BUDAYA KEWARGANEGARAAN SEBAGAI FAKTOR PENTING BAGI DEMOKRASI YANG STABIL
1.
Budaya Kewarganegaraan sebagai budaya
politik campuran
Almond dan Verba,
ahli yang menekuni kajian budaya politik dengan bukunya yang sangat terkenal
The Civic Culture (Budaya Kewarganegaraan) menyatakan bahwa “budaya politik
merupakan orientasi dan sikap individu terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya,
juga sikap individu terhadap peranannya sendiri dalam sistem politik tersebut”[1].
Kemudian Larry Diamond [2],
ahli politik yang menekuni tentang perkembangan demokrasi dengan memperhatikan perkembangan penelitian
mengenai budaya politik yang dirintis oleh Almond & Verba, sampai pada kesimpulan bahwa budaya politik
sebagai keyakinan, sikap, nilai, ide-ide, sentimen, dan evaluasi suatu
masyarakat tentang sistem politik nasionalnya dan peran dari masing-masing
individu dalam sistem itu. Atau, secara
praktis, budaya politik merupakan seperangkat nilai-nilai yang menjadi dasar
para aktor untuk menjalankan tindakan-tindakan dalam ranah politik.
Sistem politik
sebagai obyek budaya politik oleh David Easton, diberi pengertian sebagai
seperangkat interaksi yang diabstraksikan, dimana nilai – nilai dialokasikan
terhadap masyarakat. Dengan kata lain, sistem politik merupakan bagian dari
sistem sosial yang menjalankan alokasi
nilai – nilai (dalam bentuk keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan)
yang bersifat otoritatif (dikuatkan oleh
kekuasaan yang sah) dan mengikat seluruh masyarakat. Dalam masyarakat modern ,
otorita atau kekuasaan yang sah yang memiliki wewenang yang sah untuk
menggunakan kekuasaan paksaan adalah negara.
Karakteristik
utama sistem politik menurut Easton
yaitu unit sistem politik dan batas-batas, input dan output, deferensiasi, dan
integrasi.[3]
Unit politik adalah aksi politik yang terstruktur dalam peranan-peranan politik
dan kelompok-kelompok politik. Batas-batas dimaksudkan adalah lingkungan sistem
politik yang berupa kegiatan-kegiatan lain yang tidak secara langsung berkaitan
dengan proses pembuatan keputusan yang mengikat untuk suatu masyarakat. Input
dan output. Input merupakan masukan untuk bekerjanya sistem politik, Sedangkan
output merupakan keluaran yang berupa keputusan yang mengikat. Deferensiasi,
merupakan perbedaan kegiatan yang dijalankan struktur politik dalam mengubah
input menjadi output. Integrasi sistem merupakan mekanisme untuk memaksa untuk
kerjasama struktur politik sehingga dapat membuat keputusan-keputusan yang
mengikat.
Almond dan Coleman,[4]
membedakan struktur politik atas infrastruktur struktur politik dan
suprastruktur politik. Infrastruktur
struktur politik terdiri dari struktur politik masyarakat, suasana kehidupan
politik masyarakat, dan sektor politik masyarakat. Suprastruktur politik terdiri
dari sektor pemerintahan, suasana pemerintahan, dan sektor politik
pemerintahan.
Dalam kehidupan politik demokratis, struktur
politik ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni yang bersifat formal dan informal.[5]
Struktur formal merupakan mesin politik yang dengan absah mengidentifikasi segala
masalah, menentukan dan melaksanakan segala keputusan yang mempunyai kekuatan
mengikat pada seluruh masyarakat, sedangkan struktur informal merupakan
struktur yang mampu memengaruhi cara kerja aparat masyarakat untuk
mengemukakan, menyalurkan, menerjemahkan, mengonversikan tuntutan, dukungan,
dan rnasalah tertentu yang berhubungan dengan kepentingan umum. Termasuk dalam
struktur informal ini adalah partai politik, kelompol-kelompok kepentingan
Menurut Almond dan Powell Jr., struktur politik
dapat dibedakan ke dalam sistem, proses, dan aspek-aspek kebijakan.[6]
Struktur sistem merujuk pada organisasi dan institusi yang memelihara atau
mengubah (maintain or change) struktur politik, dan secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi
sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan komuukasi politik. Fungsi-fungsi
sosialisasi politik merupakan fungsi bagaimana generasi muda dan anak-anak mendapatkan sosialisasi kehidupan politik dari
berbagai institusi seperti keluarga, tempat-tempat ibadah, lingkungan kerja,
sekolah, dan lain sebagainya. Rekrutmen politik melibatkan proses bagaimana
pemimpin-pemimpin politik direkrut melalui
misalnya, partai-partai politik. Komunikasi politik menjadi
penyambung bagi keseluruhan sistem agar
dapat bekerja sebagaimana mestinya. Tanpa adanya komunikasi politik, energi
yang berada dalam elemen-elemen sistem politik tidak dapat mengalir.
Akibatmya, sistem poiitik mengalami kemacetan.
Struktur proses politik melibatkan bagaimana
fungsi-fungsi artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan,
dan implementasi kebijakan dilaksanakan oleh struktur politik. Struktur proses
melibatkan di antaranya kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, media
massa, eksekutif, dan lain sebagainya, di mana masing-masing struktur ini
mempunyai peran politiknya masing-masing.Selanjutnya, jika struktur proses
dapat dipahami sebagai fungsi-fungsi proses dilakukan oloh struktur- struktur yang sama untuk semua kebijakan, maka
struktur aspek-aspek kebijakan lebih pada kebijakan-kebijakan spesifik, seperti
kebijakan pertahanan, kebijakan pangan, dan lain sebagainya.
Komponen
budaya politik diklasifikasikan menjadi 3 bentuk orientasi, yaitu orientasi
yang bersifat kognitif (cognitive),
afektif (affective) dan evaluatif (evaluative). [7]Orientasi
yang bersifat kognitif meliputi
pengetahuan/pemahaman dan keyakinan – keyakinan individu tentang sistem politik
dan atributnya, seperti ibukota negara, lambing – lambing negara, kepala
negara, batas – batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya.
Sementara itu, orientasi yang bersifat afektif menyangkut perasaan – perasaan
atau ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Sedangkan orientasi yang bersifat evaluatif menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan
penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaimana peran
individu di dalamnya.
Rosenbaum, mengajukan orientasi terhadap elemen-elemen tatanan
politik, sebagai berikut:
a.
Orientasi terhadap struktur pemerintahan, meliputi
: (1) orientasi rejim, bagaimana
individu mengevaluasi dan merespon terhadap lembaga pemerintahan,
simbol-simbol, para pejabat dan norma-normanya; (2) orientasi terhadap inputs dan outputs pemerintah, bagaimana
individu merasakan dan merespon terhadap tuntutan untuk kebijakan publik dan
kebijakan yang diputuskan pemerintah.
b. Orientasi terhadap yang lain dalam sistem
politik, meliputi (1)
rientasi identifikasi, kesatuan politik, wilayah geografis dan kelompok
dimana ia merasa memilikinya; (2) kepercayaan politik, sejauh mana seseorang
merasa terbuka, kooperatif atau bersikap
toleran dalam bekerja dalam kehidupan masyarakat; (3) ”aturan permainan”, konsep individu
tentang aturan mana yang harus diikuti dalam
kehidupan kenegaraan.
c. Orientasi
terhadap aktivitas politiknya, meliputi : (1) kompetensi politik, seberapa sering
dan dalam cara bagaimana seseorang berpartisipasi dalam kehidupan politik, mana
yang paling sering digunakan sebagai sumber politik baginya dalam masalah
kenegaraan; (2) political efficacy,
perasaan bahwa tindakan politik individu memiliki atau dapat menghadirkan pengaruh atas proses
politik.
Ketiga
orientasi politik tersebut yaitu kognitif, afektif dan evaluative sebagai
komponen pembentuk tipe budaya politik. Almond dan Verba mengajukan tiga tipe
budaya politik yang berkembang dalam suatu masyarakat/ bangsa , yaitu tipe parochial
(awak), subjek (kaula), dan partisipan.
Orang/masyarakat
yang bertipe budaya politik parohial bercirikan tidak memiliki
orientasi/pandangan sama sekali, baik berupa pengetahuan (kognisi), sikap
(afeksi) dan penilaian (evaluasi) terhadap objek politik (sistem politik). Ini
berarti yang bersangkutan bersifat acuh tak acuh terhadap objek politik. Tetapi
meskipun tidak peduli terhadap objek politik, orang/masyarakat yang bertipe
budaya politik parochial, tetap peduli terhadap nilai-nilai primordial seperti
adat istiadat, etnis dan agama. Dengan kata lain tidak menaruh minat terhadap
obyek politik yang luas, kecuali pada tempat dimana ia terikat secara sempit. Sedangkan
orang/masyarakat yang bertipe budaya politik subjek, bercirikan memiliki
orientasi terhadap output (hasil/pelaksanaan kebijakan publik) yang
sangat tinggi, tetapi orientasi terhadap input (pembuatan kebijakan
publik) dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik sangat rendah. Ini
berarti dalam tipe budaya politik subjek, kepatuhan/ketaatan yang tinggi
terhadap berbagai peraturan pemerintah tetapi tidak disertai sikap kritis
(menunjukkan kelemahan dan kekuatan/kebaikan suatu peraturan). Dengan kata lain
peran yang dilakukan bersifat pasif.
Kemudian tipe
budaya politik partisipan, bercirikan di mana seseorang/masyarakat memiliki
orientasi terhadap seluruh obyek politik secara keseluruhan (input, output)
dan terhadap diri sendiri sebagai aktor politik. Ini berarti
seseorang/masyarakat bertipe budaya politik partisipan disamping aktif
memberikan masukkan atau aktif mempengaruhi pembuatan kebijakan publik (input) juga aktif dalam implementasi
atau pelaksanaan kebijakan publik (output).
Juga memiliki kepercayaan yang tinggi bahwa dirinya sebagai aktor politik
berkemampuan mempengaruhi kehidupan politik bangsa dan negaranya.
Orang/masyarakat yang bertipe budaya politik partisipan disamping berperan
aktif dalam proses politik juga tunduk pada hukum dan kewenangan pemerintah.
Dalam hal ini,
Afan Gaffar,[8] bahwa
budaya politik yang partisipatif (partisipan) atau civic culture merupakan budaya yang akan mendukung terbentuknya
sebuah sistem politik yang demokratik dan stabil. Karena dalam budaya politik partisipan
menyangkut suatu kumpulan keyakinan, sikap, norma, persepsi dan sejenisnya yang
menopang terwujudnya partisipasi.
Mengenai bagaimana gambaran
orientasi politik menentukan tipe budaya politik dapat dilihat pada tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Orientasi Politik
sebagai pembentuk tipe budaya politik
ORIENTASI POLITIK
|
DIMENSI ORIENTASI POLITIK
|
TIPE BUDAYA POLITIK
|
|||
Sistem sebagai obyek umum
|
Obyek input
|
Obyek output
|
Pribadi sebagai obyek
politik
|
||
Kognitif
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Parochial (awak)
|
Afektif
|
1
|
0
|
1
|
0
|
Subjek (kaula)
|
Evaluatif
|
1
|
1
|
1
|
1
|
Partisipan
|
Sumber : Gabrile A. Almond ; Sidney Verba, 1984, Budaya Politik, hlm. 19.
Almond &
Verba, menyatakan budaya politik
kewarganegaraan (civic culture)
merupakan budaya politik campuran antara awak, kaula dan partisipan.[9]
Budaya politik ini merupakan budaya politik yang seimbang dalam mana terdapat
kegiatan politik, keterlibatan dan rasionalitas (karakteristik budaya politik
partisipan) tetapi dimbangi oleh kefasifan dan tradisionalitas (cirri budaya
politik kaula), dan keterikatan pada nilai-nilai primordial (cirri budaya
politik awak). Konkritnya, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi
yang seimbang antara karakteristik – karakteristik berikut: aktif, rasional (tidak
emosional), dan mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaaan
pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan terhadap pemerintah, kepercayaan
terhadap sesame warga Negara, dan keteriktan pada keluarga, suku, dan agama.
Oleh karena itu, dalam budaya politik kewarganegaraan orientasi politik
partisipan dikombinasikan dengan dan tidak menggantikan orientasi politik kaula
dan awak. Sedangkan Afan Gafar, memberikan istiah civic culture dengan budaya politik partisipan sebagai budaya
politik yang demokratik[10].
2.
Budaya
Kewarganegaraan sebagai faktor penting untuk mengembangkan demokrasi yang
stabil dan mensejahterakan
Menurut Larry Diamond,[11]
teori-teori terkemuka tentang demokrasi, baik klasik maupun modern, mengklaim
bahwa demokrasi memerlukan seperangkat nilai dan orientasi politik tersendiri
dari warganya: moderasi, toleransi, keberadaban, keefektifan, pengetahuan, dan
partisipasi. Kepercayaan dan anggapan pada legitimasi rezim telah lama diakui
sebagai faktor penting dalam perubahan rezim, khususnya yang berkaitan dengan
ketahanan atau kemacetan demokrasi. Selanjutnya, Ronald Inglehart menunjukkan
bahwa kepuasan hidup, kepercayaan antar pribadi, dan penolakan terhadap
perubahan revolusioner bukan hanya berkorelasi tinggi dengan pembangunan ekonomi
tetapi juga dengan stabilitas demokrasi dan bahwa "budaya politik mungkin
merupakan mata rantai penghubung yang penting antara pembangunan ekonomi dan
demokrasi".[12]