidak
percaya kepada pemerintah dalam dewan perwakilan di tetapkan pula berdasarkan
‘suara mayoritas’. Demikian pula penetapan semua keputusan dalam dewan
perwakilan, kabinet, serta bahkan dalam seluruh lembaga dan organisasi lainnya.
Pemilihan penguasa oleh rakyat, baik langsung (direct) maupun melalui para
wakilnya (in direct), di tetapkan pula berdasarkan ‘suara mayoritas’ pemilih
dari rakyat. Oleh karena itu, ‘suara mayoritas adalah ciri yang menonjol dalam
sistem demokrasi. Pendapat mayoritas
–menurut demokrasi- merupakan tolak
ukur hakiki yang akan dapat mengungkapkan pendapat rakyat yang sebenarnya.
Terkadang penetapan suara mayoritas bila melebihi 51% suara dan terkadang penetapannya bila
melebihi 2/3 suara dari wakil rakyat. Sementara dalam Islam, pendapat mayoritas
tidak selalu mengikat, sebab ada perkara-perkara di dalam Islam yang tidak
boleh di kompromikan sekalipun mayoritas berpendapat lain. Bentuk pengambilan
keputusan yang di ambil di dasarkan pada konteks permasalahan masing-masing. Konteks permasalahan tersebut
meliputi:
Ø Dalam permasalahan penetapan hukum (tasyri’) maka di serahkan kepada hukum
syara’ melalui ijtihad para mujtahid dan tidak di serahkan kepada pendapat
mayoritas. Dalil yang menjadi dasar alasan ini adalah bahwa pada perjanjian Hudaibiyah,
Rasulullah saw mengambil wahyu yang di turunkan Allah swt kepadanya dan
mengesampingkan pendapat Abu Bakar dan Umar. Beliau bahkan mengesampingkan
pendapat seluruh kaum muslimin dan menolak pendapat mereka, dan memaksa mereka
untuk patuh pada keputusannya serta mengabaikan kemarahan dan penolakan mereka.
Hal ini membuktikan bahwa
yang dominan di mata Rasulullah adalah apa yang telah di tetapkan melalui
wahyu, yaitu dalil-dalil syara’. Bila terdapat sejumlah dalil, maka dalil
terkuatlah yang di ikuti. Namun demikian, yang berhak mewajibkan umat untuk
melegislasi (mengadopsi) salah satu pendapat dan menjadikannya sebagai hukum
positif (possitive law) yang berlau
bagi seluruh kaum muslimin adalah khalifah.[xi] Prinsip
tersebut didasarkan pada adanya ketetapan nash:
“Perintah imam harus di
laksanakan secara lahir dan batin”
“Perintah Imam menghilangkan
perbedaan.”
“Sultan mempunyai hak untuk
mengambil keputusan yang sesuai dengan permasalahan baru yang muncul.”
Ø
Dalam permasalahan yang memerlukan
keahlian, maka di butuhkan pemahaman dan pengkajian terhadap pokok
permasalahannya. Dengan pemahaman dan pengkajian tersebut maka dapat di
tentukan suatu keputusan untuk melakukan atau meninggalkannya. Khusus untuk
masalah yang membutuhkan pemahaman dan pengkajian, ketepatan dan kelayakan (fit
and proper) tersebut, maka pendapat yang di kemukakan oleh para ahli yang
di jadikan pertimbangan utama. Dalil mengenai masalah ini dapat di fahami dari
aktivitas Rasulullah saw ketika bersama-sama kaum muslimin berkemah di dekat
sumber air Badr. Al-Hubab ibn Mundzir –yang di kenal sebagai ahli peperangan-
tidak setuju dengan tempat itu. Dia bertanya kepada Rasulullah saw, “Apakah
ini tempat yang di tunjukkan Allah swt untuk Engkau duduki, sehingga kita tidak
boleh membantah maupun berpindah dari sini, atau hanya sekedar pendapat dan
taktik peperangan?” Rasulullah menjawab “ini hanya masalah pendapat,
peperangan dan siasat.” Kemudian Hubab berkata, “ini bukan tempat yang
tepat tuntuk berhenti.” Kemudian ia menunjuk tempat lain yang menurut
pendapatnya lebih tepat, dan segera Rasulullah dan kaum muslimin berdiri dan
berpindah ke tempat yang di tunjukkan. Dalam hadits ini Rasulullah mengabaikan
pendapatnya maupun pendapat kaum muslimin. Beliau memilih mengikuti pendapat
yang lebih tepat dan layak, serta merasa puas dengan pendapat satu orang dalam
perkara-perkara yang disebut Rasulullah sebagai masalah “pendapat, perang
dan siasat.”
Ø
Keputusan yang diambil dalam
masalah-masalah yang berkaitan dengan amalan praktis yang tidak memerlukan
pemikiran dan pertimbangan mendalam, yang menjadi pertimbangan adalah suara
mayoritas. Suatu hadits meriwayatkan bahwa Rasulullah saw pernah menerima
pendapat mayoritas kaum muslimin pada saat perang Uhud untuk keluar dari
Madinah, sekalipun beliau menganggap pendapat ini keliru dan bukan merupakan
pendapat yang terbaik, demikian pula para sahabat senior yang mempunyai
pendapat berbeda dengan pendapat mayoritas kaum muslimin. Rasulullah dan para
sahabat berpendapat bahwa mereka sebaiknya tetap berada di Madinah. Hal ini
menunjukkan bahwa pendapat mayoritas dalam perkara ini adalah pendapat yang di
unggulkan dan bersifat mengikat.
7. Dalam
sistem demokrasi, kebebasan harus di
wujudkan bagi setiap individu rakyat. Dengan itu, mereka dapat melaksanakan
kedaulatannya dan menjalankannya sendiri, sekaligus dapat melaksanakan haknya
untuk berpartisipasi dalam pemilihan para penguasa dan anggota lembaga
perwakilan dengan sebebas-bebasnya tanpa ada tekanan atau paksaan. Ada 4 macam kebebasan yang dianut.
a.
kebebasan
beragama (freedom of religion)
b.
kebebasan
berpendapat (freedom of expreession)
c.
kebebasan
kepemilikan (freedom of ownership)
d.
kebebasan
berperilaku (personal freedom)
lain halnya dengan demokrasi,
Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Bagi kaum muslimin, mereka terikat
dengan aturan-aturan Islam, baik khalifah maupun warga negaranya. Mereka tidak
boleh mempermainkan ajaran agama dengan cara berpindah-pindah agama. Rasulullah
SAW bersabda:
“Barangsiapa mengganti agamanya (Islam) maka bunuhlah ia”.[xii]
Islam juga
melarang seseorang untuk memiliki sesuatu yang tidak berhak di milikinya. Islam
telah merinci beberapa kepemilikan yang terlarang, misalnya pencurian,
perampasan, suap, korupsi, judi. Sebaliknya, Islam menghalalkan beberapa sebab
kepemilikan, yaitu bekerja, waris, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan
semisal hadiah, hibab, sedekah atau zakat.
Dalam masalah tingkah laku, Islam memberikan batasan susila yang jelas,
terutama masalah interaksi pria-wanita. Kapan, dimana, dengan siapa dan dalam
rangka apa keduanya berinteraksi diatur dalam Islam dengan rinci dan detail.
Sementara Barat (Kapitalisme) tidak memiliki aturan yang berkaitan dengan hal
ini (Nidzomul ijtima’I / sistem sosial kemasyarakatan), sehingga
semuanya dibiarkan secara bebas tanpa batas.
Islam
Menolak Demokrasi
Oleh
karenanya, Islam menolak secara tegas demokrasi.
Bentuk penolakan demokrasi
setidaknya dilandasi 3 argumen:
Pertama,
yang merekayasa dan berdiri di belakang ide demokrasi adalah negara-negara Barat. Hal ini merupakan suatu
bentuk agresi budaya Barat ke negeri-negeri Islam. Sebagaimana yang dikemukakan
Huntington bahwa Penyebaran demokrasi
ini merupakan tujuan utama propaganda Barat (dalam hal ini AS). Hal itu
diperkuat oleh pernyataan Bush dan Menteri Luar Negeri, James Baker, pada April
1990, bahwa “Demokrasi senantiasa
berada di balik setiap kebijakan” dan karenanya, dalam kaitannya dengan
situasi pasca perang dingin (cold war), “presiden Bush telah
merumuskan misi baru kita untuk melakukan konsolidasi dan mempropagandakan demokrasi.” Dalam kampanyenya tahun
1992, Bill Clinton berulangkali mengatakan bahwa propaganda demokrasi akan menjadi prioritas utama
dalam pemerintahannya, dan berkaitan dengan kebijakan asing, demokratisasi
menjadi topik sentral dalam setiap kampanyenya. Suatu ketika, semasa
pemerintahannya, dia menaikkan dua per tiga anggaran sumbangan Nasional untuk demokrasi dari anggaran semula;
pembantunya untuk masalah keamanan nasional menyatakan bahwa tema sentral dari
kebijakan luar negeri Clinton adalah “perluasan demokrasi”; dan menteri pertahanannya menyebut propaganda demokrasinya sebagai salah satu dari
empat tujuan pemerintahannya yang berusaha menciptakan sebuah jabatan senior
dalam departemennya untuk mempropagandakan tujuan itu.[xiii]
Dalam
US Departement of state strategic plan (2000) dinyatakan bahwa demokrasi dan HAM merupakan komponen
pusat dari kebijakan luar negeri AS. Disamping itu, diterapkan dalam rencana
strategis tersebut bahwa AS dalam mendorong demokrasi tidak hanya mempromosikan nilai-nilai dasar AS seperti
kebebasan beragama dan hak-hak buruh, melainkan juga menciptakan sarana global
yang lebih aman, stabil, makmur hingga AS dapat meningkatkan
kepentingan-kepentingan nasionalnya.[xiv]
Kedua,
demokrasi adalah idealisme utopia,
tidak layak diimplementasikan. ‘mungkin’ hanya Yunani kuno satu-satunya negara
yang pernah mewujudkan demokrasi.
Manakala suatu negara berupaya menetapkan ide demokrasi, mereka seringkali harus melakukan kebohongan-kebohongan
publik. Demokrasi pada kenyataannya
tidak pernah merepresentasikan kepentingan seluruh rakyat. Produk undang-undang
yang dihasilkan adalah didasarkan pada kepentingan minoritas di parlemen.
Pengkritik Demokrasi seperti Gatano
Mosca, Cilfrede Pareto, dan Robert Michels melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas
atas mayoritas. Dalam prakteknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil orang
atas sekelompok besar. Hal senada juga dinyatakan oleh Benjamin Constan, ia
menyatakan bahwa, demokrasi membawa
rakyat menuju jalan yang menakutkan, yaitu kediktatoran parlemen.
Di
AS kalangan minoritas itu adalah para kapitalis raksasa,[xv]
sedangkan di Inggris, mereka adalah para bangsawan. Padahal, kedua negara ini
merupakan negara kapitalis-demokrasi
yang ada di barisan terdepan.
Ketiga,
sistem demokrasi adalah sistem
buatan manusia. Sistem tersebut disusun oleh manusia untuk manusia. Karena
manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, dan sesungguhnya hanya Allah-lah yang
terbebas dari kesalahan, maka sistem dari Allah saja yang pantas dianut.
kenyataannya, akal manusia sekalipun mampu memberikan penilaian atas berbagai
hal yang dipandangnya pantas, kadang benar kadang salah. Penilaian tersebut
juga kadang kontradiktif antara satu masa dan masa lainnya, antara satu tempat
dan tempat lainnya, antara satu orang dan orang lainnya. Disamping itu, Manusia
tidak mungkin memiliki kemampuan untuk memberikan penilaian atas berbagai
perkara yang tidak dapat ia indera. Dengan demikian, menganut demokrasi dan menolak sistem dari Allah
SWT merupakan suatu kesalahan fatal yang mengakibatkan kehancuran.
Sehingga dari penjabaran diatas, umat Islam tidak di perkenankan
menggunakan kata (demokrasi) ini,
baik di sebutkan apa adanya atau di pergunakan dengan ajektif Islam, semisal demokrasi Islami atau demokrasi Islam, atau demokrasi dalam Islam. Sebab memberinya
ajektif dengan Islam tetap tidak
mengeluarkannya dari makna-maknanya yang sudah di kukuhkan oleh hati. Akan
tetapi ia hanya mengukuhkan makna-makna yang terdapat di dalamnya, sebaliknya
dengan cara itu, ia akan merobek-robek baju syara’. Kenyataan inilah yang tidak
akan pernah di terima oleh orang yang meyakini Islam, sebagai aqidah dan
sistem.
Menyamakan terminologi-terminologi dan istilah-istilah kafir yang merupakan
produk manusia ini sesungguhnya sangat membahayakan Islam, berikut para
pemeluknya.
Catatan :
I.
Hak-hak politik publik menurut John Locke mencakup hak
hidup, kebebasan dan kepemilikan (life, liberty and property)
II. Kontrak sosial bermakna
bahwa rakyat dalam sebuah kelompok masyarakat menyatukan dirinya membentuk
keinginan publik, serta setiap individu bersepakat untuk membentuk suatu
komunitas dimana mereka hidup didalamnya. Dari kontrak ini, akan muncul sautu
bangunan kolektif yang berupa bangunan politik atau suatu negara, berbentuk
republik atau lainnya. Gagasan dasar teori ini adalah: pertama, kedaulatan
negara bukanlah suatu yang taken for granted dan berasal dari tuhan. Kedaulatan
merupakan sebuah produk proses perjanjian sosial antara individu dalam
masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya dengan pendelegasian kekuasaan dari
tuhan kepada seorang penguasa tertentu. Maka pada dasarnya teori kontrak sosial
merupakan suatu teori politik yang sepenuhnya bersifat sekuler. Kedua, bahwa
dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip
keadilan yang universal. Ketiga, karena kedaultan negara berasal dari rakyat,
maka harus ada jaminan atas hak-hak individu dalam masyarakat. Keempat,
perlunya kontrol kekuasaan agar penguasa negara tidak melakukan penyalahgunaan
kekuasaan.
III.
3.Trias politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara
terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan
untuk membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan untuk
melaksanakan undang-undang; ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan untuk
mengadili atas pelanggaran undang-undang. Ketiga kekuasaan tersebut bersifat
independen, dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing lembaga.
IV.
Lihat. Rais, M.A. cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta,
1991. Mizan, Bandung, hal 28-29.
V.
Machperson, The
Real World of Democracy, Oxford:
Clarendon Press, 1971, hal. 4
VI.
Zallum, A.Q, 2001, Serangan Amerika untuk Menghancurkan
Islam, Edisi 3, Pustaka Thariqul Izzah, Jakarta
VII.
Yusuf Qordhowi, Min Fiqh ad Daulah fil Islam (edisi
terj.), Pustaka Alkautsar. Hal. 205
VIII.
HR. Abu Dawud
IX.
HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Umar.
X. Lihat Muqoddimah dustur
karya syekh Taqiyyudin an-nabhani
XI.
HR. Muslim dan
Ashab as-Sunan
XII. Lihat; Huntington, Benturan Antar Peradaban, penerbit
Kalam, hal. 352-353.