CONTOH MAKALAH PENDIDIKAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Management, School Based Decision Making and Management oleh Hallinger dan Hausman (1992) didefinisikan sebagai pemberian kewenangan kepada sekolah untuk bebas menata organisasi sekolah, manajemen persekolahan, pengelolaan kelas, optimalisasi kerjasama (kepala sekolah, orangtua dan guru) dan pemberian kesempatan yang kreatif dan inovarif kepada sekolah. Istilah School based management atau Manajemen Berbasis Sekolah ini mulai diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970. MBS lahir sebagai koreksi atas kinerja sekolah yang dalam hasil analisis para pakar tidak mampu memberi respon kontekstual atas tuntutan dan kebutuhan masyarakat.
Di Indonesia MBS mulai diperkenalkan tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam  mengembangkan keunggulan  pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
MBS merupakan model aplikasi manajemen institusional yang mengintegrasikan  seluruh sumber  internal dan eksternal  dengan lebih menekankan pada pentingnya menetapkan kebijakan melalui  perluasan otonomi sekolah. Sasarannya adalah mengarahkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kebijakan dalam rangka mencapai tujuan. Spesifikasinya berkenaan dengan visi, misi, dan tujuan yang dikemas dalam pengembangan kebijakan dan perencanaan. (Wikipedia, 2009).





BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) perlu dilakukan karena sekolah perlu berkembang dari tahun ke tahun. Dimana peningkatan mutu pendidikan di sekolah perlu didukung kemampuan manajerial kepala sekolah dan hubungan baik antar guru perlu diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan. Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina agar sekolah menjadi lingkungan yang dapat menumbuhkan kreativitas, disiplin dan semangat belajar peserta didik.
Tujuan Impelentasi MBS yaitu untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara umum baik itu menyangkut kualitas pembelajaran, kurikulum, sumber daya manusia baik guru maupun tenaga kapendidikan lainnya, dan kualitas pelayanan pendidikan secara umum. Bagi sumber daya manusia, peningkatan kualitas bukan hanya meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya, melainkan meningkatkan kesejahteraan pula. ( Cheng, 1996). Dengan adanya penerapan MBS ini telah terjadi perubahan kebutuhan siswa sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat luas di masa mendatang di banding di masa lalu. Oleh karena itu pelayanan kepada siswa, program pengajaran dan jasa yang diberikan kepada siswa juga harus sesuai dengan tuntutan baru tersebut.
Dalam rangka mengimplementasikan MBS maka sekolah harus melibatkan semua unsur yang ada mulai dari kepala sekolah, guru, masyarakat, sarana prasarana serta unsur terkait lainnya. Implementasi MBS akan berlangsung secara efektif dan efesien apabila didukung oleh sumber daya manusia yang profesional untuk mengoperasikan sekolah, dana yang cukup besar agar sekolah mampu menggaji staf sesuai dengan fungsinya, sarana prasarana yang memadai untuk proses belajar- mengajar, serta dukungan masyarakat ( orang tua) yang tinggi.
Sebagai paradigma pendidikan yang baru maka dalam implementasinya Manajemen Berbasis Sekolah melalui beberapa tahapan. Menurut Fatah tahapan implementasi tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu :
1.      Tahap Sosialisasi
Tahap sosialisais merupakan tahapan yang penting mengingat luasnya daerah yang ada terutama daerah yang sulit dijangkau serta kebiasaan masyarakat yang umumnya tidak mudah menerima perubahan karena perubahan yang bersifat personal maupun organisasional memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang baru. Dengan adanya sosialisasi ini maka akan mengefektifkan pencapaian implementasi Manajemen Berbasis Sekolah baik menyangkut aspek proses maupun pengembangannya di sekolah.
2.      Tahap Piloting
Tahapan piloting yaitu merupakan tahapan ujicoba agar penerapan konsep MBS tidak mengandung resiko. Efektivitas model ujicoba memerlukan persyaratan dasar yaitu akseptabilitas, akuntabilitas, reflikabilitas, dan sustainabilitas.
3. Tahap Diseminasi
Tahapan desiminasi merupakan tahapan memasyarakatkan model Manajemen Berbasis Sekolah yang telah diujicobakan ke berbagai sekolah agar dapat mengimplementasikannya secara efektif dan efisien.
Dengan adanya implementasi Manajemen Berbasis Sekolah di sekolah yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi akan memberikan beberapa keuntungan yaitu :
a.       Kebijaksanaan dan kewengan sekolah membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b.      Bertujuan bagaimana memanfatkan budaya lokal.
c.       Efektif dalam melakukan pembinaan peeserta didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus sekolah, dan iklim sekolah.
d.      Adanya perhatian bersama untuk mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancang ulang sekolah dan perubahan perencanaan (Fattah dalam E. Mulyasa, 2002:24-25).
            Keberhasilan Implementasi MBS sangat bergantung pada kemampuan dan kemauan politik pemerintah ( political will) sebagai penanggung jawab pendidikan. Kalau kemauan politik pemerintah sudah ada, pelaksanaannya sangat bergantung pada bagaimana kesiapan pelaksana dan perumus kebijakan dapat memperkecil kelemahan yang mungkin muncul dan mengeksplorasi manfaat semaksimal mungkin.
B.  MODEL - MODEL MBS
Model MBS menempatkan sekolah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kebijakan, visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi yang berdampak terhadap kinerja sekolah. Kinerja sekolah sangat ditentukan oleh kebijakan yang ditetapkan oleh sekolah, menyangkut pengembangan kurikulum. Berikut model-model yang telah diklasifikasikan oleh  Yin Cheong Cheng dalam bukunya School Effectiveness&School-Based Manajement: A Mechanism For Development :
1.    Model Tujuan ( Goal Model )
Goal Model sering digunakan dalam mengevaluasi kinerja sekolah atau mempelajari efektivitas sekolah.  Model ini mengasumsikan bahwa harus ada tujuan yang dinyatakan dengan jelas dan diterima secara umum untuk mengukur efektivitas sekolah, dan efektifitas sekolah akan tercapai jika dapat mencapai tujuan yang dinyatakan pada input. Model ini berguna jika hasil belajar (outcomes) bagus dan kriteria efektivitas umum diterima oleh semua konstituen yang terlibat. Dalam hal ini indikator efektivitas sekolah tercantum dalam rencana sekolah dan rencana program, khususnya yang berkaitan dengan kualitas lingkungan belajar dan mengajar, prestasi akademik dalam ujian umum, dll.
Ketika goal model digunakan untuk menilai efektifitas sekolah, penting sekali untuk memasukkan seperangkat tujuan dan sasaran. Tetapi mengingat sumber daya yang terbatas, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai beberapa tujuan dalam waktu singkat (cameron, 1978; Hall, 1987). Bagaimanapun juga, akan sulit untuk memaksimalkan efektifitas pada beberapa tujuan dengan sumber daya terbatas.
2.   Model Sumber Daya Masukkan ( Resource-input Model)
Sekolah perlu untuk mengejar beberapa tujuan, tetapi karena adanya tekanan dan harapan yang berbeda dari beberapa konstituen sehingga tujuan tersebut menjadi tidak konsisten. Sumber daya (Resources) menjadi elemen penting dalam fungsi sekolah. Model sumber daya-masukan (The resource-input model) mengasumsikan bahwa semakin jarang dan bernilai sumber daya input, maka akan semakin dibutuhkan oleh sekolah untuk menjadi lebih efektif. Sebuah sekolah akan efektif jika dapat memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Oleh karena itu, masukan dan kemahiran sumber daya menjadi kriteria utama dari efektifitas (Etzioni, 1969; Yuchtman dan Seashore, 1967). Dalam hal ini, kualitas siswa, fasilitas, sumber daya, dan dukungan keuangan dari otoritas pendidikan pusat, alumni, orang tua, sponsor perseorangan atau agen luar merupakan indikator penting dari efektivitas.
Model ini berguna jika hubungan antara input dan output yang jelas (Cameron, 1984) dan sumber daya yang sangat terbatas bagi sekolah untuk mencapai tujuan. Kemampuan dalam memperoleh sumber daya merepresentasikan potensi sekolah itu menjadi efektif, khususnya dalam konteks kompetisi sumber daya yang besar. Model ini memiliki kekurangan karena penekanan yang berlebihan pada penerimaan masukan ( input ), sehingga dapat mengurangi upaya sekolah dalam proses pendidikan dan  outputnya. Perolehan sumber daya dapat menjadi pemborosan jika mereka tidak dapat digunakan secara efisien untuk melayani fungsi sekolah.
3.       Model proses ( Process Model )
Dari perspektif sistem, input sekolah dapat dikonversi menjadi kinerja sekolah dan output-nya melalui sebuah proses transformasi di sekolah. Pengalaman dalam proses sekolah pada dunia pendidikan sering diambil sebagai bentuk tujuan dan hasil belajar. Oleh karena itu, model proses mengasumsikan bahwa sekolah akan efektif jika fungsi internal ramah dan sehat. Oleh karena itu, kegiatan internal atau praktek di sekolah dapat ditentukan sebagai peraturan penting bagi efektivitas sekolah (Cheng, 1986b; 1993h; 1994d).  Dalam hal ini, kepemimpinan, saluran komunikasi, partisipasi, kemampuan beradaptasi, perencanaan, pengambilan keputusan, interaksi sosial, iklim sekolah, metode pengajaran, manajemen kelas dan strategi pembelajaran sering digunakan sebagai indikator efektivitas.
Proses sekolah pada umumnya mencakup proses manajemen, proses mengajar dan proses belajar. Jadi pemilihan indikator mungkin didasarkan pada proses ini, diklasifikasikan sebagai indikator keefektifan pengelolaan (misalnya, kepemimpinan, pengambilan keputusan), indikator efektivitas mengajar (misalnya, mengajar kemanjuran, metode mengajar) dan indikator efektifitas pembelajaran (misalnya, sikap belajar , tingkat kehadiran).
Model ini sangat berguna jika ada hubungan yang jelas antara proses sekolah dan hasil pendidikan. Untuk batas tertentu, penekanan yang terletak pada kepemimpinan dan budaya sekolah untuk efektivitas sekolah mencerminkan pentingnya model proses (Caldwell dan Spink, 1992; Cheng, 1994d; Sergiovanni, 1984). Keterbatasan model proses adalah kesulitan dalam proses pemantauan dan pengumpulan data serta fokus pada sarana bukan tujuan akhir (Cameron, 1978).
4.  Model Kepuasan ( The Satisfaction Model )
Efektivitas sekolah dapat menjadi konsep yang relatif, tergantung pada harapan dari konstituen yang bersangkutan atau beberapa pihak. Jika tujuan sekolah yang diharapkan tinggi dan beragam, akan sulit bagi sekolah untuk mencapai dan memenuhi kebutuhannya. Jika tujuan sekolah yang diharapkan rendah dan sederhana, akan lebih mudah bagi sekolah untuk mencapainya dan memenuhi harapan konstituen, sehingga sekolah lebih mudah dianggap sudah efektif. 
Selanjutnya, ukuran pencapaian tujuan secara teknis biasanya sulit dan terkonsep secara kontoversional. Oleh karena itu, kepuasan konstituen yang kuat dan strategis sering digunakan sebagai elemen penting untuk menilai efektivitas sekolah. Baru-baru ini, ada penekanan kuat pada kualitas pendidikan sekolah. Pada kenyataannya, konsep kualitas erat kaitannya dengan kepuasan kebutuhan klien (atau pelanggan, konstituen) atau kesesuaian persyaratan dan harapan klien' (Crosby, 1979; Tenner and Detoro, 1992). Dari poin ini ditekankan bahwa untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai dengan menggunakan kepuasan konstituen dalam menjelaskan dan menilai keefektivitasan sekolah.
Model kepuasan mendefinisikan bahwa sekolah akan efektif jika semua konstituen strategis puas. Ini mengasumsikan bahwa fungsi dan kelangsungan hidup sekolah berada di bawah pengaruh konstituen strategis, misalnya, kepala sekolah, guru, manajemen sekolah, otoritas pendidikan, orang tua, siswa dan masyarakat, dan aktivitas/tindakan sekolah mereaksian akan tuntutan konstituen strategis. Karenanya tuntutan kepuasan ini sebagai syarat dasar untuk efektivitas sekolah (Keeley, 1984; Zammuto, 1982; 1984)
5. Model Legitimasi ( The Legitimacy Model )
Dampak perubahan dan perkembangan yang cepat di masyarakat lokal maupun dalam konteks global menyebabkan lingkungan pendidikan di sekolah-sekolah menjadi lebih menantang dan kompetitif. Di satu sisi, sekolah harus serius untuk menyelesaikan sumber daya dan mengatasi hambatan internal dan di sisi lain mereka harus menghadapi tantangan eksternal dan tuntutan akuntabilitas dan 'nilai uang (value for money)' (Education and Manpower Branch and Education Department, 1991; Education Commision, 1994). Hal ini menyebabkan (hampir) tidak mungkin bagi beberapa sekolah untuk bertahan atau melanjutkan tanpa legitimasi dalam masyarakat atau publik.
Model ini berguna ketika sekolah harus bertahan di antara sekolah harus dinilai dalam lingkungan yang dinamis. Dari sudut pandang model ini, sekolah-sekolah akan efektif jika mereka dapat melakukan kegiatan belajar mengajar dalam lingkungan yang kompetitif/bersaing. Untuk tetap bertahan, sekolah juga menerapan sistem akuntabilitas atau sistem jaminan mutu yang menyediakan mekanisme formal bagi sekolah untuk mendapatkan legitimasi yang diperlukan. Hal ini dapat menjelaskan mengapa begitu banyak sekolah sekarang lebih memperhatikan hubungan masyarakat, kegiatan pemasaran dan membangun sistem berbasis sekolah akuntabilitas atau sistem jaminan kualitas.
6. Model ketidakefektifan ( The Ineffectiveness Model ).
Kesulitan mengidentifikasi kriteria yang tepat seringkali menjadi masalah yang paling penting dalam penelitian efektifitas organisasi secara umum dan dalam penelitian efektifitas sekolah pada khususnya (Cameron ;1984). Salah satu kesulitan terpenting adalah bagaimana mengidentifikasi indikator keberhasilan. Tampaknya jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi kelemahan dan kekurangan, seperti indikator ketidakefektifan, daripada mengidentifikasi kekuatan dari organisasi, seperti indikator efektivitas.
Model ini mengasumsikan bahwa lebih mudah bagi konstituen sekolah yang bersangkutan untuk mengidentifikasi dan menyepakati kriteria ketidakefektifan sekolah daripada kriteria keefektifan sekolah. Juga mengidentifikasi strategi untuk meningkatkan efektivitas sekolah dapat lebih tepat dilakukan dengan menganalisis ketidakefektifan sekolah daripada menganalisis keefektifan sekolah. Oleh karena itu, model ini sangat berguna terutama bila kriteria efektivitas sekolah benar-benar jelas namun diperlukan srategi untuk perbaikan sekolah. Indikator ketidakefektifan dapat seperti masalah, kesulitan, kekurangan, kelemahan dan kinerja yang buruk. Secara umum, banyak sekolah, khususnya sekolah baru, lebih peduli kepada penyelesaian hambatan sebagai dasar efektivitas sekolah daripada mengejar kinerja sekolah yang sangat baik. Model ini mungkin cocok bagi mereka. Bagi praktisi seperti administrator sekolah dan guru, model ketidakefektifan mungkin lebih mendasar dari model-model lain. Tampaknya 'tidak ada ketidakefektifan' mungkin menjadi kebutuhan dasar untuk efektivitas. Tetapi jika orang lebih tertarik pada kinerja sekolah tinggi, model ini tidak mencukupi.
7.   Model Pembelajaran organisasi. ( Organizational Learning Model )
Model pembelajaran organisasi mengasumsikan bahwa dampak dari perubahan lingkungan dan adanya hambatan internal pada fungsi sekolah sangat tidak terelakkan, karena itu, sekolah akan efektif jika dapat belajar bagaimana membuat perbaikan dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dalam batas tertentu, model ini mirip dengan model proses, perbedaannya adalah bahwa model ini menekankan pentingnya belajar perilaku untuk kinerja sekolah yang efektif.
Penekanan garis pemikiran model ini terletak pada stategi manajemen dan perencanaan pembangunan di sekolah (Dempster, et al, 1993; Hargreaves and Hopkins, 1991). Model sangat berguna ketika sekolah sedang mengembangkan diri atau terlibat dalam reformasi pendidikan terutama di lingkungan eksternal yang berubah-ubah. Indikator efektivitas sekolah dapat mencakup kesadaran dan perubahan kebutuhan masyarakat, pemantauan proses internal, evaluasi program, analisis lingkungan, dan perencanaan pembangunan, dll.
8.  Model Manajemen Mutu Total ( The Total Quality Management Model ).
Konsep dan praktek manajemen mutu total di sekolah diyakini menjadi alat yang ampuh untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan meningkatkan efektivitas sekolah (Bradly,1993; Cuttance, 1994; Greenwood and Gaunt, 1994; Murgatroyd and Colin, 1993). Karena adanya perkembangan teori dan praktek manajemen dalam organisasi yang berbeda, orang mulai percaya bahwa perbaikan beberapa aspek dari proses manajemen tidak cukup untuk mencapai kualitas. Untuk keberhasilan jangka panjang kuncinya terletak kualitas atau efektivitas kinerja, manajemen total dari lingkungan internal dan proses untuk memenuhi kebutuhan pelanggan (atau klien, konstituen strategis).
Elemen-elemen penting dari manajemen kualitas total di sekolah adalah konstituen strategis (misalnya, orangtua, siswa, dll), perbaikan proses yang berkesinambungan, serta pemberdayaan dan keterlibatan total anggota sekolah ( Tenner and Detoro, 1992). Menurut model manajemen total, sekolah efektif jika dapat melibatkan dan memberdayakan semua anggota dalam fungsi sekolah, melakukan perbaikan terus-menerus dalam berbagai aspek yang memenuhi persyaratan, kebutuhan  serta harapan konstituen eksternal dan internal sekolah bahkan dalam lingkungan yang berubah- ubah. Untuk sebagian besar, model manajemen kualitas total efektivitas sekolah merupakan integrasi dari model- model di atas, khususnya model pembelajaran organisasi, model kepuasan dan model proses.
C. IMPLEMENTASI MODEL MBS DI BERBAGAI NEGARA
Semua model MBS yang muncul mengarah pada satu titik, yaitu meningkatkan mutu sekolah dan pendidikan. Munculnya model MBS di tiap-tiap negara tidak terlepas dari sejarah pendidikan negara tersebut. Mulanya terdapat kelemahan pada bidang tertentu yang kemudian di fokuskan untuk ditingkatkan kinerjanya. Beberapa negara cukup jeli dalam menganalisis kelemahannya sehingga mampu membuat model MBS secara jelas dan fokus, namun di beberapa negara model MBS kurang fokus dan melebar.
v  Model MBS di Indonesia
Model MBS di Indonesia disebut Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). MPMBS dapat diartikan sebagai model manajemen yang memebrkan otonomi lebih besar kepada sekolah, fleksibilitas pada sekolah, dan mendorong partisipasi langsung warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Otonomi dapat di artikan sebagai kewenangan atau kemandirian, yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri dan tidak tergantung. Otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku.
Sementara itu, pengambilan keputusan aspiratif adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik dimana warga sekolah didorong terlibat secara langsung dalam proses oengambilan keputusan yang dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah.
Di Indonesia model MBS difokuskan pada peningkatan mutu, tetapi tidak jelas dalam hal mutu apa. Mutu gurukah, mutu kurikulumkah, mutu hasil pengajarankah,mutu proses belajar mengajarkah, mutu penilainkah, atau mutu manajemennya?. Perspektif mutu ini terlalu luas untuk dicakup semua dalam model MBS di Indonesia.
Hal yang paling mendasar yang tidak diungkap dalam target mutu yang ingin dicapai dalam model MBS di Indonesia adalah mutu yag seperti apa? Apa kriterianya, bagaimana cara mencapainya, kapan harus dicapai, dan bagaimana peran sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan ini?
Model MBS di Indonesia tidak berasal dari inisiatif warga msayarakat, tetapi dari pemerintah. Hal ini bisa dimengerti karena setelah 32 tahun Indonesia berada dalam cengkraman pemerintahan otoriter yang membuat warganya takut untuk mengeluarkan pendapat dan inisiatif. Oleh karena itu, pendekatan yang digunakan pun berbeda dengan negara-negara lain yang peran serta masyarakatnya sudah tinggi. Di Indonesia, penerapan MBS diawali dengan dikeluarkannya UU No. 25 tahun 2000 tentang Rencana Strategis Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004.
v  Model MBS yang Ideal
Model Lawler (1986) dengan keterlibatan tinggi dalam manajemen di sektor swasta menyangkut empat hal, yaitu kekuasaan, informasi, penghargaan, pengetahuan dan kekuasaan. Informasi memungkinkan individu berpartisipasi dan mempengaruhi pengambilan keputusan dengan memahani lingkungan organisasi, strategi, sistem kerja, persyaratan kinerja, da tingkat kinerja. Pengetahuan da keterampilan diperlukan untuk meningkatkan kinerja pekerjaan dan kontribusi aktif atas kesuksesan organisasi. Kekuasaan diperlukan untuk mempengaruhi proses kerja, praktik keorganisasian, kebijakan dan strategi. Penghargaan untuk menyatukan kepentingan pribai karyawan dengan keberhasilan organisasi.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa pendesentralisasian MBS hanya pada kekuasaan dan kurang memperhatikan tiga hal lainnya. Model MBS yang terinci menggambarkan pertukaran dua arah dalam hal pengetahuan, kekuasaan, informasi dan pengahargaan, alur dan arah memberikan pengaruh yang saling menguntungkan secara terus-menerus antara pemerintah daerah dengan sekolah dan sebaliknya.
Model ideal yang dikembangkan oleh Slamet P.H. terdiri dari output, proses, dan input. Output sekolah diukur dengan kinerja sekolah , yaitu pencapaian atau prestasi yang dihasilkan oleh proses sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari efektifitas, kualitas, produktivitas, efisiensi, inovasi, kualitas kehidupan kerja, dan moral kerja.
Proses adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Proses sekolah yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan progaram, dan proses belajar mengajar.
Input adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sejumlah input sekolah adalah Visi, Misi, tujuan, sasaran, struktur organisasi, input manajemen, dan input sumber daya.   



BAB III
PEMBAHASAN

A.    MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
1.      Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
Salah satu model otonomi pendidikan ini adalah yang disebut dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sekolah mempunyai kewenangan untuk melakukan kreasi, inovasi dan improvisasi dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan bersama/partisipatif dari semua warga sekolah dan masyarakat. Untuk mengelola sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Otonomi yang demikian memberikan kebebasan sekolah untuk membuat program-program sesuai dengan kebutuhan sekolah. Pengambilan keputusan bersama dengan warga sekolah dan dedikasi tanggung jawab bersama untuk kemajuan sekolah. Dengan tidak mengurangi otonomi sekolah, demi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok untuk menguasai sekolah tanpa partisipasi warga sekolah dan masyarakat.
Manajemen berbasis sekolah (MBS) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam penguasaan ilmu dan teknologi, seperti yang di amanatkan dalam GBHN. Hal tersebut diharapakan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara makro, meso, maupun secara mikro. Kerangka makro erat kaitannya dengan upaya politik yaitu desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, aspek mesonya berkaitan dengan kebijakan daerah tingkat provinsi sampai ke tingkat kabupaten, sedangkan aspek mikro melibatkan seluruh sektor dan lembaga pendidikan yang paling bawah, tetapi terdepan dalam pelaksanaannya bertumpu pada sekolah yang sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan tersebut.
Secara konseptual ada beberapa istilah yang berkaitan dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), di antaranya school based management atau school based decision making and management. Konsep dasar MBS adalah mengalihkan pengambilan keputusan dari pusat, kanwil, kandep, dinas ke level sekolah. Mulyasa (2006:11) mengutip pendapat BPPN dan Bank Dunia (1999) memberi pengertian MBS atau SBM merupakan alternatif sekolah dalam program desentralisasi di bidang pendidikan, yang ditandai oleh otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. MBS memberikan kebebasan dan kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai dengan seperangkat tanggung jawab. Dengan adanya pengalihan kewenangan pengambilan keputusan ke level sekolah, maka sekolah diharapkan lebih mandiri dan mampu menentukan arah pembangunan pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakat. Hal ini berarti bahwa sekolah harus mampu mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Defenisi yang lebih luas tantang MBS dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996) (dalam Hasbullah, 2006: 67), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah Kepala Sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa). Sehubungan dengan pendapat tersebut, bahwa aspek politik dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat bawah menjadi tanggung jawab sekolah karena kewenangan dan kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah diserahkan ke sekolah sebagai penyelenggara pendidikan di masyarakat.
2.      Tujuan Manajemen Berbasis Sekolah
Manajemen berbasis sekolah (MBS) bertujuan untuk menjadikan sekolah lebih mandiri atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan (otonomi), fleksibilitas yang lebih besar kepada sekolah dalam mengelola sumber daya, dan mendorong partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan (Hadiyanto, 2004:70).
Sementara itu, menurut Direktorat SLTP Departemen Pendidikan Nasional (2002), secara khusus tujuan implementasi MBS adalah:
v  Meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kemandirian, fleksibilitas, partisipasi, keterbukaan, kerja sama, akuntabilitas, sustainabilitas, dan inisiatif sekolah dalam mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan sumber daya yang tersedia
v  Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama
v  Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah
v  Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
MBS berpotensi menawarkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen yang bertumpu pada masyarakat tingkat sekolah. Menurut Hasbullah (2006: 69) MBS menjamin bahwa semakin rendahnya kontrol pemerintah pusat, semakin meningkatnya otonomi sekolah untuk menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan dan mengelola sumber daya yang ada di sekolah untuk berinovasi dan berimprovisasi.
MBS atau School Based Management merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif produktif. Istilah ini pertama kali muncul di Amerika Serikat ketika masyarakat mulai mempertanyakan relevansi pendidikan dengan tuntutan dari perkembangan masyarakat setempat. MBS merupakan paradigma baru manajemen pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada sekolah dan pelibatan masyarakat dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah leluasa menguasai sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Pemerataan pendidikan tampak pada tumbuhnya partisipasi masyarakat terutama yang mampu dan peduli, sementara yang kurang mampu akan menjadi tanggung jawab pemerintah. (Mulyasa, 2006). Untuk mengimplementasikan MBS secara efektif dan efisien, hal penting yang harus diperhatikan adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu sendiri. Salah satu komponen yang harus dikelola dengan baik, yaitu manajemen sekolah dengan masyarakat. Karena, dalam MBS partisipasi masyarakat sangat penting, tidak seperti pada masa lalu yang hanya terbatas pada mobilisasi dana. Keterlibatan masyarakat benar-benar sangat menentukan setiap pengambilan keputusan.
Partisipasi masyarakat dituntut agar lebih memahami pendidikan, membantu, serta mengontrol pengelolaan pendidikan. Dalam konsep penyelenggaraan pendidikan sekolah dituntut memiliki tanggung jawab yang tinggi, di samping itu juga dibutuhkan peran orang tua, masyarakat, maupun pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan di sekolah.
Dalam pelaksanaan otonomi pendidikan terjadi pengaturan perimbangan kewenangan antara pusat dan daerah, masing-masing harus mempunyai komitmen tinggi untuk mewujudkannya, sebab keberhasilan otonomi daerah ditentukan tiga hal, yaitu: (1) adanya political will dan political commitment dari pemerintah pusat untuk benar-benar memberdayakan daerah; (2) adanya itikad baik dari pemerintah dalam membantu keuangan daerah; (3) adanya perubahan perilaku elit lokal untuk dapat membangun daerah.
Menurut Osborn dan Gaebler (2005: 41) peran birokrasi pemerintah adalah mengarahkan organisasi mencapai sasaran dari pada mengayuh. Bahwa untuk mencapai tujuan suatu kebijakan khususnya di bidang pendidikan, peran pemerintah lebih bersifat strategis, sebagai fasilitator, sedangkan hal-hal yang berhubungan dengan operasional akan ditentukan oleh sekolah berserta orang tua siswa dan masyarakat sekitarnya (stakeholders). Menurut Hasbullah (2006:42) Pemerintah pusat mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal strategis pendidikan pada tatanan nasional meliputi: (1) mengembangan kurikulum pendidikan nasional; (2) bantuan teknis; (3) bantuan dana; (4) monitoring; (5) pembakuan mutu; (6) pendidikan moral dan karakter bangsa; (7) pendidikan bahasa Indonesia. Sedangkan pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk mengurus hal-hal operasional pendidikan, khususnya dalam pengelolaan pendidikan yang meliputi aspek-aspek: (1) kelembagaan; (2) kurikulum; (3) sumber daya manusia; (4) pembiayaan; (5) sarana prasarana.


3.      Prinsip-prinsip Manajemen Berbasis Sekolah
a.       Prinsip Ekuifinalitas (Principal of Equifinality)
Prinsip ini didasarkan pada teori manajemen modern yang berasumsi bahwa terdapat beberapa cara yang berbeda-beda untuk mencapai suatu tujuan.
b.      Prinsip Desentralisasi (Principal of Decentralization)
Desentralisasi adalah gejala yang penting dalam reformasi manajemen sekolah modern. Prinsip desentralisasi ini konsisten dengan prinsip ekuifinalitas
c.       Prinsip Sistem Pengelolaan Mandiri (Principal of Self Managing System)
Prinsip ini terkait dengan prinsip sebelumnya, yaitu prinsip ekuifinalitas dan prinsip desentralisasi. Ketika sekolah menghadapi permasalahan maka harus diselesaikan dengan caranya sendiri.
d.      Prinsip Inisiatif Manusia (Principal of Human Initiative)
Prinsip ini mengakui bahwa manusia bukanlah sumber daya yang statis, melainkan dinamis. Oleh karena itu, potensi sumber daya manusia harus selalu digali, ditemukan, dan kemudian dikembangkan. Manajemen kurikulum dan program pengajaran.
Adapun Prinsip dan Implementasi MBS Prinsip utama dalam pelaksanaan MBS ada 5 (lima) hal yaitu sebagai berikut:
v  Fokus pada mutu
v  Bottom-up planning and decision making
v  Manajemen yang transparan
v  Pemberdayaan masyarakat
v  Peningkatan mutu secara berkelanjutan
Prinsip MBS Dalam mengimplementasikan MBS terdapat 4 (empat) prinsip yang harus difahami yaitu: kekuasaan; pengetahuan; sistem informasi; dan sistem penghargaan.
1.    Kekuasaan Kepala sekolah memiliki kekuasaan yang lebih besar untuk mengambil keputusan berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sekolah dibandingkan dengan sistem pendidikan sebelumnya. Kekuasaan ini dimaksudkan untuk memungkinkan sekolah berjalan dengan efektif dan efisien. Kekuasaan yang dimiliki kepala sekolah akan efektif apabila mendapat dukungan partisipasi dari berbagai pihak, terutama guru dan orangtua siswa. Seberapa besar kekuasaan sekolah tergantung seberapa jauh MBS dapat diimplementasikan. Pemberian kekuasaan secara utuh sebagaimana dalam teori MBS tidak mungkin dilaksanakan dalam seketika, melainkan ada proses transisi dari manajemen yang dikontrol pusat ke MBS. Kekuasaan yang lebih besar yang dimiliki oleh kepala sekolah dalam pengambilan keputusan perlu dilaksanakan dengan demokratis antara lain dengan:
a.       Melibatkan semua fihak, khususnya guru dan orangtua siswa.
b.      Membentuk tim-tim kecil di level sekolah yang diberi kewenangan untuk mengambil keputusan yang relevan dengan tugasnya
c.    Menjalin kerjasama dengan organisasi di luar sekolah.
2.    Pengetahuan Kepala sekolah dan seluruh warga sekolah harus menjadi seseorang yang berusaha secara terus menerus menambah pengetahuan dan ketrampilan dalam rangka meningkatkan mutu sekolah. Untuk itu, sekolah harus memiliki sistem pengembangan sumber daya manusia (SDM) lewat berbagai pelatihan atau workshop guna membekali guru dengan berbagai kemampuan yang berkaitan dengan proses belajar mengajar. Pengetahuan yang penting harus dimiliki oleh seluruh staf adalah :
a.       Pengetahuan untuk meningkatkan kinerja sekolah,
b.      Memahami dan dapat melaksanakan berbagai aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan quality assurance, quality control, self assessment, school review, bencmarking, SWOT, dll).
3.    Sistem Informasi Sekolah yang melakukan MBS perlu memiliki informasi yang jelas berkaitan dengan program sekolah. Informasi ini diperlukan agar semua warga sekolah serta masyarakat sekitar bisa dengan mudah memperoleh gambaran kondisi sekolah. Dengan informasi tersebut warga sekolah dapat mengambil peran dan partisipasi. Disamping itu ketersediaan informasi sekolah akan memudahkan pelaksanaan monitoring, evaluasi, dan akuntabilitas sekolah. Infornasi yang amat penting untuk dimiliki sekolah antara lain yang berkaitan dengan : kemampuan guru dan Prestasi siswa.
4.    Sistem Penghargaan Sekolah yang melaksanakan MBS perlu menyusun sistem penghargaan untuk memberikan penghargaan kepada warga sekolah yang berprestasi. Sistem penghargaan ini diperlukan untuk mendorong karier warga sekolah, yaitu guru, karyawan dan siswa. Dengan sistem ini diharapkan akan muncul motivasi dan ethos kerja dari kalangan sekolah. Sistem penghargaan yang dikembangkan harus bersifat adil dan merata.

4.      Indikator Keberhasilan Manajemen Berbasis Sekolah
Indikator Keberhasilan MBS. Secara umum, berikut ini adalah Indikator keberhasilan implementasi MBS.
1.      Efektif Proses Pembelajaran
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki efektivitas proses proses pembelajaran yang tingi. Ini ditunjukkan oleh sifat pembelajaran yang menekankan pada pemberdayan peserta didik. Pembelajaran bukan sekedar transformasi dan mengingat , bukan sekedar penekanan pada pengasaan pengetahuan tentang apa yang dianjarkan sehingga tertanam dan berfungsi sebagai muatan nurani dan hayati seta dipraktekan dalam kehidupan oleh peserta didk. Bahkan pembelajaran juga lebih menekankan pada peserta didik agar mau belajar bagaimana cara belajar yang produktif.
2.      Kepemimpinan Sekolah yang Kuat
Bagi sekolah yang menerapkan MBS, Kepala Sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia. Kepentingan Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Oleh karena itu Kepala Sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif atau prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah.
3.      Pengelolaan Tenaga Kependidikan yang Efektif
Tenaga kependidikan terutama guru, merupakan salah satu faktor strategis dari suatu sekolah. Oleh karena itu, pngelolaan tenaga kependidikan, mulai dari analisis kebutuhan, perencanaan, pengembangan, evaluasi kerja, hubungan kerja, sampai pada balas jasa, merupakan garapan penting bagi kepala sekolah. Pengembangan tenaga kependidikan harus dilakukan secara terus menerus, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian pesat. Dengan kata lain, tenaga kependidikan yang diperlukan untuk manajemen berbasis sekolah adalah tenaga kependidikan yang selalu mampu dan sanggup menjalankan tugasnya dengan baik.
4.      Sekolah Memiliki Budaya Mutu
Budaya mutu tertanam di sanubari semua warga sekolah sehingga setiap prilaku selalu didasari oleh profesionalisme. Budaya mutu memiliki elemen-elemen sebagai berikut (a) informasi kualitas harus digunakan untuk perbaikan, bukan untuk mengadili atau mengontrol orang ; (b) kewenangan harus sebatas tanggungjawab; (c) hasil harus diikuti “rewards: atau “ punishments” ‘; (d) kolaborasi dan sinergi harus merupakan dasar kerja sama; (e) warga sekolah merasa aman terhadap pekerjaannya : (f) atmosfer keadilan (fairness) haru ditanamkan ; (g) imbal jasa harus sepadan dengan nilai pekerjaannya; (h) warga sekolah merasa memiliki sekolah.
5.      Sekolah Memiliki “ Team Work “ yang Kompak, Cerdas, dan Dinamis
Kebersamaan (Team Work) merupakan karakteristik yang dituntun oleh Manajemen Berbasis Sekolah, karena output pendidikan merupakan hasil kolektif warga sekolah bukan hasil individual. Karena itu, budaya kerjasama antar fungsi dalam sekolah, harus merupakan kebiasaan hidup sehari-hari warga sekolah.
6.      Sekolah Memilik Kemandirian
Sekolah memiliki kewengan untuk melakukan yang terbaik bagi sekolahnya, sehingga dituntut untuk memiliki kemampuan dan kesanggupan kerja yang tidak selalu menggantungkan pada atasan. Untuk menjadi mandiri, sekolah harus memiliki sumber daya yang cukup untuk menjalankan tugasnya.
7.      Partisipasi Warga Sekolah dan Masyarakat
Sekolah yang menerapkan Manajemen berbasis Sekolah memiliki karakteristik partisipasi sekolah dan masyarakat yang tinggi. Hal ini di landasi keyakinan bahwa makin tinggi tingkat partisipasi, makin besar pula rasa tanggung jawab; dan makin besar rasa tanggung jawab makin besar pula tingkat dedikasinya.
8.      Sekolah Memiliki Ttransparansi
Keterbukaan/transparansi dalam pengelolaan sekolah merupakan karakteristik sekolah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah. Keterbukaan/transparansi ini ditunjukan dalam pengambilan keputusan, penggunaan uang, dan sebagainya, yang selalu melibatkan pihak-pihak terkait sebagai alat kontrol.
9.      Sekolah Memiliki Kemauan Untuk Berubah (Psikologis dan Fisik)
Perubahan harus merupakan “kenikmatan” bagi semua warga sekolah. Sebaliknya, kondisi statis merupakan musuh sekolah. Tentu saja yang dimaksud dengan perubahan adalah adanya peningkatan yang bermakna positif. Artinya, setiap perubahan yang dilakukan, hasilnya diharapkan bisa lebih baik dibanding dengan kondisi sebelumnya (ada peningkatan) terutama dalam mutu peserta didik.
10.  Sekolah Melakukan Evaluasi dan Perbaikan Secara Berkelanjutan
Evaluasi belajar secara teratur bukan hanya ditunjukan untuk mengetahui tingkat daya serap dan kemampuan peserta didik, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan hasil evaluasi belajar tersebut untuk memperbaiki dan menyempurnakan proses pembelajaran di sekolah. Oleh karena itu, fungsi evaluasi menjadi sangat penting dalam rangka meningkatkan mutu peserta didik dan mutu sekolah secara terus menerus.
Perbaikan secara terus menerus harus merupakan kebiasaan warga sekolah. Tiada hari tanpa perbaikan. Karena itu, sistem mutu yang baku sebagai acuan bagi perbaikan harus ada. Sistem mutu yang dimaksud harus mencakup struktur organisasi, tanggung jawab, prosedur dan sumber daya untuk menerapkan manajemen mutu.
11.  Sekolah Resposhif dan Antisifatif terhadap Kebutuhan.
Sekolah selalu tanggap (responshive) terhadap berbagai aspirasi yang muncul bagi peningkatan mutu. Karena itu, sekolah selalu membaca lingkungan dan menaggapinya secar cepat dan tepat. Bahkan sekolah tidak hanya mampu menyesuaikan terhadap perubahan/tututan, akan tetapi juga mampu mengantisipasi hal-hal yang mungkin bakal terjadi. Menjemput bola, adalah padanan kata yang tepat bagi istilah antisipatif.

12.  Sekolah Memiliki Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah bentuk pertanggungjawaban yang harus dilakukan sekolah terhadap keberhasilan program yang telah dilaksanakan. Akuntabilitas ini berbentuk laporan prestasi yang dicapai baik kepada Pemerintah maupun kepada orang tua peserta didik dan masyarakat. Berdasarkan hasil laporan program ini, Pemerintah dapat menilai apakah program MBS telah mencapai tujuan yang dikehendaki atau tidak. Jika berhasil maka, Pemerintah perlu memberikan penghargaan kepada sekolah yang bersangkutan, sehingga menjadi faktor pendorong untuk meningkatkan kinerjanya dimasa yang akan datang sebaliknya jika program tersebut belum berhasil, Pemerintah perlu memberikan koreksi atas kinerjanya yang dianggap belum memenuhi kondisi yang diharapkan dan selanjutnya memberikan umpan balik bagi kepentingan peningkatan kinerja.
Demikian pula, para orang tua dan anggota masyarakat dapat memberikan penilaian apakah program ini dapat prestasi anak didik dan kinerja sekolah secara keseluruan. Jika berhasil, orang tua dan masyarakat perlu memberikan semangat dan dorongan untuk peningatan program yang akan datang. Jika belum berhasil, maka orang tua dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban dan penjelasan. Dengan cara ini, maka sekolah diharapkan akan menyusun dan melaksanakan program pada tahun-tahun yang akan datang dengan lebih baik.
Beberapa indikator keberhasilan akuntabilitas adalah :
1.        Meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah.
2.        Tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan
3.        Meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.
Ketiga indikator di atas dapat dipakai oleh sekolah untuk mengukur apakah akuntabilitas manajemen sekolah telah mencapai hasil sebagaiamana yang dikehendaki. Tidak saja publik merasa puas, tetapi sekolah akan mengalami peningkatan dalam banyak hal.
13.  Sekolah Memiliki Sutainabilitas
Sekolah yang menerapkan MBS memiliki sutainbilitas yang tinggi hal ini dimungkinkan adanya akumulasi peningkatan mutu sumberdaya manusia, diversifikasi sumber dana, pemilikan sekolah yang mampu menggerakan income sendiri, dan dukungan yang tinggi dari masyarakat terhadap eksistensi sekolah.
B.     Faktor Pendukung Keberhasilan MBS
Implementasi MBS akan sangat dipengaruhi oleh bebrapa faktor yang sifatnya intrnal dilingkungan sekolah, ataupun faktor eksternal diluar sekolah. Secara umu beberapa faktor pendukung MBS tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Kepemimpinan dan Manajemen sekolah yang baik
MBS akan berhasil jika ditopang oleh kemampuan profesional Kepala Sekolah dalam memimpin dan mengelola sekolah secara efektif dan efisien, serta mampu menciptakan iklim organisasi disekolah yang kondusif untuk proses belajar mengajar .
2.    Kondisi sosial, ekonomi, dan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan
Faktor eksternal yang akan turut menentukan keberhasilan MBS adalah kondisi tingkat pendidikan orang tua siswa dan masyarakat. Kemampuan dalam membiayai pendidikan, serta tingkat apresiasi dalam mendorong anak untuk terus belajar.
3.    Dukungan Pemerintah
Faktor ini sangat menentukan efektivitas implementasi MBS terutama bagi sekolah yang kemampuan orang tua/masyarakat relatif belum siap memberikan kontribusi terhadap penyelenggaraan pendidikan. Alokasi dana pemerintah (APBN, APBD) dan pemberian kewenangan dalam pengelolaan sekolah menjadi penentu keberhasilan.
4.    Profesionalisme
Faktor ini sangat strategis dalam upaya menentukan mutu dan kinerja sekolah. Tanpa profesionalisme Kepala Sekolah, Guru dan Pengawas akan sulait di capai MBS yang bermutu tinggi serta prestasi siswa.
Perencanaan dan evaluasi program
Sekolah di beri wewenang untuk melakukan perencanaan sesuai dengan kebutuhanya, misalnya kebutuhan untuk meningkatkan mutu sekolah. Sekolah juga di beri wewenang untuk melakukan evaluasi, Khususnya evaluasi internal atau evaluasi diri. Norkolis (2003:45) menyatakan bahwa:
Perencanaan adalah rencana pengembangan sekolah yang setidaknya meliputi beberapa hal sebagai berikut: (1) visi dan misi sekolah, (2) identivikasi timbulnya permasalahan, (3) prioritas permasalahan yang dihadapi sekolah segera diselesaikan, (4) alternatif cara pemecahan masalah, (5) prioritas pemecahan masalah, (6) tujuan program sekolah, (7) rencana induk pengembangan, (8) sumberdana untuk membiayai program, (9) proposal penunjang blok-grent yang terdiri dari program dan perkiraananggaran, dan (10) membuat rencana anggaran pendapatan belanja sekolah yang memuat jenis program dan sumber dana dalam jangka waktu satu tahun.
2. Pengelolaan kurikulum
Sekolah dapat mengembangkan kurikulum, namun tidak mengurangi isi kurikulum nasional yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Sekolah juga diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum muatan local. Sehubungan dengan hal tersebut, Mulyasa (2004:41) Menyatakan bahwa:
Untuk menjamin efektivitas pengembangan kurikulum dan program pengajaran dalam MBS, kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru harus menjabarkan isi kurikulun secara lebih rinci dan operasional ke dalam program tahunan, caturulan dan bulanan.
3.   Pengelolaan proses belaiar mengajar
Sekolah di beri kebebasan untuk memilih strategi, metode dan teknik pembelajaran yang paling efektif sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristi guru dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah.
4.   Pengelolaan ketenagaan
Pengelolaan ketenagaan mulai dari analisa kebutuhan perencanaan, rekrutmen, pengembangan, penghargaan dan sangsi, hubugan kerja hinga evaluasi kerja tenaga kependidikan yang saat ini masih ditangani birokrasi diatanya.
5.   Pengelolaan peralatan dan perlengkapan
Pengelolaan fasilitas seharusnya dilakukan oleh sekolah mulai dari pengadaan, pemeliharaan perbaikan hinga pengembanganyan. Hal ini di dasari oleh kenyataan bahwa sekolah yang paling mengetahui kebutuhan fasilitas baik kecukupan, kesediaan dan kemutakhirannya terutama fasilitas yang sangat erat kaitanya secara langsung dengan proses belajar mengajar.
6.   Pengelolaan keuangan
Pengelolaan keuangan, terutama pengalokasikan/pengunaan uang sudah sepantasnya dilakukan oleh sekolah.sekolah jaga harus diberi kebebasan untuk melakukan kegitan-kegiatan yang mendatangkan penghasilan sehinga sumber keungan semta-mata tidak tergantung pada pemerintah.
7.    Pelayanan siswa
Pelayanan siswa mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan, pembinaan, bimbingan, penempatan untuk melanjukan kesekolah atau untuk memasuki dunia kerja hingga pengurusan alumni dari dulu telah di desentralisasikan.Dalam pelayanan siswa yang di perlukan adalah peningkatan intensitas dan ektensitasnya.


8.   Hubungan sekolah dan masyarakat
Esensi hubungan sekolah dan masyarakat adalah untuk meningkatkan ketertiban, kepedulian, kepemilikan, dan dukungan dari masyarakat, terutama dukungan moral dan financial yang dari dulu telah disentalisasikan.Yang di perlukan adalah peningkatan inteisitas dan ektensitasnya. Indra Djati sidi (2001:133) menyatakan bahwa di era otonomi ini, partisipasi masyarakat sebagai kekuatan control dalam pelaksanna berbagai program pemerintah menjadi sangat penting terutama dalam bidang pendidikan.Karena partisipasi tersebut bisa menjadi sebagai pengontrol bagi pelaksanaan dan kualitas pendidikan di sekolah.
9.   Pengelolaan iklim sekolah
Lingkungan sekolah yang aman dan tertip, optimism dan harapan yang tingi dari warga sekolah, kesehatan sekolah dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semagat siswa belajar. Iklim sekolah sudah merupakan kewenagan sekolah dan yang di perlukan adalah peningkatan intensitas dan ektensitasnya.






BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Di Indonesia MBS mulai diperkenalkan tahun 1999 oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Proyek perintisan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS), sehingga MBS merupakan model otonomi pendidikan yang diterapkan di sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah salah satu strategi wajib yang Indonesia tetapkan sebagai standar dalam  mengembangkan keunggulan  pengelolaan sekolah. Penegasan ini dituangkan dalam USPN Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 51 ayat 1 bahwa pengelolaan satuan pendidikan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah.
Defenisi yang lebih luas tantang MBS dikemukakan oleh Wohlstetter dan Mohrman (1996) (dalam Hasbullah, 2006: 67), yaitu sebuah pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memberikan kewenangan dan kekuasaan kepada partisipan sekolah pada tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partisipan lokal sekolah tak lain adalah Kepala Sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan siswa). Sehubungan dengan pendapat tersebut, bahwa aspek politik dalam penyelenggaraan pendidikan di tingkat bawah menjadi tanggung jawab sekolah karena kewenangan dan kekuasaan yang selama ini terkonsentrasi pada pemerintah diserahkan ke sekolah sebagai penyelenggara pendidikan di masyarakat.


Sistem manajemen entah MBS atau apapun nama konsepnya dalam implementasinya secara luas dan mendasar yang amat diperlukan adalah dukungan politik baik itu sekedar political will maupun dalam bentuk peraturan dan perundang-undangan formal. Pada dasarnya tidak ada satu strategi khusus yang jitu dan bisa menjamin keberhasilan implementasi MBS di semua tempat dan kondisi. Oleh karena itu, strategi yang diterapkan di suatu negara satu dengan negara lain bisa berbeda, bahkan antar sekolah dalam daerah yang sama pun bisa berlainan strateginya. Dan ke depan hendaknya para praktisi memberikan peran dan andil nyata sehingga diharapkan MBS akan terwujud bukan sekedar wacana saja