agmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya
suatu ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau
tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam
kehidupannya.آ Ide ini merupakan budaya dan tradisi
berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagaiآ sebuah upaya intelektual untuk menjawab problem-problem
yang terjadi pada awal abad ini.آ Pragmatisme
mulai dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh William
James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Tentu saja,
Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide
sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan
imbas baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa.
William James mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan “nama
baru bagi sejumlah cara berpikir lama”. Dan dia sendiri pun menganggap
pemikirannya sebagai kelanjutan dari Empirisme Inggris, seperti yang dirintis
oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian dikembangkan oleh Thomas Hobbes
(1558-1679) danآ John Locke (1632-1704).آ Pragmatisme, di samping itu, telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai
bentuknya, baik filsafat Eksistensialisme maupun Neorealisme dan
Neopositivisme.
Pragmatisme, tak diingkari telah menjadi
semacam ruh yang menghidupi tubuh ide-ide dalam ideologi Kapitalisme, yang
telah disebarkan Barat ke seluruh dunia melalui penjajahan dengan gaya lama
maupun baru. Dalam konteks inilah, Pragmatisme dapat dipandang berbahaya karena
telah mengajarkan dua sisi kekeliruan sekaligus kepada dunia–yakni standar
kebenaran pemikiran dan standar perbuatan manusia– sebagaimana akan diterangkan
nanti.
Atas dasar itu, mereka yang bertanggung jawab
terhadap kemanusiaan tak dapat mengelak dari sebuah tugas mulia yang menantang,
yakni menjinakkan bahaya Pragmatisme dengan mengkaji dan mengkritisinya,
sebagai landasan strategis untuk melakukan dekonstruksi (penghancuran bangunan
ide) Pragmatisme, sekaligus untuk mengkonstruk ideologi dan peradaban Islam sebagai
alternatif dari Kapitalisme yang telah mengalami pembusukan dan hanya
menghasilkan penderitaan pedih bagi umat manusia.
Hakikat Pragmatisme
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejarah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragmatisme dalam konstelasi pemikiran Barat.
Deskripsi mengenai Pragmatisme akan diawali dengan penjelasan ringkas tentang sejarah mata rantai pemikiran Barat, agar diperoleh gambaran komprehensif tentang posisi Pragmatisme dalam konstelasi pemikiran Barat.
a. Asal Usul Pragmatisme
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi.آ Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Setelah melalui Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang gelap dengan ajaran gereja yang dominan, Barat mulai menggeliat dan bangkit dengan Renaissance, yakni suatu gerakan atau usaha –yang berkisar antara tahun 1400-1600 M– untuk menghidupkan kembali kebudayaan klasik Yunani dan Romawi.آ Berbeda dengan tradisi Abad Pertengahan yang hanya mencurahkan perhatian pada masalah metafisik yang abstrak, seperti masalah Tuhan, manusia, kosmos, dan etika, Renaissance telah membuka jalan ke arah aliran Empirisme. William Ockham (1285-1249) dengan filsafat Gulielmus-nya yang mendasarkan pada pengenalan inderawi, telah mulai menggeser dominasi filsafat Thomisme, ajaran Thomas Aquinas yang menonjol di Abad Pertengahan, yang mendasarkan diri pada filsafat Aristoteles. Ide Ockham ini dianggap sebagai benih awal bagi lahirnya Renaissance.
Semangat Renaissance
ini, sesungguhnya terletak pada upaya pembebasan akal dari kekangan dan
belenggu gereja dan menjadikan fakta empirik sebagai sumber pengetahuan, tidak
terletak pada filsafat Yunani itu sendiri. Dalam hal ini Barat hanya mengambil
karakter utama pada filsafat dan seni Yunani, yakni keterlepasannya dari agama,
atau dengan kata lain, adanya kebebasan kepada akal untuk berkreasi. Ini
terbukti antara lain dari ide beberapa tokoh Renaissance, seperti Nicolaus
Copernicus (1473-1543) dengan pandangan heliosentriknya, yang didukung oleh
Johanes Kepler (1571-1630) dan Galileo Galilei (1564-1643) . Juga Francis Bacon
(1561-1626) dengan teknik berpikir induktifnya, yang berbeda dengan teknik
deduktif Aristoteles (dengan logika silogismenya) yang diajarkan pada Abad
Pertengahan.آ آ Jadi, Barat tidak mengambil filsafat
Yunani apa adanya, sebab justru filsafat Yunani itulah yang menjadi dasar
filsafat Kristen pada Abad Pertengahan, baik periode Patristik (400-1000 M) dengan filsafat
Emanasi Neoplatonisme yang dikembangkan oleh Augustinus (354-430), maupun
periode Scholastik (1000 - 1400 M) dengan filsafat Thomisme yang bersandar pada
Aristoteles. Semua filsafat Yunani ini membahas metafisika, tidak membahas
fakta empirik sebagaimana yang dituntut oleh Renaissance. Jadi, semangat
Renaissance itu tidak bersumber pada filsafat Yunaninya itu sendiri, tetapi
pada karakternya yang terlepas dari agama.
Renaissance juga
diperkuat adanya Reformasi, sebuah upaya pemberontakan terhadap dominasi gereja
Katholik yang dirintis oleh Marthin Luther di Jerman (1517). Gerakan ini
bertolak dari korupsi umum dalam gereja –seperti penjualan Surat Tanda
Pengampunan Dosa (Afllatbrieven)–, penindasannya yang telanjang, dan
dominasinya terhadap negara-negara Eropa. Meskipun Reformasi tidak secara
langsung ikut memperjuangkan apa yang disebut “pembebasan akal”, tetapi gerakan
ini secara tak sadar telah memperkuat Renasissance dengan mempelopori kebebasan
beragama (Protestan) danآ telah
memperlemah posisi Gereja dengan memecah kekuatan Gereja menjadi dua aliran;
Katholik dan Protestan. Kritik-kritik terhadap Injil di Jerman sekitar abad
XVII juga dianggap implikasi tak langsung dari adanya Reformasi. Meskipun
demikian, Gereja
Katholik dan tokoh Reformasi memiliki sikap sama terhadap upaya Renaissance,
yakni menentang ide-ide yang tidak sesuai dengan Injil. Calvin, seorang tokoh
Reformasi di Jenewa (Swiss), mendukung pembakaran hidup-hidup terhadap Servetus
dari Spanyol (1553), yang menentang Trinitas. Gereja Katholik dan Reformasi
juga sama-sama menolak ide Copernicus (1543) tentang matahari sebagai pusat
tatasurya, seraya mempertahankan doktrin Ptolemeus yang menganggap bumi sebagai
pusat tatasurya.
Pada abadآ XVII, perkembangan Renaissance telah melahirkan dua aliran
pemikiran yang berbeda : aliran Rasionalisme dengan tokoh-tokohnya seperti Rene
Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677), dan Pascal (1623-1662), dan
aliran Empirisme dengan tokoh-tokohnya Thomas Hobbes (1558-1679), John Locke
(1632-1704).آ Rasionalisme memandang bahwa sumber
pengetahuan yang dapat dipercaya adalah rasio (akal), sedang Empirisme
beranggapan bahwa sumber pengetahuan adalah empiri, atau pengalaman manusia
dengan menggunakan panca inderanya.
Kemudian datanglah Masa Pencerahan
(Aufklarung) pada abad XVIII yang dirintis oleh Isaac Newton (1642-1727),
sebagai perkembangan lebih jauh dari Rasionalisme dan Empirisme dari abad
sebelumnya. Pada abad sebelumnya, fokus pembahasannya adalah pemberian
interpretasi baru terhadap dunia, manusia, dan Tuhan. Sedang pada Masa
Aufklarung, pembahasannya lebih meluas mencakup segala aspek kehidupan manusia,
seperti aspek pemerintahan dan kenegaraan, agama, ekonomi, hukum, pendidikan
dan sebagainya.
Bertolak dari
prinsip-prinsip Empirisme John Locke, George Berkeley (1685-1753) mengembangkan
“immaterialisme”, sebuah pandangan yang lebih ekstrim daripada pandangan John
Locke. Jika Locke berpandangan bahwa kita dapat mengenal esensi sebenarnya
(hakikat) dari fenomena material dan spiritual, Berkeley menganggap bahwa
substansi-substansi material itu tidak ada, Yang ada adalah ciri-ciri yang
diamati.آ Pandangan Locke dan Berkeley
dikembangkan lebih lanjut oleh David Hume (1711-1776), dengan dua ide pokoknya;
yakni tentang
skeptisisme (keragu-raguan) ekstrim bahwa filsuf itu mampu menemukan kebenaran
tentang apa saja, dan keyakinan bahwa “pengetahuan tentang manusia” akan dapat
menjelaskan hakikat pengetahuan yang dimiliki manusia.
Selain George Berkeley dan David Hume,
Immanuel Kant (1724-1804) juga dianggap salah seorang tokoh Masa Pencerahan.
Filsafat Kant disebut Kritisisme, yakni aliran yang mencoba mensintesiskan
secara kritis Empirisme yang dikembangkan Locke yang bermuara pada Empirisme
Hume, dengan Rasionalisme dari Descartes. Kant mulai menelaah batas-batas
kemampuan rasio, berbeda dengan dengan para pemikir Rasionalisme yang mempercayai
kemampuan rasio bulat-bulat. Namun demikian, Kant juga mempercayai Empirisme.
Walhasil dia berpandangan bahwa semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun
tidak berarti semua dari pengalaman. Obyek luar ditangkap oleh indera, tetapi
rasio mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut.
Pada abad XIX,
filsafat Kant tersebut dikembangkan lebih lanjut di Jerman oleh J. Fichte
(1762-1814), F. Schelling (1775-1854) dan Hegel (1770-1831). Namun yang mereka
kembangkan tidaklah filsafat Kant seutuhnya, tetapi lebih memprioritaskan
ide-ide, yakni tidak memfokuskan pada pembahasan fakta empirik. Karenanya,
aliran mereka disebut dengan Idealisme. Dari ketiganya, Hegel merupakan tokoh
yang menonjol, karena banyak pemikir pada abad ke-19 dan ke-20 yang merupakan
murid-muridnya, baik langsung maupun tidak. Mereka terbagi dalam dua pandangan,
yaitu pengikut Hegel aliran kanan yang membela agama Kristen seperti John Dewey
(1859-1952), salah seorang peletak dasar Pragmatisme yang menjadi budaya Amerika
(baca : Kapitalisme) saat ini, dan pengikut Hegel aliran kiri yang memusuhi
agama, seperti Feuerbach, Karl Marx, dan Engels dengan ide Materialisme yang
merupakan dasarآ ideologi Komunisme di Rusia.
Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX
berkembang lebih jauh menjadi beberapa aliran yang berbeda, yaitu Positivisme,
Materialisme, dan Pragmatisme.
Positivisme dirintis oleh August Comte
(1798-1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme
sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang
nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan
sosial menurut Positivisme dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang
diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan
mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif. Jadi,
nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari
suatu masyarakat itu sendiri.
Materialisme adalah
aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu adalah materi. Di
antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872), Karl Marx (1818-1883) dan Fredericht
Engels (1820-1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika Hegel, tetapi tidak
dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide). Kemudian denganآ mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu
mengubah Dialektika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan
dari kontradiksi-kontradiksi tesis-antitesis-sintesis yang sudah diujudkan
dalam dunia materi. Dialektika Materialisme lalu digunakan sebagai alat interpretasi terhadap sejarah
manusia dan perkembangannya. Interpretasi inilah yang disebut sebagai Historis
Materialisme, yang menjadi dasar ideologi Sosialisme-Komunisme (Marxisme).
Pragmatisme dianggap juga salah satu aliran
yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh Idealisme Jerman
(Hegel) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap pemikir paling
berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme lainnya adalah
Charles Pierce dan William James. Pembahasan tentang Pragmatisme akan diuraikan
lebih rinci pada keterangan selanjutnya pada poin berikut.
b. Arti Pragmatisme
Istilah Pragmatismeآ berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Istilah Pragmatismeآ berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan (action) atau tindakan (practice). Isme di sini sama artinya dengan isme-isme lainnya, yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan.
Pragmatisme memandang bahwa kriteria kebenaran
ajaran adalah “faedah” atau “manfaat”. Suatu teori atau hipotesis dianggap oleh
Pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain, suatu teori
itu benar kalau berfungsi (if it works).
Dengan demikian Pragmatisme dapat
dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori kebenaran (theory of truth),
sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William James, terutama dalam
bukunya The Meaning of The Truth (1909).
Kebenaran menurut James adalah sesuatu yang
terjadi pada ide, yang sifatnya tidak pasti. Sebelum seseorang menemukan satu
teori berfungsi, tidak diketahui kebenaran teori itu. Atas dasar itu, kebenaran
itu bukan sesuatu yang statis atau tidak berubah, melainkan tumbuh dan
berkembang dari waktu ke waktu. Kebenaran akan selalu berubah, sejalan dengan
perkembangan pengalaman, karena yang dikatakan benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James
menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia
mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu
merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan
dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan
perdebatan atau diskusi.Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta,
artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan
kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.
James, dengan demikian, dapat dilihat sebagai
penganjur Empirisme dengan cara berpikir induktif. Menurut James, pemikir
Rasionalis adalah orang yang bekerja dan menyelidiki sesuatu secara deduktif,
dari yang menyeluruh ke bagian-bagian. Rasionalis berusaha mendeduksi yang umum
ke yang khusus, mendeduksi fakta dari prinsip. Sedang pemikir Empirisme,
berangkat dari fakta yang khusus (partikular) kepada kesimpulan umum yang
menyeluruh. Seorang Empiris membuat generalisasi dari induksi terhadap
fakta-fakta partikular.
Tetapi Empirisme James adalah Empirisme
Radikal, berbeda dengan empirisme tradisional yang kurang memperhatikan
hubungan-hubungan antar fakta. Empirisme radikal melihat bahwa hubungan yang
mempertautkan pengalaman-pengalaman, harus merupakan hubungan yang dialami.
Pragmatisme yang diserukan oleh James ini
–yang juga disebut Practicalisme– , sebenarnya merupakan perkembangan dan
olahan lebih jauh dari Pragmatisme Peirce. Hanya saja, Peirce lebih menekankan
penerapan Pragmatisme ke dalam bahasa, yaitu untuk menerangkan arti-arti
kalimat sehingga diperoleh kejelasan konsep dan pembedaannya dengan konsep
lain. Dia menggunakan pendekatan matematik dan logika simbol (bahasa), berbeda
dengan James yang menggunakan pendekatan psikologi. Dalam memahami kemajemukan
kebenaran (pernyataan), Peirce membagi kebenaran menjadi dua. Pertama adalah
Trancendental Truth, yaitu kebenaran yang bermukim pada benda itu sendiri. Yang
kedua adalah Complex Truth, yaitu kebenaran dalam pernyataan. Kebenaran jenis
ini dibagi lagi menjadi kebenaran etis atau psikologis, yaitu keselarasan
pernyataan dengan apa yang diimani si pembicara, dan kebenaran logis atau
literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang didefinisikan. Semua
kebenaran pernyataan ini, harus diuji dengan konsekuensi praktisnya melalui
pengalaman.
John Dewey mengembangkan lebih jauh
mengembangkan Pragmatisme James. Jika James mengembangkan Pragmatisme untuk
memecahkan masalah-masalah individu, maka Dewey mengembangkan Pragmatisme dalam
rangka mengarahkan kegiatan intelektual untuk mengatasi masalah sosial yang
timbul di awal abad ini. Dewey menggunakan pendekatan biologis dan psikologis,
berbeda dengan James yang tidak menggunakan pendekatan biologis. Dewey
menerapkan Pragmatismenya dalam dunia pendidikan Amerika dengan mengembangkan
suatu teori problem solving, yang mempunyai langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Merasakan adanya
masalah.
2.
Menganalisis
masalah itu, dan menyusun hipotesis-hipotesis yang mungkin.
3.
Mengumpulkan data
untuk memperjelas masalah.
4.
Memilih dan
menganalisis hipotesis.
5.
Menguji, mencoba,
dan membuktikan hipotesis dengan melakukan eksperimen/pengujian.
Meskipun berbeda-beda penekanannya, tetapi
ketiga pemikir utama Pragmatisme menganut garis yang sama, yakni kebenaran
suatu ide harus dibuktikan dengan pengalaman.
Demikianlah Pragmatisme berkhotbah dan
menggurui dunia, bahwa yang benar itu hanyalah yang mempengaruhi hidup manusia
serta yang berguna dalam praktik dan da