`KEDUDUKAN WANITA DALAM HUKUM NEGARA DAN HUKUM
ISLAM DI REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL’
Oleh: 99250013 Jones, Oliver Richard
Laporan Program Pengalaman Lapangan
ACICIS Universitas Muhammadiyah Malang
ABSTRAKSI
Dengan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1984 (UU No.7/1984), Konvensi Tentang Penghapusan
Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on the Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women) (CEDAW) disahkan.[1] Menurut aturan hukum internasional dikenal
dengan istilah pacta sunt servanda,
perjanjian internasional yang telah disahkan wajib dilaksanakan. Negara negara dunia tidak boleh dikecualikan
dari kewajiban itu bersandarkan ketentuan hukum nasional mereka. Melainkan, jika hukum nasional mengurangi
pelaksanaan sesuatu perjanjian internasional, hukum nasional itu wajib diubah.[2] Kewajiban tersebut ditambah dengan pasal
CEDAW yang menyatakan Negara Negara Peserta CEDAW wajib mengubah hukum nasional
agar menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak wanita.[3]
Di
Indonesia, harmonisasi hukum nasional dengan ketentuan CEDAW tersebut berarti
bahwa hukum negara akan diubah dan, selanjutnya, hukum Islam dan hukum Adat
akan diubah juga. Itu karena hukum di
Indonesia merupakan tiga sistem, yaitu hukum negara, hukum Islam dan hukum
Adat.
Namun
demikian, di Indonesia penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan
perlindungan hak wanita maupun perubahan hukum jadi lebih rumit dari perkataan
aturan hukum internasional tersebut.
Pelaksanaan CEDAW mengandung persoalan di bidang politik, terutama
setelah penggantian pemerintah Orde Baru dengan pemerintah Era Reformasi.[4] Persoalan politik ditambah dengan masalah
sosial, yaitu perkembangan dan perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai
kebudayaan dan agama.
Dalam
rangka tersebut, makalah ini ingin mengkaji kedudukan wanita dalam hukum negara
dan hukum Islam di Indonesia disamping CEDAW.
Makalah ini memeriksa persoalan sebagai berikut. Apa isi CEDAW? Kalau ada seorang wanita yang mencari
penghapusan diskriminasi atau perlindungan haknya sebagaimana disebut dalam
CEDAW, apa kesempatan dia dalam hukum negara di Indonesia? Dan apa terjadi jika seorang wanita tersebut
beragama Islam? Untuk dia, dalam
lingkungan peradilan agama, ada ketentuan hukum Islam yang berdasarkan
persamaan antara pria dan wanita dan tidak bersifat diskriminatif? Sebaliknya, apa hubungan antara CEDAW dan
hukum Islam? Ada kemungkinan bahwa hukum
Islam berupa sistem yang beda sampai tidak perlu disesuaikan dengan sistem
hukum lain, termasuk hukum internasional?
Dalam
sistem hukum negara, pemeriksaan persoalan persoalan tersebut menunjukkan
pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama hak wanita sudah
bagus. Pengakuan itu terdapat dalam UUD
1945 dan Pancasila yang dapat diperbaiki beserta Ketetapan (TAP) Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) dan UU No.39/1999 Tentang HAM yang sudah lengkap.
Bagaimanapun,
pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita sama haknya perlu
ditambah dengan penegakan. Di Indonesia,
penegakan peraturan perundangan tersebut perlu diperbaiki. Penegakan itu berupa antara lain[5]
wewenang menguji dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha
negara (TUN). Ruang lingkup wewenang
menguji yang telah ada berarti bahwa mayoritas peraturan perundangan (termasuk
Keputusan TUN) tidak dapat diuji terhadap kaidah diskriminasi atau hak
wanita. Jadi, mayoritas peraturan
perundangan boleh dikeluarkan dan berlaku baik kalau bersifat diskriminatif dan
melanggar hak wanita atau tidak.[6]
Selain itu,
penegakan dapat dilakukan melalui Komnas HAM.
Secara umum wewenang Komnas HAM terhadap diskriminasi dan pelanggaran
HAM tidak termasuk paksaan atau tidak mengikat pihak bersangkutan. Maka, diskriminasi dan pelanggaran HAM dapat
berjalan baik secara sesuai dengan ketentuan Komnas HAM atau tidak.[7] Ada kemungkinan masalah penegakan tersebut
akan diselesaikan dalam masa depan yang telah diggariskan pemerintah Indonesia[8]
dan kebijakan berbagai Partai Politik (Parpol).[9]
Hukum Islam
belum sesuai dengan CEDAW. Dalam sistem
tersebut, ada ketentuan di bidang perkawinan dan kewarisan.[10] Ketentuan tersebut belum berdasarkan
persamaan antara pria dan wanita dan, bahkan, bersifat diskriminatif di muka
CEDAW.[11] Dalam rangka sumbernya[12]
dan peraturan perundangan nasional,[13]
hukum Islam dapat diubah selaras dengan CEDAW.
Namun demikian, kemauan mengubah hukum Islam di Indonesia belum
diputuskan. Peraturan perundangan yang
telah dikeluarkan tidak mengandung kemauan yang jelas.[14] Selanjutnya, kebijakan Parpol[15] dan sikap orang Indonesia[16]
belum sependapat terhadap persoalan hukum Islam dan CEDAW. Jadi, meskipun telah jelas hukum Islam belum
sesuai dengan CEDAW, kemungkinan harmonisasi hukum Islam dengan CEDAW tidak
yakin.
Dengan
pemeriksaan tersebut, makalah ini menyimpulkan bahwa kedudukan wanita di
Indonesia sebagaimana digariskan dengan CEDAW perlu diwujudkan melalui
perubahan hukum baik dalam sistem hukum negara dan sistem hukum Islam. Namun demikian, makalah ini mengakui
perbedaan antara sudut hukum Islam dan sudut CEDAW. Ketidakjelasan hubungan antara hukum Islam
dan CEDAW adalah produk kesulitan harmonisasi sudut sudut tersebut.
[1] -
UU No.7/1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention
on the Elimination of All Forms of Discirmination Against Women).
[2] -
Pasal 26 yo. Pasal 27 Konvensi Wina Terhadap Perjanjian Internasional (Vienna Convention on the Law of Treaties 1969);
Prof. Dr. F. Sugeng Istanto, SH, Hukum
Internasional (1998), hal.65; Chairul Anwar, Hukum Internasional: Pengantar Hukum Bangsa Bangsa (1989),
hal.81. Sebagaimana demikian, lihat
Bagian III, butir 2 yo. butir 3 Penjelesan Atas UU No.5/1998 tentang Konvensi
Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam Tidak
Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment) maupun Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU
No.29/1999 Tentang Pengesahan International
Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi
Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)
dll. Bandingkan Bagian I Penjelesan Atas
UU No.7/1984.
[3] -
Pasal 2 butir a s/d butir c serta butir f yo. butir g, Pasal 3, Pasal 6 dan
Pasal 24 CEDAW.
[4] -
Sumpah Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie Tanggal 21 Mei 1999
berlandaskan Pasal 8 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yo. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (TAP MPR) Nomor VII/MPR/1973 Tentang
Keadaan Presiden Dan / Atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan, UU No.3/1999
Tentang Pemilihan Umum (Pemilu); Pasal 1 TAP MPR No.VII/MPR/1999 Tentang
Pengankatan Presiden Republik Indonesia; Pasal 1 TAP MPR No.VIII/MPR/1999
Tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republic Indonesia.
[5] -
lihat TAP MPR Nomor III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja
Lembaga Tertinggi Negara Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara,
KepPres No.181/1998 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti Kekarasan Terhadap
Perempuan. Lihat juga hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional di Indonesia, Bab III, Bagian 2.1, infra.
[6] -
UU No.14/1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan UU No.35/1999 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14
Tahun 1970 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; TAP MPR Nomor
III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara
Dengan / Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara; UU No.14/1985 Tentang
Mahkamah Agung, Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.1/1993, UU No.5/1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara beserta peraturan pelaksananya.
[7] -
KepPres No.50/1993 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
sebagaimana telah diganti dengan UU No.39/1999.
[8] -
Keputusan Presiden (KepPres) No.129/1998 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Hak
Asasi Manusia, KepPres No.181/1998 Tentang Pembentukan Komisi Nasional Anti
Kekarasan Terhadap Perempuan; Pasal 104 UU No.39/1999.
[9] -
sebagaimana diucapkan dalam Pertemuan dengan Drs. Ellya Totok Sujiyanto,
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Tanggal 29
Nopember, 1999; Pertemuan dengan Drs. John S. Keban, Ketua Komisi Pemilu Partai
Golkar, DIY, Tanggal 30 Nopember, 1999; Surat Jawaban H. Abdurrachman, SH,
Ketua Fraksi Persatuan, DPRD Propinsi DIY, Tanggal 10 December, 1999; Surat
Jawaban Para Anggota Fraksi PKB DPRD Propinsi DIY, Tanggal 11 December, 1999;
Dr. Lance Castles (Pengantar), Tujuh
Mesin Pendulang Suara, Perkenalan, Prediksi, Harapan Pemilu 1999 (1999),
Bab.I; Dr. Lance Castles, "The Program of the Partai Amanat Nasional"
(unpublished, 1999).
[10] -
lihat sejarah kedudukan hukum Islam di Indonesia, Bab IV Bagian 2 dan 3, infra.
[11] -
Buku I yo. Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana dikeluarkan dengan
Instruksi Presiden (InPres) No.1/1991 beserta Keputusan Menteri Agama
No.154/1991 maupun berbagai buku buku tentang hukum Islam.
[12] -
lihat Bab IV Bagian 1, infra.
[13] -
UUD 1945 dan sebagai contoh UU No.1/1974 Tentang Perkawinan; PP No.9/1975
Tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 Tentang Perkawinan beserta UU No.7/1989
Tentang Peradilan Agama.
[14] -
UU No.7/1984, KepPres No.129/1998, UU No.5/1998, UU No.39/1998, UU No.29/1999.
[15] -
op. cit. catatan kaki no.9.
[16] -
Surat Jawaban Ibu Nursyahbani Kayjasungkana, LBH APIK, Tanggal 24 Nopember,
1999; Pertemuan dengan Drs. Haji Suharto M., Hakim Tinggi Agama, Pengadilan
Tinggi Agama DIY, Tanggal 9 December, 1999; Diskusi dengan Drs. Sudjana, SH,
Tanggal 11 December, 1999.
BAB II – PENJELESAN ISI CEDAW
1.
Hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hukum
internasional melindungi HAM melalui konvensi atau perjanjian internasional dan
kebiasaan international.[1] Ketentuan hukum internasional terhadap HAM
yang paling lama adalah Maklumat Sedunia Tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
(UDHR). UDHR dikeluarkan pada tahun
1948. UDHR telah mempengaruhi serta
diakui Republik Indonesia.[2] UDHR bukan konvensi atau perjanijian
internasional, melainkan itu Ketetapan Majelis Bangsa Bangsa yang lembaga
tinggi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Sebagaimana demikian, UDHR sendiri tidak wajib dilaksanakan negara
anggota PBB.[3] Bagaimanapun, UDHR sudah lama diumumkan. Ada orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan
UDHR menjadi kebiasaan internasional dan, oleh sebabnya, ketentuan UDHR wajib
dipenuhi semua negara dunia.[4]
Kebiasaan
hukum internasional terhadap HAM ditambah dengan Konvensi. Konvensi tentang HAM diundangkan negara
negara dunia dengan bantuan PBB.
Konvensi atau perjanjian internasional wajib dilaksanakan secara
tersebut. Di bidang Konvensi tentang HAM
terdapat Konvensi bersifat umum dan Konvensi bersifat khusus. Konvensi bersifat umum adalah Konvensi
Internasional Tentang Hak Hak Asasi Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) (ICCPR) dan Konvensi Internasional
Tentang Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International
Covenant on Economic Social and Cultural Rights) (ICESCR) yang akan
disahkan Indonesia.[5]
Konvensi
bersifat khusus tercantum Konvensi terhadap hak hak asasi wanita. Konvensi itu termasuk Konvensi Tentang Hak
Hak Politik Wanita (Convention on the
Political Rights of Women) yang telah disahkan Indonesia dengan Undang
Undang No.18/1956 maupun CEDAW.[6]
2.
Ketentuan CEDAW Bersifat Umum
CEDAW
dimaksud menghapuskan diskriminasi terhadap wanita dan melindungi hak
wanita. Pasal 1 CEDAW menegaskan istilah
“diskriminasi” berarti setiap perbedaan, pengecualian atau pembatasan
berdasarkan jenis kelamin yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi
dan menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan HAM di bidang apapun
berdasarkan persamaan antara pria dan wanita.
Namun demikian, Pasal 4 menetapkan "diskriminasi” tersebut dianggap
tidak terjadi dengan peraturan khusus sementara untuk mencapai persamaan antara
pria dan wanita (affirmative action).
Pasal 2 CEDAW memuat ketetentuan umum yang akan
dilaksanakan oleh Negara Negara Peserta CEDAW.
Pertama, Pasal 2 butir a
menetapkan kaidah persamaan wanita dengan pria
wajib dicantumkan dalam Undang Undang Dasar dan perundang-undangan
Negara Negara Peserta, kecuali kalau itu sudah dilaksanakan.
Kedua, Pasal 2
butir b berbunyi Undang Undang dan peraturan perundangan lain yang melarang
diskriminasi terhadap wanita akan diundangkan.
Jika dianggap perlu, peraturan perundangan tersebut akan menetapkan
hukuman untuk diskriminasi terhadap wanita.
Selain itu, Pasal 2 butir e menyatakan Negara Negara Peserta akan
menjamin diskriminasi terhadap wanita tidak
dilakukan oleh seorang, badan hukum perdata atau sekelompok di mana
pun.
Ketiga, Pasal 2
butir d menentukan kegiatan atau kebiasaan yang bersifat diskriminatif tidak
akan dilakukan oleh segala pejabat dan lembaga pemerinatah Negara Negara
Peserta. Keempat, Pasal 2 butir f menyatakan Undang Undang, peraturan
perundangan, kebiasaan dan praktek yang bersifat diskriminatif terhadap wanita
akan diubah atau dicabut. Sebagaimana
demikian, Pasal 5 butir a berbunyi kebudayaan Negara Negara Peserta akan diubah
sesuai dengan CEDAW. Jadi, kebiasaan atau praktek yang bersifat
diskriminatif terhadap wanita akan dihapuskan.
3. Ketentuan CEDAW Di Bidang Tertentu
Pasal 7 sampai dengan Pasal 14 memuat ketentuan khusus di
bidang politik, ekonomi, sosial dan domestik.
Di bidang politik, Pasal 7 butir a yuncto butir b menetapkan hak
memilihi dan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) akan didasarkan persamaan
wanita dengan pria. Selanjutnya, hak
mengikuti perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah juga akan disandarkan kaidah tersebut. Akhirnya, wanita bersama dengan pria akan
mempunyai hak menduduki segala pekerjaan dalam pemerintahan maupun hak melaksanakan
segala fungsi pemerintahan pada semua tingkatnya.
Di bidang sosial dan internasional, Pasal 7 butir c yuncto
Pasal 8 menentukan partisipasi wanita bersama dengan pria di lembaga sosial
masyarakat (LSM) maupun pada tingkat internasional akan dijamin. Di bidang lain, Pasal 10 sampai dengan Pasal
14 menggariskan penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan hak
wanita dalam pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan pedesaan.
4. CEDAW Dan Hukum
Pasal 15 mengandung ketentuan tentang hukum. Pasal 15 Ayat (1) menyatakan persamaan wanita
dengan pria akan diberikan di muka hukum.
Khususnya, Pasal 15 Ayat (2) menetapkan persamaan wanita dengan pria
akan dijamin terhadap kecakapan hukum dalam hal sipil maupun kesempatan
melakukan kecakapan tersebut. Kecakapan
tersebut tercantum hak yang sama untuk mengesahkan perjanjian dan mengurus
harta benda. Kecakapan tersebut pula
tercantum perlakuan yang sama dalam lingkungan peradilan pada tingkat pertama, banding dan kasasi. Pasal 15 Ayat (4) menyatakan persamaan wanita
dengan pria akan diberikan untuk mengadakan pergerakan dan memilih tempat
kediaman.
5. CEDAW Dan Kekeluargaan
Pasal 16 memuat ketentuan di bidang hukum keluarga dan
perkawinan. Secara umum, Pasal 16 Ayat
(1) menyatakan persamaan wanita dengan pria akan dijamin terhadap hak dan
tanggung jawab dalam hubungan kekeluargaan dan semua urusan mengenai
perkawinan. Khususnya, beberapa hak
wanita bersama dengan pria akan dijamin di bidang perkawinan. Pertama,
Pasal 16 Ayat (1) huruf a mensyaratkan hak yang sama untuk melakukan ikatan
perkawinan. Kedua, Pasal 16 Ayat (1) huruf b menggariskan hak wanita memilihi
suami secara bebas dan haknya memasuki ikatan perkawinan hanya dengan
persetujuan yang bebas sepenuhnya.
Ketiga, Pasal 16
Ayat (1) huruf c mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama dalam perkawinan
maupun pada putusnya. Keempat, Pasal 16 Ayat (1) huruf d
mensyaratkan hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari
status kawin mereka, dalam urusan yang
berhubungan dengan anak mereka. Namun
demikian, dalam semua kasus, kepentingan anak akan diutamakan.
Kelima, Pasal 16
Ayat (1) huruf g mengakui hak pribadi yang sama sebagai suami isteri termasuk
hak untuk memilihi nama, keluarga, profesi dan jabatan. Keenam,
Pasal 16 Ayat (1) huruf f mensyaratkan hak yang sama untuk kedua suami dan
isteri bertalian dengan harta benda. Ketujuh, Pasal 16 Ayat (2) melarang
pertunangan dan perkawinan seorang anak.
6. Ketentuan CEDAW Bersifat Teknis
CEDAW disimpulkan dengan Pasal 17 yuncto Pasal 19 sampai
dengan Pasal 22 terhadap Pembentukan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap
Wanita dan Pasal 25 sampai dengan Pasal 30 terhadap hal yang bersifat
administrasi dan prosedural terhadap CEDAW.
[1] -
Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM, Pengantar
Hukum Internasional (1999), Buku I, hal 102-105; Istento op. cit. catatan
kaki no. kaki No.1, Bab II.
[2] -
Konsiderans Menimbang huruf b TAP MPR No.XVII/MPR/1998 beserta Konsiderans
Menimbang huruf d UU No.39 Th.1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM); Ni'matul
Huda, Hukum Tata Negara: Kajian Teoritis
dan Yurdis Terhadap Konstitusi Indonesia (1999), hal.116-117.
[3] -
Bab IV, Pasal 9 s/d Pasal 22 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (Charter of the United Nations); Istento
op. cit. catatan kaki no. kaki no.1, hal.131-134.
[4] -
lihat Pasal 2 Proklamasi Teheran 1968; Konsiderans Menimbang b TAP MPR
No.XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia; Konsiderans Menimbang d UU
No.39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
[5] -
Pasal 1 yo. Lampiran KepPres No.129/1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Hak Asasi Manusia Indonesia.
[6] -
Nursyahbani Katjasungkana, "Perempuan dan HAM: Tinjauan dari Sudut Hukum
Internasional dan Permaslahannya di Indonesia" dalam Mohammad Farid (ed.),
Perisai Perempuan: Kesepakatan
Internasional Untuk Perlindungan Perempuan (1999), hal.xiii.
BAB III - HUKUM NEGARA
Kalau
seorang wanita mencari penghapusan diskriminasi dan perlindungan haknya sebagaimana
disebut dalam CEDAW, sistem pemerintahan dan tata urutan peraturan perundangan
di Indonesia perlu dipahami. Dalam
rangka itu, seorang wanita tersebut boleh mencari perlindungan melalui
keberlakuan CEDAW dalam hukum negara di Indonesia, ketentuan Undang Undang
Dasar 1945 (UUD 1945) beserta perundang-undangan lain tentang HAM.
Dalam
peraturan perundangan tersebut, seorang wanita tersebut perlu mencari pengakuan kaidah penghapusan
diskriminasi dan perlindungan hak wanita.
Selain itu, dia juga perlu mencari penegakan
kaidah tersebut dalam lingkungan peradilan negara maupun lembaga legislatif
atau eksekutif. Seorang wanita tersebut
dapat menyimpulkan bahwa pengakuan tersebut sudah lengkap sedang penegakannya
dapat diperbaiki. Namun demikian, ada masa
depan yang baik untuk penghapusan diskriminasi terhadap wanita dan perlindungan
haknya.
1. Lembaga Pemerintahan dan Tata Urutan Peraturan Perundangan di Indonesia
1.1 Wewenang dan Susunan Lembaga Pemerintahan
Lembaga
pemerintahan di negara kita merupakan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah di Daerah.[1] Pemerintah di Daerah merupakan pejabat
daerah, yaitu Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya; serta Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I (DPRD I) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tingkat II (DPRD II).[2] Wewenang dan susunan lembaga lembaga
pemerintahan tersebut diggariskan UUD
1945 sebagaimana ditambah Perubahan Pertama UUD 1945 Sidang Umum MPR Tahun 1999
beserta perundang-undangan.
MPR adalah
lembaga tertinggi negara. MPR memegang
dan melaksanakan kedaulatan rakyat sepenuhnya.[3] MPR mempunyai tugas menetapkan Garis Garis
Besar daripada Haluan Negara (GBHN), memilih Presiden serta Wakil Presiden dan
mengubah UUD 1945.[4] MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan
utusan daerah dan utusan golongan.[5] Utusan daerah dipilih DPRD I sedang utusan
golongan dipilih DPR. Utusan golongan
`tidak menjadi bagian dari suatu partai politik serta yang kurang atau tidak
terwakili secara proposional di DPR dan terdiri atas golongan ekonomi, agama
sosial, budaya, ilmuwan, dan badan badan kolektif lainnya'.[6]
Presiden
memegang kekuasaan Pemerintahan.[7] Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang
Undang (RUU) kepada DPR.[8] Setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama. Jika RUU
itu tidak mendapat persetujuan bersama RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu. Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang Undang.[9]
Selanjutnya,
Presiden dapat menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk menjalankan UU
sebagaimana mestinya.[10] Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi
terhadap Angkatan Bersenjata dan juga berwenang terhadap keadaan bahaya secara
ditetapkan dengan UU.[11] Presiden mengangkat duta dan menerima
penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan DPR.[12] Presiden memberi grasi dan rehabilitasi
dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (beoordeling van de Volksraad) dan memberi amnesti dan abolisi dengan
memperhatikan pertimbangan DPR.[13]
Presiden
dibantu oleh Wakil Presiden dan kedua-duanya memegang jabatan selama lima tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu
kali masa jabatan.[14] Jika Presidan mangkat, berhenti atau tidak
dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti Wakil Presiden
sampai habis waktunya. Sebagaimana
demikian, Presiden Soeharto diganti Wakil Presiden Habibie pada tanggal 21 Mei
1998.[15] Presiden juga dibantu oleh para Menteri. Presiden berwewenang mengangkat dan
memberhentikan semua Menteri tersebut.[16]
Presiden
dan Wakil Presiden baru diangkat dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999. Presiden ialah K.H. Abdurrahman Wahid dan
Wakil Presiden ialah Megawati Soekarnoputri.[17] Presiden ialah pemimpin Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) dan Wakil Presiden ialah pemimpin Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
Perjuangan. Keanggotaan para Menteri
atau Kabinet baru diumumkan oleh Presiden pada tanggal 26 Oktober tahun 1999.
Para Menteri atau Kabinet tersebut tercantum anggota anggota PKB, PDI
Perjuangan, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan
Partai Pembangunan Persatuan (PPP). Para
Menteri atau Kabinet tersebut juga termasuk Anggota Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). [18]
DPR adalah
lembaga tinggi negara.[19] DPR memegang kekuasaan membentuk Undang
Undang dan akan melaksanaan kekuasaan itu dengan Presiden secara tersebut.[20] Anggota DPR berhak mengajukan usul RUU.[21] Selanjutnya, DPR mempunyai tugas dan wewenang
terhadap hal keuangan, hubungan internasional dan aspirasi masyarakat.[22] Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut
DPR berhak terhadap pejabat pemerintah dan lembaga pemerintahan lain.[23] Susunan DPR ditetapkan UU No.4/1999 Tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD berlandaskan Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945. DPR terdiri atas 462 anggota Partai Politik
(Parpol) hasil Pemilihan Umum (Pemilu) serta 38 anggota ABRI.[24]
Sebagaimana
tersebut, lembaga lembaga pemerintah di daerah ialah Gubernur, Bupati dan Walikota
daerah serta DPRD I dan DPRD II.[25] DPRD I dan DPRD II membentuk Peraturan
Daerah dengan persetujuan masing masing pejabat pemerintah di daerah.[26] DPRD I dan DPRD II berhak mengajukan
Rancangan Peraturan Daerah.[27] Selanjutnya, DPRD I dan DPRD II berkuasa
terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid)[28] dan
Pemilihan Pejabat Pemerintah di Daerah serta Presiden.[29] Akhirnya, DPRD I dan DPRD II bertugas dan
berwenang terhadap hal keuangan,[30] hal
internasional bersama dengan Pemerintah Negara,[31] dan
aspirasi masyarakat.[32]
Susunan
DPRD I berdasarkan Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat.[33] Jumlah Anggota DPRD I ditetapkan
sekurang-kurangnya 45 orang dan sebanyak-banyak 100 orang termasuk 10% anggota
ABRI.[34] Susunan DPRD II pula berdasarkan Parpol dan
ABRI secara disebut. Jumlah Anggota DPRD
II ditetapkan sekurang-kurangnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 45 orang
termasuk 10% anggota ABRI.[35]
Pemilihan
Umum baru dilaksanakan pada tanggal 7 Juni Tahun 1999 berlandaskan UU No.2/1999
Tentang Parpol yuncto Undang Undang No.3/1999 Tentang Pemilu. Parpol hasil Pemilu dalam DPR, DPRD I dan
DPRD II termasuk antara lain PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP dan PAN.
1.2 Parpol dan ABRI sebagai Lembaga Dasar
Pemerintahan di Indonesia
Dengan
susunan lembaga lembaga pemerintahan tersebut, Parpol dan ABRI menjadi lembaga
dasar pemerintahan di Indonesia. Anggota
Parpol hasil Pemilu dan anggota ABRI yang diangkat menjadi Anggota DPR, DPRD I
dan DPRD II. Anggota DPRD I dan DPRD II
memlihi masing masing pejabat pemerintah daerah. Anggota DPRD I dan Anggota DPRD II juga
memilihi utusan daerah yang menjadi anggota MPR. Anggota DPR menjadi anggota MPR. Anggota DPR juga memilihi utusan golongan
yang menjadi anggota MPR. MPR memilihi
Presiden.
Sebagaimana
demikian, susunan atau keanggotaan setiap lembaga pemerintahan tersebut
merupakan, berdasarkan atau dipengaruhi keanggotaan Parpol dan ABRI. Oleh sebabnya, tiap tiap ketentuan lembaga
pemerintah tersebut baik peraturan perundang-undangan atau ketentuan lain
ditetapkan anggota Parpol dan ABRI bersandar kebijakan (beleid) Parpol dan ABRI.
Maka, kebijakan Parpol dan ABRI sebagai kebijakan lembaga dasar
pemerintahan menjadi pedoman penetapan pemerintah Indonesia pada masa kini dan
masa mendatang.
1.3 Tata Urutan Peraturan Perundangan di
Indonesia
Tata urutan
peraturan perundangan lembaga pemerintahan di Indonesia berdasarkan kaidah
negara hukum (Rechstaat). [36] Unsur utama kaidah tersebut adalah setiap
peraturan perundangan wajib berdasarkan dan bersumber pada peraturan
perundangan yang lebih tinggi.[37] Tata urutan peraturan perundangan diatur
dengan TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Republik Indonesia
No.XX/MPRS/1966.[38] Bentuk
peraturan perundangan ditetapkan sebagai berikut: UUD 1945, TAP MPR, Undang
Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden dan peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri,
Instruksi Menteri dan lain lainnya.[39]
UUD 1945
adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi. Oleh sebabnya, UUD 1945 menjadi dasar dan
sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara.[40] UUD 1945 dirancang waktu Indonesi diduduki
Pemerintah Militer Jepang dan dikeluarkan sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan
Republik Indonesia tanggal 17 Agustus tahun 1945.[41] UUD 1945 diganti Konstitusi Republik
Indonesia Serikat[42] (RIS)
tanggal 31 Januari tahun 1950 yang kemudian diganti Undang Undang Dasar
Sementara[43] (UUDS)
Republik Indonesia pada tanggal 15 Agustus tahun 1950. UUD 1945 berlaku lagi dengan Dekrit Presiden
Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden itu bertentangan dengan prosedur perubahan dalam UUDS
1950,[44] meskipun
dikatakan Dekrit Presiden tersebut berlandaskan hukum darurat negara (Staatsnoodsrecht).[45]
Dalam tata
urutan peraturan perundangan di bawah UUD 1945, TAP MPR melaksanakan ketentuan
UUD 1945 bersangkutan terutama ketentuan terhadap GBHN. Undang Undang
melaksanakan ketentuan UUD 1945 atau TAP MPR tentang GBHN di bidang
legislatif. Peraturan Pemerintah
melaksanakan Undang Undang. Keputusan
Presiden melaksanakan Ketentuan UUD 1945
bersangkutan, TAP MPR tentang GBHN di bidang eksekutif dan / atau Peraturan
Pemerintah tersebut. Akhirnya, peraturan
peraturan pelaksanaan lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri dan
lain lainnya bersumber pada peraturan perundangan yang lebih tinggi.[46]
2.
Pengakuan Kaidah Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita dan Pengakuan
Hak Hak Asasi Wanita dalam Hukum Negara
2.1 Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum
Negara di Indonesia
Ada kemungkinan seorang wanita dapat mencari penghapusan atau perlindungan tersebut melalui keberlakuan CEDAW secara disahkan UU No.7/1984. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional berdasarkan ajaran incorporasi maupun ajaran transformasi. Ajaran incorporasi menyatakan perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional langsung berlaku dalam hukum nasional. Dengan perkataan lain, hak, kewajiban dan ketentuan hukum internasional berlaku, mengikat dan bisa ditegakkan dalam hukum nasional. Ajaran incorporasi dilaksanakan di Amerika Serikat terhadap perjanjian internasional serta kebiasaan internasional dan dilaksanakan di Inggris hanya terhadap kebiasaan internasional. [47]
Bagaimanapun, ajaran transformasi berbunyi perjanjian internasional dan / atau kebiasaan internasional tidak berlaku dalam hukum nasional secara tersebut kecuali melalui perundang-undangan. Ajaran transformasi dilaksanakan di Inggris, Perancis dan Australia terhadap perjanjian internasional dan di Australia terhadap kebiasaan internasional.[48]
Di negara
kita, tidak jelas kalau ajaran transformasi atau ajaran incorporasi
dilaksanakan. Hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional tidak ditetapkan secara tersurat dengan UUD
1945.[49] Namun demikian, tata cara pengesahan
perjanjian internasional yang digariskan Pasal 11 UUD 1945 beserta peraturan
perundangan pelaksananya memuat kemungkinan Indonesia melaksanakan ajaran
"transformasi" dan tidak melaksanakan ajaran "incorporasi". Dengan perkataan lain, ada kemungkinan
perjanjian internasional tidak
berlaku di Indonesia.
Pasal 11
UUD 1945 berbunyi, `Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain'. Pasal itu memang tidak jelas. Pengertian `perjanjian dengan negara lain'
tidak dijelaskan. Perjanjian itu dapat
berupa konvensi, traktat atau cuma
persetejuan internasional. Bentuk
`persetujuan' DPR juga tidak dijelaskan.
Persetujuan itu dapat diucapkan dalam bentuk UU atau dengan ketetapan
yang bentuk lain. Selanjutnya, Pasal 11
UUD 1945 tidak cukup luas. Pemerintah
Indonesia hanya dapat membuat perjanjian dengan negara lain dan tidak boleh
membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional.[50]
Masalah
Pasal 11 tersebut diselesaikan dengan Surat Presiden No.2826/HK/60 Kepada Ketua
Dewan Perwakilan Rakyat Tentang Pembuatan Perjanjian Dengan Negara Lain. Surat Presiden itu berpendapat bahwa
`perjanjian' sebagaimana disebut dalam Pasal 11 UUD 1945 tidak berarti segala
jenis perjanjian internasional.
Melainkan, `perjanjian' itu hanya berupa perjanjian internasional
terpenting. Perjanjian internasional
terpenting adalah perjanjian berbentuk traktak
yang menyangkut persoalan seperti soal soal politik, perubahan wilayah negara,
ekonomi dan sebagaimana.[51]
Oleh
sebabnya, Surat Presiden No.2826/HK/60 menyatakan hanya perjanjian
internasional terpenting secara tersebut akan diajukan pada DPR untuk
persetujuannya. Perjanjian internasional
lain akan disahkan Presiden sendiri dan disampaikan pada DPR hanya untuk
diketahui.[52] Surat Presiden itu pula mengajukan pengertian
bahwa persetujuan DPR tidak perlu diucapkan dalam bentuk UU melainkan dapat
diucapkan dengan ketetapan yang bentuk lain.[53]
CEDAW disahkan
dengan UU No.7/1984 ketika Surat Presiden tersebut berlaku. Pasal 1 UU tersebut menyatakan Pengesahan
CEDAW. Selanjutnya, Lampiran UU tersebut
memuat isi CEDAW. UU No.7/1984 tidak menyatakan hak, kewajiban dan ketentuan
lain diucapkan dalam CEDAW berlaku secara langsung atau sesuai dengan ajaran
"incorporasi" tersebut.
Melainkan, secara sesuai dengan ajaran "transformasi", UU
tersebut menyiratkan ketentuan CEDAW tidak
berlaku kecuali sepanjang peraturan pelaksana UU tersebut akan melindungi
ketentuan CEDAW.[54]
Surat
Presiden tersebut baru diganti dengan UU No.4/1999 Tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pasal 36
Ayat (1) UU tersebut menetapkan, `Perjanjian perjanjian internasional yang
menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak bangsa dan negara baik di
bidang politik, keamanan, sosial budaya, ekonomi maupun keuangan yang dilakukan
Pemerintah memerlukan persetujuan DPR sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku'.[55] Pasal 36 Ayat (1) UU tersebut tidak
mengganggu pelaksanaan ajaran "transformasi". Bahkan, UU yang dikeluarkan di bawah Pasal
tersebut mengesahkan perjanjian internasional secara sama dengan UU No.7/1984.[56]
Bagaimanapun,
ada kemungkinan pelaksanaan ajaran "transformasi" memang diganggu di
bidang perjanjian international tentang HAM.
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 baru ditambah dengan UU No.39/1999
Tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 7 Ayat
(2) UU No.39/1999 menyatakan `Ketentuan hukum internasional yang telah diterima
negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum
nasional'. Maksudnya tidak jelas dan
tidak ditegaskan lebih lanjut dengan Penjelesan Atas UU No.39/1999..
Ada
kemungkinan maksud Pasal 7 Ayat (2) berupa ketentuan hukum internasional
tentang HAM menjadi hukum nasional hanya sepanjang ketentuan hukum tersebut
menguasakan peraturan pelaksana, secara sesuai dengan Pasal 11 UUD 1945 dan
Pasal 36 Ayat (1) UU No.4/1999 tersebut.
Jika artinya itu, ajaran transformasi masih dilaksanakan terhadap
perjanjian internasional tentang HAM.
Namun demikian,
ada kemungkinan lain Pasal 7 Ayat (2) berarti bahwa ajaran incorporasi akan
dilaksanakan terhadap perjanjian internasional dan kebiasaan internasional
tentang HAM. Jika maksudnya itu, UDHR
dan Konvensi tentang HAM langsung berlaku di negara kita dan CEDAW memang dapat
ditegakkan oleh wanita bersangkutan. Ada
kesulitan dengan pengertian ini. Dalam
UU No.39/1999 maupun peraturan perundangan lain, jalan pembuatan hukum terhadap
ketentuan hukum internasional tersebut tidak terperinci. Pengadilan bersangkutan maupun Hukum Acaranya
tidak disebut. Jadi, meskipun
kemungkinan dikatakan UU No.39/1999, sulit disimpulkan bahwa CEDAW berlaku
secara langsung di Indonesia.
2.2 Undang-Undang Dasar 1945
Seorang
wanita bisa mendapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang mengakui penghapusan
diskriminasi dan melindungi hak wanita secara dapat diperbaiki. Bab X sampai dengan Bab XIV UUD 1945
mengandung hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia (WNI).
UUD 1945
melindungi persamaan antara pria dan wanita secara sesuai dengan Pasal 2 butir
b yuncto Pasal 15 CEDAW. Pasal 27 Ayat
(1) UUD 1945 menyatakan `Segala warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya
di dalam Hukum dan Pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan Pemerintahan
itu, dengan tidak ada kecualinya'. Pasal
ini menjamin persamaan antara pria, wanita dan kaum lain di muka hukum dan di
dalam segala peraturan perundangan.[57] Secara tersirat, Pasal 27 Ayat (1) mengakui
kaidah penghapusan diskriminasi terhadap wanita. Jadi, peraturan perundangan yang bersifat diskriminatif
bertentangan dengan Pasal tersebut.
Bagaimanapun,
Pasal 27 Ayat (1) juga menetapkan kewajiban WNI mengenai penjunjungan hukum dan
pemerintahan di Indonesia. Keberadaan
kewajiban didasarkan kaidah kolektifisme.
Yaitu, hak hak asasi seorang ditambah dengan kewajiban terhadap
masyarakat karena kepentingan seorang dilindungi seleras dengan kepentingan
masyarakat. Kaidah kolektifisme itu
diucapkan dalam Rancangan UUD 1945 oleh Ir. Soekarno[58] dan diakui
negara berkembang secara umum.[59]
UUD 1945
pula mengakui HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita. Pasal 27 Ayat (2) memberikan hak pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan untuk segala WNI secara sesuai
dengan Pasal 11 CEDAW. Pasal 28 UUD
1945 mengakui kemerdekaan sipil dan politik secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 28 tersebut menyatakan
`Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluaskan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang Undang'.
Bagaimanapun,
Pasal 28 dapat disempurnakan. Pertama, Pasal 28 dikukuhkan jika
kemerdekaan tersebut menjadi hak pribadi, yaitu: hak berserikat, hak berkumpul
dan hak mengeluarkan pikiran. Kedua,
Pasal 28 pula dikukuhkan jika perlindungan kemerdekaan tersebut
diluaskan. Pasal 28 menyatakan kemerdekaan
tersebut akan `ditetapkan dengan Undang Undang'. Dengan perkataan lain, kemerdekaan tersebut
dapat dilindungi atau dilanggar dengan UU.[60] Pasal 28 diperbaiki kalau kemerdekaan tidak
boleh dilanggar atau dikurangi secara tersebut.
Dahulu,
perlindungan yang lebih luas diberikan dengan Konstitusi RIS 1950 dan UUDS
1950. Pasal 19 Konstitusi RIS 1950
yuncto Pasal 19 UUDS 1950 yang hampir sama menyatakan, `Setiap orang berhak
atas kebebasan mempunyai dan menegeluarkan pendapat'. Selanjutnya, Pasal 20 Konstitusi RIS 1950
serta Pasal 20 UUDS 1950 tersebut berbunyi, `Hak penduduk atas kebebasan
berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan Undang Undang'.
Akhirnya,
Pasal 32 Konstitusi RIS 1950 sebagaimana diubah dengan Pasal 33 UUDS 1950
menetapkan, `Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebabasan yang diterangkan dalam
bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan Undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada
terhadap hak-hak serta kebebasan orang lain dan untuk memenuhi syarat syarat
yang adil untuk ketentraman, kesusilaan dan sejahteraan dalam suatu masyarakat
yang demokratis'.
Pasal 29
UUD 1945 melindungi kemerdekaan agama dan juga sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 29 Ayat (2) berbunyi
`Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu'. Selain itu, Pasal 31 Ayat (1)
menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pengajaran secara sesuai
dengan Pasal 10 CEDAW.
Ketentuan
UUD 1945 perlu ditambah dengan hak dan kemerdekaan yang lain. Menurut Prof. Dr. Muchsan, SH, UUD 1945 dapat
tercantum perlindungan hak administratif, hak pertisi, hak perekonomian serta
hak mendirikan organisiasi amal dan sosial secara sesuai dengan ketentuan
CEDAW.[61]
2.3 Pancasila
Seorang
wanita juga bisa mendapat pengakuan penghapusan dan perlindungan tersebut dalam
Pancasila secara kolektif, tanpa rinci dan belum disesuaikan dengan Era
Reformasi. Pancasila merupakan lima
sila: pertama, Ketuhanan Yang Maha
Esa; kedua, Kemanusiaan Yang Adil Dan
Beradab; ketiga, Persatuan Indonesia;
keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan / Perwakilan dan kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Sila yang
paling penting terhadap perlindungan wanita secara tersebut adalah sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab".
Maksudnya, setiap manusia adalah ciptaan Tuhan yang berbudi dan
mempunyai cipta, rasa dan karsa. Untuk
melakukan dengan potensi itu, segala manusia mempunyai hak dan kewajiban
asasinya. Hak dan kewajiban tersebut
berdasarkan persamaan, yaitu tidak dibedakan menurut jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.[62]
Sila
"Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab" tidak memperinci haknya dan
kewajibannya, terutama terhadap CEDAW.
Selanjutnya, hubungan antara hak dan kewajiban dalam Pancasila tidak
jelas. Prof. Darji Darmodiharjo, SH,
berpendapat bahwa kewajiban mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak
tersebut. Oleh sebabnya, kewajiban harus
dipenuhi sebelum hak dapat dinikmatkan.[63] Pendapat ini mengandung kaidah kolektifisme
tersebut dan pula menjadi perbedaan pendapat mengenai HAM antara Indonesia dan
negara barat.[64]
Bagaimanapun
juga, isi Pancasila ketika Era Reformasi memang tidak yakin. Pancasila dirumuskan pada masa penjajahan
Angkatan Perang Jepang tahun 1945.
Pancasila dicantumkan dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta Mukadimah Konstitusi RIS 1950 dan
Mukadimah UUDS RI 1950.[65] Pada masa Orde Lama, Pancasila mempunyai
kedudukan yang penting disamping ideologi dan asas lain Presiden Soekarno.[66]
Pada masa
Orde Baru, Pancasila melalui TAP MPRS No.XX/MPR/1966 menjadi `Sumber dari
segala sumber hukum'. Sebagaimana
demikian, Pancasila menjadi Dasar Negara Republik Indonesia dan meliputi
`Pandangan hidup, kesadaran dan cita cita hukum serta cita cita moral luhur
yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari Bangsa Indonesia...'.[67] Dengan TAP MPR No. II/MPR/1978 Tentang
Pedoman Penghayatan Dan Pengalaman Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) isi
Pancasila ditegaskan secara lanjut.
Namun
demikian, TAP MPR No.II/MPR/1978 baru dicabut dengan Ketetapan MPR
No.XVIII/MPR/1998.[68] Konsiderans menimbang b TAP MPR
No.XVIII/MPR/1998 menjelaskan TAP MPR No.II/MPR/1978 `tidak sesuai dengan
perkembangan kehidupan bernegara'. Pasal
1 TAP MPR No.XVIII/MPR/1998 menegaskan Pancasila masih berfungsi sebagai `dasar
negara'. Bagaimanapun, Pancasila `harus
dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara'.
Dengan perkataan
lain, isi Pancasila perlu diperbaharui.
Namun, TAP ini tidak mengajukan pembaharuan isi Pancasila sebagai
pengganti TAP MPR No.II/MPR/1978. Oleh
sebabnya, meskipun telah jelas Pancasila masih dasar Negara Indonesia, isinya
dalam Era Reformasi belum ditetapkan.
2.4 Perundang-undangan
Seorang
wanita dapat mencari pengakuan kaidah penghapusan diskriminasi dan hak wanita
yang lengkap dalam TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU
No.39/1999.[69] TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 mengakui dan
melindungi segala HAM berdasarkan persamaan antara pria dan wanita secara
sesuai dengan Pasal 3 CEDAW. TAP MPR
tersebut merupakan Pembukaan, Batang Tubuh dan Lampiran. Lampirannya berupa "Pandangan Dan Sikap
Bangsa Indonesia Terhadap Hak Asasi Manusia" dan "Piagam Hak Asasi
Manusia".
Pasal 1
sampai dengan Pasal 6 Piagam HAM tersebut memberikan hak hak individu terhadap
hidup, keluarga dan perkembangan diri.
Pasal 7 sampai dengan Pasal 12 membentuk hak keadilan di bidang hukum. Pasal 13 sampai dengan Pasal 19 menggariskan
hak kemerdekaan di bidang politik dan sosial.
Pasal 20 yuncto Pasal 21 menetapkan hak atas kebebasan informasi. Pasal 22 sampai dengan Pasal 26 memberikan
hak keamanan. Pasal 33 membentuk hak
kesejahteraan.
Setiap
Pasal tersebut menyatakan hak hak asasinya diberikan pada `setiap orang'. Selanjutnya, Pasal 38 menyatakan, `Setiap
orang berhak bebas dari dan mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif'. Akhirnya, Pasal
39 berbunyi, `Dalam pemenuhan hak asasi manusia, laki laki dan perempuan berhak
mendapatkan perlakuan dan perlindungan yang sama'. Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 2
butir b, Pasal 7, Pasal 12 dan Pasal 15 CEDAW.
TAP
tersebut menetapkan hak asasinya akan dilindungi dan dilaksanakan lembaga
pemerintahan Indonesia. Pasal 1 Batang
Tubuh TAP tersebut `menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh
Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman
mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat'. Dengan tujuan ini, Presiden dan DPR akan
mengesahkan konvensi internasional terhadap HAM.[70] Selanjutnya, HAM akan ditetapkan dengan
Perundang-undangan.[71] Akhirnya, pertanggung-jawaban Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Kom Nas HAM) yang pada masa itu ditetapkan dengan Kep Pres
No.50/1993 akan ditambah dengan Undang Undang.
TAP
tersebut juga menyelenggarakan ruang lingkup pembatasan terhadap HAM. Pasal 36 Piagam HAM TAP itu berbunyi, `setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain, dan untuk memnuhi tuntuan yang adil sesuai dengan
pertimbaganan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis'. Namun demikian, Pasal 44 menetapkan ada
beberapa HAM yang bersifat tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable).
TAP
No.XVII/MPR/1998 mengakui kewajiban dasar manusia. Pasal 3 menegaskan HAM akan dilaksanakan,
`melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggung jawabnya
sebagai warga negara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara'. Selanjutnya, hak hak asasi tersebut ditambah
dengan kewajiban. Pasal 35 yang
berlandaskan Pasal 30 UUD 1945 menetapkan `setiap orang wajib ikut serta dalam
upaya pembelaan negara'. Kewajiban tersebut didasarkan kaidah
"kolektifisme" sebagaimana UUD 1945 beserta Pancasila.
TAP MPR
Nomor XVII/MPR/1998 baru dilaksanakan dengan UU No.39/1999. UU tersebut memperinci ketentuan TAP itu di
bidang Hak untuk Hidup,[72] Hak
Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[73] Hak
Mengembangkan Diri,[74] Hak Atas
Kebebasan Pribadi,[75] Hak Atas
Rasa Aman[76] dan Hak
Atas Kesejahteraan.[77]
Selanjutnya,
UU No.39/1999 mengandung hak hak asasi manusia berdasarkan ketentuan UDHR dan
ICCPR[78] di bidang
Hak Berkeluarga dan Melanjutkan Keturunan,[79] Hak
Memperoleh Keadilan,[80] Hak Atas
Kebebasan Pribadi,[81] Hak Atas
Rasa Aman,[82] Hak atas
Kesejahteraan[83] dan Hak
Turut Serta dalam Pemerintahan.[84]
UU
No.39/1999 juga memuat hak anak dan hak wanita berdasarkan Konvensi Tentang Hak
Hak Asasi Anak (Convention on the Rights
of the Child) beserta CEDAW.[85] Bagian Kesembilan UU tersebut menyangkut Hak
Wanita. Pasal 45 menetapakan hak wanita
mempunyai kedudukan sebagai hak asasi manusia secara sesuai dengan Pasal 3
CEDAW. Pasal 46 UU No.39/1999 berbunyi,
`Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif dan
sistem pengankatan di bidan geksekutif, yudikatif harus menjamin keterwakilan
wanita sesuai persyaratan yang ditentukan'.
Pasal 46 tersebut sesuai dengan Pasal 7 yo. Pasal 8 CEDAW.
Pasal 47 UU
No.39/1999 melindungi hak wanita terhadap kewarganegaraan dan menyatakan
kewarganegaraan wanita tidak akan ditetapkan secara otomatis menurut
kewarganegaraan suaminya. Pasal 47 tersebut
berdasarkan Pasal 9 CEDAW. Pasal 48 UU
No.39/1999 menentukan wanita berhak pendidikan dan pengajaran di semua jenis,
jenjang dan jalur pendidikan juga sesuai dengan persyaratan yang telah
ditentukan. Pasal 48 bersandarkan Pasal
10 CEDAW.
Pasal 49
menyatakan hak wanita di bidang pekerjaan secara sesuai dengan Pasal 11
CEDAW. Pasal 49 Ayat (1) berbunyi
`wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pejerjaan, jabatan dan
profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan'. Pasal 49 Ayat (2) dan Ayat (3) mengandung
ketentuan terhadap fungsi reproduksi serta pekerjaan.
Pasal 50
yuncto Pasal 51 mengandung hak wanita dalam perkawinan berdasarkan Pasal 16
CEDAW. Pasal 50 menetapakan, `Wanita
yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum
sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya'. Pasal 51 Ayat (1) menentukan, `Seorang istri
selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama
dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya,
hubungan dengan anak-anaknya serta pengelolaan harta bersama'.
Selanjutnya,
Pasal 51 Ayat (2) menyatakan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua
hal yang berkenaan dengan anak-anakynya, dengan memperhatikan kepentingan
terbaik bagi anak'.
Akhirnya,
Pasal 51 Ayat (3) menetapkan, `Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita
mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan
dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP No.XVII/MPR/1998 terhadap Kewajiban Dasar
Manusia.[86] Selain itu, UU No.39/1999 menetapkan hubungan
antara hak asasi dan kewajiban dasar manusia tersebut. Pasal 1 butir 2 UU No.39/1999 menyatakan,
`Kewajiban dasar manusia adalah separangkat kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia'.
UU
No.39/1999 melaksanakan ketentuan TAP tersebut tentang Kewajiban dan Tanggung
Jawab Pemerintah.[87] UU
tersebut pula mengandung aturan khusus tentang pembatasan dan larangan
HAM. Pasal 73 UU No.39/1999 menggariskan
pembatasan sebagaimana disebut dalam Pasal 36 TAP tersebut. Namun demikian, Pasal 73 diikuti Pasal 74 UU
yang menyatakan, `Tidak satu ketentuanpun dalam Undang Undang ini boleh
diartikan bahwa Pemerintah, partai, golongan atau pihak manapun dibenarkan mengurangi,
merusak atau menghapuskan hak asasi manusia atau kebebasan dasar yang diatur
dalam Undang Undang ini'.
[1] -
untuk hubungan antara lembaga lembaga pemerintahan tersebut lihat TAP MPR
No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
Negara Dengan / Atau Antara Lembaga Lembaga Tinggi Negara.
[2] -
Pasal 18 UUD 1945 serta Pasal 34 Ayat (2) huruf a UU No.4/1999 Tentang Susunan
dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Lihat
lebih lanjut dengan UU No.5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintah di Daerah
beserta UU No.5/1979 Tentang Pemerintahan Desa sebagaimana telah diubah dengan
UU No.22/1999 tentang Pemerintah di Daerah dan UU No.25/1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lihat juga Soehino SH, Perkembangan Pemerintah di Daerah (1995), Bab. VII.
[3] -
Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 yo. Pasal 32 Ayat (2) UU No. 4/1999.
[4] -
Pasal 3, Pasal 6 Ayat (2) serta Pasal 37 UUD 1945 sebagaimana ditambah dengan
Pasal 4 TAP MPR No.II/MPR/1999 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Lihat TAP MPR No.VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Lihat juga TAP MPR No. VII/MPR/1998 Tentang Perubahan dan Tambahan Atas
TAP MPR No.I/MPR/1983 Tentang Peraturan Tat Tertib Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diuban dan Ditambah
Terakhir Dengan TAP MPR No. 1/1998, TAP MPR RI No.I/MPR/1999 Tentang Perubahan
Kelima Atas TAP MPR RI No.I/MPR/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[5] -
Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945.
[6] -
Pasal 1 Ayat (5) yo. Pasal 2 Ayat (3), (5) dan (6) UU No.4/1999.
[7] -
Pasal 4 Ayat (1) UUD 1945.
[8] -
Pasal 5 Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama UUD
1945.
[9] - ibid Pasal 20.
[10] -
Pasal 5 Ayat (2) UUD 1945.
[11] -
ibid Pasal 10.
[12] -
Pasal 13 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama UUD 1945.
[13] -
ibid Pasal 14. Lihat juga Pasal 35 UU No.14/1985 Tentang
Mahkamah Agung.
[14] -
ibid Pasal 4 Ayat (2) yo. Pasal 7. Lihat juga TAP MPR No.XIII/MPR/1998 Tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
[15] -
Sumpah Presiden Prof. Dr. Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie Tanggal 21 Mei 1999
berlandaskan Pasal 8 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yo. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor VII/MPR/1973 Tentang Keadaan Presiden
Dan / Atau Wakil Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
[16] -
Pasal 17 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama UUD 1945.
[17] -
Pasal 1 TAP MPR No.VII/MPR/1999 serta Pasal 1 TAP MPR No.VIII/MPR/1999.
[18] -
Kompas, Tanggal 27 October Tahun
1999, p.1.
[19] -
Pasal 33 Ayat (1) UU No.4/1999.
[20] -
Pasal 20 UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Pertama UUD
1945.
[21] -
ibid Pasal 21.
[22] -
Pasal 33 Ayat (2) huruf b s/d huruf f yo. Pasal 36 UU No.4/1999.
[23] -
Pasal 33 Ayat (2) dan Ayat (3) UU No.4/1999.
[24] -
Pasal 11 Ayat (1) s/d Ayat (3) UU No.4/1999.
Lihat juga UU No.2/1999 tentang Parpol serta UU No.3/1999 tentang
Pemilu.
[25] -
Pasal 18 UUD 1945.
[26] -
Pasal 34 Ayat (2) huruf d UU No.4/1999.
[27] -
ibid Pasal 34 Ayat (3) huruf f.
[28] -
ibid Pasal 34 Ayat (2) huruf e.
[29] -
ibid Pasal 34 Ayat (2) huruf a yo.
huruf b.
[30] -
ibid Pasal 34 Ayat (2) huruf c dan
huruf e yo. Ayat (3).
[31] -
ibid Pasal 34 Ayat (2) huruf e dan
Ayat (5) huruf f yo. Pasal 36 Ayat (2).
[32] -
ibid Pasal 34 Ayat (3) yo. Ayat (4)
UU No.4/1999.
[33] -
lihat UU No.2/1999 tentang Parpol serta UU No.3/1999 tentang Pemilu.
[34] -
ibid Pasal 18.
[35] - ibid Pasal
25.
[36] -
Bab Pendahuluan butir 7 Lampiran TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum
DPRGR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia.
[37] -
ibid Bab II, Bagian A, Ayat 2.
[38] -
lihat juga TAP MPR No.V/MPR/1973 beserta TAP MPR No. IX/MPR/1978.
[39] -
ibid Bab II, Bagain A, Ayat 1.
[40] -
Bab II, Bagian A, butir 2 dan 3 yo. Bagian B butir 1 TAP MPRS No.XX/MPRS/1966.
[41] -
H. Abdullah Zaini, SH, Pengantar Hukum
Tata Negara (1991), hal.111-118.
[42] -
KepPres RIS No.48/1950.
[43] -
UU No.7/1950.
[44] -
Pasal 140 yo. Pasal 141 UUDS 1950. Lihat
juga Zaini op. cit. catatan kaki no. 48, hal. 161 s/d 166 dan Soehino SH, Hukum Tata Negara: Sejarah Ketatanegaraan
Indonesia (1992), hal. 86 s/d 104.
[45] -
Ni'matul Huda op.cit. catatan kaki no. n.22, hal.58. Lihat juga Prof. Mr. Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia (1996),
passim.
[46] -
Bab II, Bagian B, butir 2 s/d butir 6 TAP MPRS No.XX/MPRS/1966. Untuk teknis penyusunan peraturan
perundang-undangan lihat KepPres No.l88/1998 Tentang Tata Cara Mepersiapkan
Rancangan Undang Undang beserta KepPres No.44/1999 Tentang Teknik Penyusunan
Peraturan Perundang-undangan Dan Bentuk Rancangan Undang Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah Dan Rancangan Keputusan Presiden. Lihat juga Soehino SH, Hukum Tata Negara: Teknik Perundang-undangan (1996), passim.
[47] -
Kusumaatmadja, op. cit. catatan kaki no.21, hal.57-62.
[48] -
ibid.
Lihat juga Minister for
Immigration and Ethnic Affairs v. Teoh (1995) 183 CLR 225 beserta Nulyarimma v. Thompson [1999] FCA 1192
(1 September 1999).
[49] -
Kusumaatmadja, op. cit. catatan kaki no.21, hal.63-67.
[50] -
Edy Suryono SH, Praktek Ratifikasi
Perjanjian Internasionl di Indonesia (1988), hal.34-35 serta
hal.68-70. Bandingkan dengan Pasal 175
yo. Pasal 176 Konstitusi RIS 1950 serta Pasal 120 yo. Pasal 121 UUDS 1950.
[51] - Butir 2 yo Butir 4 huruf a s/d huruf c
Surat Presiden No.2826/HK/1960.
[52] -
ibid Butir 4. Lihat contoh KepPres No.36/1990 Tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Tentan Hak Hak Anak.
[53] -
ibid Butir 3.
[54] -
lihat Bagian I Penjelesan Atas UU No.7/1984.
Lihat juga (sebagai contoh peraturan pelaksana UU No.7/1984) Peraturan
Menteri No.SE-04/Men/1988 sebagaimana dijelaskan dalam Mohammad Farid op. cit.
catatan kaki no.26, hal.xv.
[55] -
lihat juga Pasal 33 Ayat (2) huruf e UU No.4/1999.
[56] -
lihat Bagian I Angka 2 Penjelesan Atas UU No.29/1999 tentang Pengesahan Internasional Convention on the Elimination
of All Forms of Racial Discirmination 1965 (Konvensi Internasional Tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965). Lihat juga UU No.19/1999 tentang Pengesahan ILO Convention No.105 Concerning the
Abolution of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa),
UU No.20/1999 tentang Pengesahan ILO
Convention No.138 Concerning Minimum Age for Admission to Employment (Konvensi
ILO Mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja), UU No.21/1999 tentang
Pengesahan ILO Convention No.111
Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi
ILO Mengenai Diskriminasi Dalam Pekerjaan dan Jabatan).
[57] -
Bambang Sunggono, SH, MS dan Aries Harianto, SH, Bantuan Hukum dan HAM (1994), hal.88-89.
[58] -
R G Kartasapoetra, SH, Sistematika Hukum
Tata Negara (1987), hal. 258-261.
[59] -
lihat Konstitusi India (Constitution of
India) maupun Piagam Africa
Tentang Hak Asasi dan Kewajiban Dasar Manusia (African Charter of Rights and Duties).
[60] -
Sunggono dan Harianto op. cit. catatan kaki no. 83, hal 89. Namun demikian lihat Kartasapoetra op. cit.
catatan kaki no.84, hal. 262.
[61] -
Prof. Dr. Muchsan, SH, "Penggantian UUD 1945 Menuju Indonesia Baru Yang
Demokratis" Makalah Seminar "Amandmen UUD 1945", Fakultas
FISIPOL, Universitas Gadjah Mada (UGM), Tanggal 18 September Tahun 1999, hal.
10-13. Lihat juga Ni'matul Huda op.cit.
catatan kaki no. 22, hal.123; dan TAP MPR No.IX/MPR/1999 Tentang Penugasan
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Untuk
Melanjutkan Perubahan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[62] -
Prof. Dr. A. Gunawan Setiardja, Hak Hak
Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila (1993), hal.43-44; A. Malik
Fadjar dkk., Pancasila: Dasar, Filsafat
Negara (1992), hal.100 s/d 103; Prof. Darji Darmodiharjo dkk., Santiaji Pancasila (1990), hal.39-42.
[63] -
Darmodiharjo dkk. op. cit. catatan kaki no. 88, hal.77. Bandingkan Pasal 1 butir 2 UU No.39/1999.
[64] -
M. Dawan Rahardjo, "Pancasila dan Masalah Hak Hak Asasi Manusia"
dalam Alex Lanur (ed.), Pancasila Sebagai
Ideologi Terbuka (1995), hal.26.
[65] -
Darmodiharjo dkk., op. cit. catatan kaki no.88, hal.24-30.
[66] -
Drs. Ismauan, Tinjauan Pancasila (1991),
hal. 79-94.
[67] -
Bab I Lampiran TAP MPRS No.XX/MPRS/1966.
Lihat juga A. Malik Fadjar dkk., Pancasila:
Dasar, Filsafat Negara (1992), hal.78-79; Drs. Rojikin Daman, Pancasila Dasar Falsafah Negara (1995),
hal.9-10.
[68] -
Pasal 2 TAP MPR No.XVII/MPR/1998 Tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 Tentang Pedoman
Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) Dan Penetapan
Tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara.
[69] -
bandingkan dengan Rancangan Keputusan Pimpinan MPRS No.: A3/1/Ad Hoc
B/MPRS/1966 Tentang Piagam Hak Hak Asasi Manusia dan Hak Hak Serta Kewajiban
Warga Negara berdasarkan Rancangan Hasil Karya Panitia Ad Hoc IV MPRS yang
dibentuk dengan TAP MPRS No.XIV/MPRS/1966 yo. Keputusan Pimpinan MPRS No:
A3/1/23/MPRS/1966. Lihat Soehino, SH, Hukum Tata Negara: Negara Kesatuan Republik
Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 Adalah Negara
Hukum (1985), hal.88-90 dan I.C.1.e Lampiran TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[70] -
Pasal 2 Batang Tubuh TAP MPR XVII/MPR/1998.
[71] -
ibid Pasal 44 Piagam HAM.
[72] -
Pasal 9 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 1 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[73] -
Pasal 10 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 2 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[74] -
Pasal 11 s/d Pasal 16 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 3 s/d Pasal 6 serta
Pasal 20 yo. Pasal 21 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[75] -
Pasal 20 s/d Pasal 27 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 13 yo. Pasal 14 dan
Pasal 17 s/d Pasal 19 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[76] -
Pasal 28 s/d Pasal 35 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 22 s/d Pasal 24 TAP MPR
No.XVII/MPR/1998.
[77] -
Pasal 36 s/d Pasal 42 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 29 yo. Pasal 31 s/d
Pasal 33 TAP MPR No.XVII/MPR/1998.
[78] -
Penjelasan Umum UU No.39/1999.
[79] -
Pasal 10 Ayat (2) UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 16 Ayat (2) UDHR.
[80] -
Pasal 17 s/d Pasal 19 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 11 UDHR yo. Pasal 14
ICCPR.
[81] -
Pasal 20 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 4 UDHR.
[82] -
Pasal 29 Ayat (2) yo. Pasal 32 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 6 yo. Pasal 12
UDHR.
[83] -
Pasal 36 yo. Pasal 39 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 17 yo. Pasal 23 Ayat (4) UDHR.
[84] -
Pasal 43 UU No.39/1999 berdasarkan Pasal 21 UDHR.
[85] -
Pasal 45 s/d Pasal 66 UU No.39/1999.
[86] -
Pasal 67 s/d Pasal 70 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 34 s/d Pasal 36 TAP MPR
No.XVII/MPR/1998.
[87] -
Pasal 71 yo. Pasal 72 UU No.39/1999 berlandaskan Pasal 43 yo. Pasal 44 TAP MPR
XVII/MPR/1998.