MAKALAH
HUKUM WARIS ADAT
SISTEM KEKERABATAN PATRILINEAL
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah negara yang kaya akan budaya dan adat, termasuk dalam hal pewarisan,
Indonesia memiliki berbagai macam bentuk waris diantaranya, diantaranya waris
menurut hukum BW, hukum islam, dan adat. Masing-masing hukum tersebut memiliki
karakter yang berbeda dengan yang lain.
Harta warisan menurut hukum adat bisa dibagikan secara
turun-temurun sebelum pewaris meninggal dunia, tergantung dari musyawarah
masing-masing pihak. Hal ini sangat berbeda dengan kewarisan hukum BW dan hukum
islam yang mana harta warisan harus dibagikan pada saat ahli waris telah telah
meninggal dunia. Apabila harta warisan diberikan pada saat pewaris belum
meninggal dunia, maka itu disebut pemberian biasa atau dalam hukum islam bias
disebut sebagai hibah.
Dengan adanya beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat
yang berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan dengan adat
dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan dan kekurangan yang ada
pada sistem kewarisan tersebut.
RUMUSAN MASALAH
o Apa yang mendasari hukum waris adat dari system
patrilineal?
o Apa pengertian secara umum mengenai hukum waris adat?
o Pemahaman tentang sifat hukum waris adat?
o Bagaimana system keturunan pada hukum waris adat?
o Apa yang di maksut dengan system keturunan?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Waris Adat
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang
bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta
kekayaan materiil dan non materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh
aturan-aturan hukum lainnya atas lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris
dapat diwariskan sebagai berikut:
1. Hak purba/pertuanan/ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2. Kewajiban dan hak yang timbul
dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku
meninggal.
3. Transaksi-transaksi seperti jual
gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
4. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan
pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti
adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah-tangga kepada
pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum
waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan,
dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris
islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau,
hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris
adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari
bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa
didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris
dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang
harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum
waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu
generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana
pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.
Hukum waris adat memuat tiga unsur pokok, yaitu:
1. Mengenai subyek hukum
waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang menjadi ahli waris.
2. Mengenai kapan suatu
warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan dalam pengalihan harta
waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing ahli waris.
3. Mengenai obyek hukum waris
itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang dinamakan harta warisan, serta
apakah harta-harta tersebut semua dapat diwariskan.
Di dalam masyarakat adat Indonesia, secara teoritis
sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Sistem
Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian).
b. Sistem Matrilinial,
yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana kedudukan wanita
lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam pewarisan (Minang
kabau, Enggano, Timor).
c. Sistem Parental
atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua,
atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak
dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan,
Sulawesi dan lain-lain).
Sistem Patrilineal adalah sistem kekerabatan yang
menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini setiap orang hanya
menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini mengakibatkan kedudukan
pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam hal mewaris. Sistem ini
dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung, Seram, NTT dan
lain-lain.
Secara umum, asas pewarisan yang dipakai dalam
masyarakat adat bergantung dari jenis sistem kekerabatan yang dianut. Namun
menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang paten. Artinya, asas tersebut
tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana hukum warisan itu berlaku.
Seperti misalnya, asas individual tidak hanya ditemukan pada masyarakat yang
menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan pada masyarakat yang menganut
asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak yang menganut sistem
patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas individual.
Menurut
Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris
kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat
berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang
dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi
jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum
pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta
kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari
pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi
dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas
bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas
Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya
terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah
Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada
dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan
kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris
adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal,
parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu
berlaku sistem kewarisan yang sama.
B.
Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris
atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak
perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang
berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat
terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan
adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu
dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana
didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh
dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini
bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:
“Tiada seorangpun yang mempunyai bagian dalam harta
peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya harta peninggalan itu dalam
keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang tidak terbagi dapat
digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan persetujuan para tetua adat
dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk harta warisan yang terbagi
kalau akan dialihkan atau dijual oleh waris kepada orang lain harus dimintakan
pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak melanggar hak ketetanggaan
(naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak mengenal azas “legitieme portie”
atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris barat dimana untuk para waris telah
ditentukan hak-hak waris atas bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana
diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak mengenal adanya hak bagi waris
untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan dibagikan kepada para waris
sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal 1066 KUHPerdata atau juga
menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris mempunyai kebutuhan atau
kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka ia dapat saja mengajukan
permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan dengan cara bermusyawarah
dan bermufakat dengan para waris lainnya.
C.
Sistem
Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat
tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan
kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada
kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a. Sistem Kolektif
Apabila para waris mendapat harta peninggalan yang
diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi
secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut kewarisan kolektif.
Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh memiliki harta
peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk memakai, mengusahakan
atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau: “ganggam bauntui”). Pada
umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta peninggalan leluhur yang disebut
“harta pusaka”, berupa bidang tanah (pertanian) atau barang-barang pusaka,
seperti tanah pusaka tinggi, sawah pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh
Mamak kepala waris dan digunakan oleh para kemenakan secara bersama-sama. Di
Ambon seperti tanah dati yang diurus oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap
tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol,
yang di masa sekarang sudah boleh ditransaksikan atas persetujuan anggota
kerabat bersama.
b. Sistem Mayorat
Apabila
harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua, yang
berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh
anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang
pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan
tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh
harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak
punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya,
di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo
Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang
disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai
“mayorat wanita”.
c. Sistem Individual
Apabila
harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan “hak
milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati
hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka
kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang
banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam
hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum
Waris Islam.
Hukum adat waris mempunyai sistem kolektif, mayorat,
dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta warisan dimiliki secara
bersam-sama, dan ahli waris tidak diprbolehkan untuk memiliki secara pribadi.
Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus ada musyawarah dengan ahli
waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta waris dimiliki oleh ahli
waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan ahli waris yang
muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa dan mampu mengurus
dirinya saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta warisan bisa dimliki
secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak ditangannya.
PENUTUP
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris
adat diambil alih dari bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan
pengertian bahwa didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan
menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih
luas dari itu.
Dengan demikian hukum waris itu mengandung
tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan harta warisan, adanya pewaris yang
meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli waris atau waris yang akan
meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima bagiannya.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan
kesatuan yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak
terbagi atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para
warisnya. Harta warisan adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang
penjualan itu lalu dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang
berlaku sebagaimana didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
DAFTAR PUSAKA
Sudiyat,
Iman, Hukum Adat Sketsa Asas, Yogyakarta: Liberty, 1981
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: P.T
Citra Aditya Bakti, 1993
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2003
Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: Alumni,
1983