KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM STRUKTUR KETATANEGARAAN
INDONESIA
Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Kedudukan Kelembagaan
Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan
sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Menurut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan
Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat
(setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima
kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah
(i) Dewan Perwakilan Rakyat,
(ii) Dewan Perwakilan Daerah,
(iii) Majelis
Permusyawaratan Rakyat,
(iv) Badan Pemeriksa Keuangan,
(v) Presiden,
(vi) Wakil
Presiden,
(vii) Mahkamah Agung,
(viii) Mahkamah Konstitusi, dan
(ix) Komisi
Yudisial.
Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa
lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu
(a) Tentara
Nasional Indonesia,
(b) Kepolisian Negara Republik Indonesia,
(c) Pemerintah
Daerah,
(d) Partai Politik. Selain itu,
ada pula lembaga yang tidak disebut
namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur
dengan undang-undang, yaitu:
(i) bank central yang tidak disebut namanya “Bank
Indonesia”, dan
(ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis
dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang
sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga-lembaga
independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.
Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara
kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan
kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan
bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal
dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini
misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional,
dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).
Dari uraian di atas,
Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama
tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama
merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan
lain, yaitu pemerintah (executive)
dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature).
Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota
Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini
terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai
lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur
organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang
strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima
lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan
militer.
Meskipun tidak secara
persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang
berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun
subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan
orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas.
Perkara-perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut
persoalan-persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut
kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap
norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang
atau kasus demi kasus ketidak-adilan secara individuil dan konkrit. Yang
bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan
perkara ‘impeachment’ terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada
pokoknya, seperti yang biasa saya sebut untuk tujuan memudahkan pembedaan,
Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah ‘court
of justice’, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah ‘court of law’. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan
keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu
sendiri.
Sebagai organ kekuasaan
kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat
independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung
independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga
mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain.
Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan
mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dan kepaniteraan
serta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada
peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua
Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan
diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara
administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden.
Dalam hubungan dengan
lembaga-lembaga negara lainnya, dapat digambarkan sebagai berikut.
Tiga Lembaga Pengisi Jabatan
Sembilan orang hakim
konstitusi diisi oleh calon yang dipilih oleh 3 lembaga, yaitu 3 (tiga) orang
oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan 3 (tiga) orang
oleh Mahkamah Agung. Jika terdapat lowongan jabatan, maka lembaga yang akan
mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya
berasal. Misalnya, hakim “A” meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila
pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti
Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal
tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat,
maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah
melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam
rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3
(tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,
dan Mahkamah Agung.
Hubungan dengan Mahkamah Agung
Selain hal-hal yang
diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung
juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang
telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan
atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh
Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian
undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini
dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah
undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Mengenai kemungkinan
sengketa kewenangan antar lembaga negara, untuk sementara waktu menurut
ketentuan Pasal 65 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Agung dikecualikan dari ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara di
Mahkamah Konstitusi, khususnya yang berkaitan dengan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Apakah pengecualian ini tepat? Sesungguhnya
ketentuan semacam ini kurang tepat, karena sebenarnya tidaklah terdapat alasan
yang kuat untuk mengecualikan Mahkamah Agung sebagai ‘potential party’ dalam perkara sengketa kewenangan. Salah satu
alasan mengapa pengecualian ini diadakan ialah karena pembentuk undang-undang
menganggap bahwa sebagai sesama lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tidak
seharusnya Mahkamah Agung ditempatkan sebagai pihak yang berperkara di Mahkamah
Konstitusi. Putusan Mahkamah Agung, seperti halnya Mahkamah Konstitusi bersifat
final, dan karena itu dikuatirkan jika Mahkamah Agung dijadikan pihak,
putusannya menjadi tidak final lagi. Di samping itu, timbul pula kekuatiran
jika Mahkamah Agung menjadi pihak yang bersengketa dengan Mahkamah Konstitusi,
maka kewenangan utnuk memutus secara sepihak ada pada Mahkamah Konstitusi. Oleh
karena itu, diambil jalan pintas untuk mengecualikan Mahkamah Agung dari
ketentuan mengenai pihak yang dapat berperkara dalam persoalan sengketa
kewenangan konstitusional di Mahkamah Konstitusi.
Padahal, dalam kenyataannya dapat saja Mahkamah Agung
terlibat sengketa dalam menjalankan kewenangannya dengan lembaga negara lain menurut
Undang-Undang Dasar di luar urusan putusan kasasi ataupun peninjauan kembali
(PK) yang bersifat final. Misalnya, ketika jabatan Wakil Ketua Mahkamah Agung
yang lowong hendak diisi, pernah timbul kontroversi, lembaga manakah yang
berwenang memilih Wakil Ketua Mahkamah Agung tersebut. Menurut ketentuan UUD,
ketua dan wakil ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah
Agung. Tetapi, menurut ketentuan UU yang lama tentang Mahkamah Agung yang
ketika itu masih berlaku, mekanisme pemilihan Wakil Ketua Mahkamah Agung itu
masih dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Jika kontroversi itu berlanjut
dan menimbulkan sengketa antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
berkenaan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPR atau MA, maka otomatis
Mahkamah Agung harus bertindak sebagai pihak dalam berperkara di Mahkamah
Konstitusi.
Namun demikian, terlepas
dari persoalan tersebut di atas, yang jelas ketentuan UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang mengecualikan Mahkamah Agung seperti itu dapat
diterima sekurang-kurangnya untuk sementara ketika Mahkamah Konstitusi sendiri
baru didirikan. Jika praktek penyelenggaraan peradilan konstitusi ini nantinya
telah berkembang sedemikian rupa, bukan tidak mungkin suatu saat nanti
ketentuan UU tentang Mahkamah Konstitusi mengenai hal tersebut dapat
disempurnakan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah
Konstitusi dengan Mahkamah Agung berkaitan dengan status MA sebagai salah satu
lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi dan status MA sebagai penguji
peraturan di bawah undang-undang.
Hubungan dengan Dewan Perwakilan
Rakyat
Dewan Perwakilan Rakyat
adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang
yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis
dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang-Undang. Di samping
itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga
yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih
calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang
selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga
sebagaimana mestinya.
Dewan Perwakilan Rakyat
juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa
kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan
Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang
Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau
dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh
Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga
berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah
anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.
Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah
Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR
sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk
undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa
dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang
berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan
pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau
telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana
dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang
terakhir ini, DPR bertindak sebagai pemohon kepada MK.
Hubungan dengan
Presiden/Pemerintah
Selain bertindak sebagai
penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan
pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden,
Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9
hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi
dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di
bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu,
meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh
diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan
dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi
negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan
tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua
Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain
bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab
umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran
sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional
adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama
dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang
menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang
mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga
dapat disebut sebagai ko-legislator, meskipun dalam kedudukan yang lebih lemah
dibandingkan dengan kedudukan DPR. Kedudukan yang lebih lemah ini misalnya
tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai
tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu,
meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU
tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5)
UUD 1945 pasca Perubahan.
Sebagai ko-legislator,
maka setiap pengujian Undang-Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya
keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah. Apalagi, di
samping sebagai ko-legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu
lembaga pelaksana undang-undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat
tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar
maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya
Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU,
keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR
sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian
MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan
Pemerintah atau DPR.
Dalam hal perkara
pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah.
Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak
boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota
adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut
campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian
dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana
mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan
dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya.
Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara
Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau
mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang
peradilan.
Susunan Organisasi
Organisasi
Mahkamah Konstitusi Republiki Indonesia
terdiri atas tiga komponen, yaitu (i) para hakim, (ii) sekretariat jenderal,
dan (iii) kepaniteraan. Organisasi Pertama adalah para hakim
konstitusi yang terdiri atas 9 (sembilan) orang sarjana hukum yang mempunyai
kualifikasi negarawan yang menguasai konstitusi ditambah dengan syarat-syarat
kualitatif lainnya dengan masa pengabdian untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih
kembali hanya untuk satu periode lima
tahun berikut. Dari antara para hakim itu dipilih dari dan oleh mereka sendiri
seorang Ketua dan seorang Wakil Ketua, masing-masing untuk masa jabatan 3
tahun. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan
hakim itu ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang sipilih oleh
DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh
Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim
konstitusi dengan Keputusan Presiden. Mekanisme rekruitmen yang demikian itu
dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu
benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun
MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar-benar
dapat bersifat independen dan imparsial.
Kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai
sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau
9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan
diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas
akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran
tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah
mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran
konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan
kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan
Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus
dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah
hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu
pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis
hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.
Organisasi
Kedua adalah sekretariat jenderal Mahkamah Konstitusi yang menurut
ketentuan UU No. 24 Tahun 2003 dipisahkan dari organisasi kepaniteraan. Pasal 7
UU ini menyatakan: “Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Mahkamah
Konstitusi dibantu oleh sebuah Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan”.
Penjelasan pasal ini menegaskan: “Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis
administratif, sedangkan Organisasi
Ketiga yaitu kepaniteraan menjalankan tugas teknis administrasi justisial”.
Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar
administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak
tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab
sekretariat jenderal. Baik sekretariat jenderal maupun kepaniteraan
masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan
Keputusan Presiden. Dengan demikian, Sekretaris Jenderal dan Panitera sama-sama
mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti
memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus
untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan
dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Untuk menjamin kemandirian MK di bidang finansial,
maka UU No.24/2003 juga menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai
mata anggaran tersendiri dalam APBN.
Mengapa Mahkamah
Konstitusi Perlu Dibentuk?
Pada pokoknya, pembentukan
Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan
mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat
UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem
ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan ‘checks and balances’ sebagai penggganti
sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Sebagai akibat perubahan
tersebut, maka (a) perlu diadakan mekanisme untuk memutus sengketa kewenangan
yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama
lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (b) perlu
dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan
produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip ‘the rule of majority’. Karena itu,
fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses
pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil
Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (c) juga diperlukan adanya
mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat
diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu
dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini
berkaitan erat dengan hak dan kebebasan para warganegara dalam dinamika sistem
politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi-fungsi
penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik
juga dikaitkan dengan kewenangan MK.
Oleh
sebab itu, UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan
satu kewajiban konstitusional (constitutional
obligation). Keempat kewenangan itu adalah: (1) menguji undang-undang (UU)
terhadap UUD, (2) memutuskan sengketa kewenangan antar lembaga yang
kewenangannya diberikan oleh UUD, (2) memutuskan sengketa hasil pemilihan umum,
dan (4) memutuskan pembubaran partai politik. Sedangkan kewajibannya adalah
memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah bersalah
melakukan pelanggaran hukum ataupun tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden seperti yang dimaksud dalam UUD 1945.
Sengketa Kewenangan
Konstitusional antar Lembaga Negara
Pada
umumnya, dalam memahami persoalan sengketa kewenangan antar lembaga negara ini,
orang cenderung mendekatinya dari sudut pandang lembaga negaranya. Sudut
pandang demikian ini saya namakan sebagai pendekatan subjek atau subjektif.
Dari sudut pandang demikian, yang dipersoalkan apa yang dimaksudkan oleh
Undang-Undang Dasar dengan ‘lembaga negara’ dan badan atau institusi apa saja
yang dapat disebut sebagai lembaga negara seperti yang dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, orang seringkali
tidak dapat keluar dari paradigma lama ketika UUD 1945 belum diubah, yaitu
bahwa pengertian ‘lembaga negara’ hanya dikaitkan dengan pengertian alat-alat
perlengkapan negara yang menjalankan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif, dan
judikatif yang biasa dikenal selama ini dengan istilah lembaga tinggi dan
lembaga tertinggi negara.
Oleh
karena itu, untuk membantu memperluas cara pandang, dapat dianjurkan untuk
menggunakan pendekatan kedua, yaitu pendekatan objek atau objektif. Yang
dipersoalkan bukan subjek kelembagaannya tetapi objek kewenangan yang
dipersengketakan, yaitu kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar atau
disebut sebagai kewenangan konstitusional. Artinya, sejauh berkenaan dengan
kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh UUD kepada organ-organ yang
disebutkan dalam UUD, apabila timbul persengketaan dalam pelaksanaannya oleh
lembaga-lembaga atau antar lembaga-lembaga yang dimaksudkan dalam UUD itu, maka
Mahkamah Konstitusilah yang dianggap paling tahu apa maksud konstitusi
memberikan kewenangan-kewenangan tersebut kepada lembaga yang mana di antara
yang bersengketa.
Dengan
cara pandang demikian akan mudah bagi kita memahami lembaga-lembaga apa saja
yang disebut dalam UUD dan kewenangan-kewenangan apa saja yang diberikan
kepadanya oleh UUD. Jika ternyata ada lembaga yang namanya disebut dalam UUD,
tetapi kewenangannya tidak secara eksplisit ditentukan dalam UUD, melainkan
hanya dikatakan akan diatur dalam UU, berarti kewenangan lembaga tersebut tidak
diberikan oleh UUD, melainkan oleh UU. Bahkan ada pula seperti Komisi Pemilihan
Umum, yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD sebagai lembaga
penyelenggara pemilu, tetapi ditulis
dengan huruf kecil, sehingga penamaan resminya dan juga rincian kewenangannya
diatur dan diberikan oleh UU, bukan oleh UUD. Hal yang sama dengan Bank
Indonesia, yang di dalam Pasal 23D tidak ditegaskan namanya, melainkan hanya menyatakan:
“Negara memiliki suatu ‘bank central’ yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggungjawab, dan independensiya, diatur dengan undang-undang”. Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa penentuan nama dan kewenangan bank central itu diatur
oleh UU bukan oleh UUD.
Akan
tetapi, sebaliknya, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
sama-sama disebut namanya dan pembagian kewenangannya dalam Pasal 30 UUD 1945.
Jika dalam pelaksanaannya timbul persengketaan pendapat diantara keduanya,
siapakah yang harus memutus? Jawabannya tidak lain adalah Mahkamah Konstitusi
yang secara juridis dikonstruksikan sebagai lembaga yang paling tahu maksud UUD
menentukan pengaturan tentang pembagian kewenangan di antara keduanya. Meskipun
TNI dan POLRI selama ini tidak dipahami sebagai lembaga “tinggi” negara dalam
pengertian yang lazim, tetapi keduanya bukanlah lembaga di luar Negara, melainkan
adalah “lembaga negara” (state organ) yang kewenangannya ditentukan dalam dan
diberikan oleh UUD.
Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum
Berdasarkan
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum bertujuan untuk memilih presiden
dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Preisden
dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum
itu ada tiga, yaitu (i) pasangan calon presiden/wakil presiden, (ii) partai
politik peserta pemilihan umum anggota DPR dan DPRD, dan (iii) perorangan calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sedangkan penyelenggara pemilihan umum
adalah Komisi Pemilihan Umum yang diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(PANWASLU). Apabila timbul perselisihan pendapat antara peserta pemilihan umum
dengan penyelenggara pemilihan umum, dan perselisihan itu tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh para pihak, maka hal itu dapat diselesaikan melalui
proses peradilan di Mahkamah Konstitusi.
Yang
menjadi persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Konstitusi adalah soal
perselisihan perhitungan perolehan suara pemilihan umum yang telah dtetapkan
dan diumumkan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum, dan selisih perolehan
suara dimaksud berpengaruh terhadap kursi yang diperebutkan. Jika terbukti
bahwa selisih peroleh suara tersebut tidak berpengaruh terhadap peroleh kursi
yang diperebutkan, maka perkara yang dimohonkan akan dinyatakan tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Jika selisih yang dimaksud memang berpengaruh, dan bukti-bukti yang diajukan
kuat dan beralasan, maka permohonan dikabulkan dan perolehan suara yang benar
ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga perolehan kursi yang diperebutkan
akan jatuh ke tangan pemohon yang permohonannya dikabulkan. Sebaliknya, jika permohonan
tidak beralasan atau dalil-dalil yang diajukan tidak terbukti, maka permohonan
pemohon akan ditolak. Ketentuan-ketentuan ini berlaku baik untuk pemilihan
anggota DPR, DPD, DPRD, maupun untuk pasangan capres/cawapres.
Pembubaran
Partai Politik
Kebebeasan
Partai politik dan berpartai adalah cermin kebebasan berserikat yang dijamin
dalam Pasal 28 jo Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Oleh karena itu, setiap orang,
sesuai ketentuan Undang-Undang bebas mendirikan dan ikut serta dalam kegiatan
partai politik. Karena itu, pembubaran partai politik bukan oleh anggota partai
politik yang bersangkutan merupakan tindakan yang bertentangan dengan
konstitusi atau inkonstitusional. Untuk menjamin perlindungan terhadap prinsip
kebebasan berserikat itulah maka disediakan mekanisme bahwa pembubaran suatu
partai politik haruslah ditempuh melalui prosedur peradilan konstitusi. Yang
diberi hak “standing” untuk menjadi pemohon dalam perkara pembubaran partai
politik adalah Pemerintah, bukan orang per orang atau kelompok orang. Yang berwenang memutuskan benar tidaknya
dalil-dalil yang dijadikan alasan tuntutan pembubaran partai politik itu adalah
Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, prinsip kemerdekaan berserikat yang
dijamin dalam UUD tidak dilanggar oleh para penguasa politik yang pada pokoknya
juga adalah orang-orang partai politik lain yang kebetulan memenangkan
pemilihan umum. Dengan mekanisme ini, dapat pula dihindarkan timbulnya gejala
dimana penguasa politik yang memenangkan pemilihan umum memberangus partai
politik yang kalah pemilihan umum dalam rangka persaingan yang tidak sehat
menjelang pemilihan umum tahap berikutnya.
Penuntutan Pertanggungjawaban
Presiden/Wakil Presiden.
Perkara
penuntutan pertanggungjawaban presiden atau wakil presiden dalam istilah resmi UUD
1945 dinyatakan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi untuk memutus pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya.
Atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden tidka lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Pesiden. Dalam
hal ini, harus diingat bahwa Mahkamah Konstitusi bukanlah lembaga yang
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Yang memberhentikan dan
kemudian memilih penggantinya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat. Mahkamah
Konstitusi hanya memutuskan apakah pendapat DPR yang berisi tuduhan (a) bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum, (b) bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, terbukti benar secara konstitusional atau tidak. Jika
terbukti, Mahkamah Konstitusi akan menyatakan bahwa pendapat DPR tersebut
adalah benar dan terbukti, sehingga atas dasar itu, DPR dapat melanjutkan
langkahnya untuk mengajukan usul pemberhentian atas Presiden dan/atau Wakil
Presiden tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Sejauh
menyangkut pembuktian hukum atas unsur kesalahan karena melakukan pelanggaran
hukum atau kenyataan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945, maka putusan Mahkamah
Konstitusi itu bersifat final dan mengikat. DPR dan MPR tidak berwenang
mengubah putusan final MK dan terikat pula untuk menghormati dan mengakui
keabsahan putusan MK tersebut. Namun, kewenangan untuk meneruskan tuntutan
pemberhentian ke MPR tetap ada di tangan DPR, dan kewenangan untuk
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bersangkutan tetap berada
di tangan MPR. Inilah yang banyak dipersoalkan orang karena ada saja
kemungkinan bahwa MPR ataupun MPR tidak meneruskan proses pemberhentian itu
sebagaimana mestinya, mengingat baik DPR maupun MPR merupakan forum politik
yang dapat bersifat dinamis. Akan tetapi, sejauh menyangkut putusan MK,
kedudukannya sangat jelas bahwa putusan MK itu secara hukum bersifat final dan
mengikat dalam konteks kewenangan MK itu sendiri, yaitu memutus pendapat DPR
sebagai pendapat yang mempunyai dasar konstitusional atau tidak, dan berkenaan
dengan pembuktian kesalahan Presiden/Wakil Presiden sebagai pihak termohon,
yaitu benar-tidaknya yang bersangkutan terbukti bersalah dan bertanggungjawab.
Pengujian Undang-Undang
dan Pemisahan MK dan MA
Kewenangan
terakhir dan yang justru yang paling penting dari keempat kewenangan ditambah
satu kewajiban (atau dapat pula disebut kelima kewenangan) yang dimiliki oleh
Mahkamah Konstitusi menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
kewenangan menguji konstitusionalitas undang-undang. Tanpa harus mengecilkan
arti pentingnya kewenangan lain dan apalagi tidak cukup ruang untuk membahasnya
dalam makalah singkat ini, maka dari kelima kewenangan tersebut, yang dapat
dikatakan paling banyak mendapat sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah
pengujian atas konstitusionalitas UU. Pengujian atas Undang-Undang dilakukan
dengan tolok ukur Undang-Undang Dasar. Pengujian dapat dilakukan secara
materiel atau formil. Pengujian materiel menyangkut pengujian atas materi UU,
sehingga yang dipersoalkan harus jelas bagian mana dari UU yang bersangkutan
bertentangan dengan ketentuan mana dari UUD. Yang diuji dapat terdiri hanya 1
bab, 1 pasal, 1 kalimat atau pun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. Sedangkan
pengujian formil adalah pengujian mengenai proses pembentukan UU tersebut
menjadi UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku atau tidak.
Sejarah pengujian (judicial review) dapat dikatakan dimulai
sejak kasus Marbury versus Madison
ketika Mahkamah Agung Amerika Serikat dipimpin oleh John Marshall pada tahun
1803. Sejak itu, ide pengujian UU menjadi populer dan secara luas didiskusikan
dimana-mana. Ide ini
juga mempengaruhi sehingga ‘the fouding
fathers’ Indonesia
dalam Sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945 mendikusikannya secara mendalam.
Adalah Muhammad Yamin yang pertama sekali mengusulkan agar MA diberi kewenangan
untuk “… membanding undang-undang…”, demikian istilah Muhammad Yakim ketika itu.
Akan tetapi, ide ini ditolak oleh Soepomo karena dinilai tidak sesuai dengan
paradigma yang telah disepekati dalam rangka penyusunan UUD 1945, yaitu bahwa
UUD Indonesia itu menganut sistem supremasi MPR dan tidak menganut ajaran ‘trias politica’ Montesquieu, sehingga
tidak memungkinkan ide pengujian UU dapat diadopsikan ke dalam UUD 1945.
Namun, sekarang, setelah UUD
1945 mengalami perubahan 4 kali, paradigma pemikiran yang terkandung di
dalamnya jelas sudah berubah secara mendasar. Sekarang, UUD 1945 tidak lagi
mengenal prinsip supremasi parlemen seperti sebelumnya. Jika sebelumnya MPR
dianggap sebagai pelaku kedaulatan rakyat sepenuhnya dan sebagai penjelmaan
seluruh rakyat yang mempunyai kedudukan tertinggi dan dengan kekuasaan yang
tidak terbatas, maka sekarang – setelah Perubahan Keempat UUD 1945 MPR itu
bukan lagi lembaga satu-satunya sebagai pelaku kedaulatan rakyat. Karena
Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka di
samping MPR, DPR dan DPD sebagai pelaku kedaulatan rakyat di bidang legislatif,
kita harus pula memahami kedudukan Presiden dan Wakil Presiden juga sebagai
pelaku kedaulatan rakyat di bidang eksekutif dengan mendapatkan mandat langsung
dari rakyat melalui pemilihan umum. Di samping itu, karena sejak Perubahan
Pertama sampai Keempat, telah terjadi proses pergeseran kekuasaan legislatif
dari tangan Presiden ke tangan DPR, maka mau tidak mau kita harus memahami
bahwa UUD 1945 sekarang menganut prinsip pemisahan kekuasaan yang tegas antara
cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan judiktif dengan mengandaikan
adanya hubungan ‘checks and balances’ antara
satu sama lain. Oleh karena itu, semua argumen yang dipakai oleh Soepomo untuk
menolak ide pengujian undang-undang seperti tergambar di atas, dewasa ini,
telah mengalami perubahan, sehingga fungsi pengujian undang-undang itu tidak
dapat lagi dihindari dari penerapannya dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di
bawah UUD 1945.
Bahkan,
seperti juga terjadi di semua negara-negara lain yang sebelumnya menganut
sistem supremasi parlemen dan kemudian berubah menjadi negara demokrasi, fungsi
pengujian undang-undang ditambah fungsi-fungsi penting lainnya itu selalu
dilembagakan ke dalam fungsi lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri
di luar organ Mahkamah Agung. Kecenderungan seperti dapat dilihat di semua
negara eks komunis yang sebelumnya menganut prinsip supremasi parlemen lalu
kemudian berubah menjadi demokrasi, selalu membentuk Mahkamah Konstitusi yang
berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung. Tentu ada juga model-model kelembagaan
Mahkamah Konstitusi yang berbeda dari satu negara ke negara lain. Ada negara yang mengikuti
model Venezuella dimana Mahkamah Konstitusinya berada dalam lingkungan Mahkamah
Agung, ada pula negara yang tidak membentuk lembaga yang tersendiri, melainkan
menganggapnya cukup mengaitkan fungsi mahkamah ini sebagai salah satu tambahan
fungsi Mahkamah Agung yang sudah ada. Amerika Serikat dan semua negara yang
dipengaruhinya menganut pandangan seperti ini. Akan tetapi, sampai sekarang, di
seluruh dunia terdapat 78 negara yang melembagakan bentuk organ konstitusi ini
sebagai lembaga tersendiri di luar Mahkamah Agung. Negara pertama yang tercatat
mempelopori pembentukan lembaga baru ini adalah Austria pada tahun 1920, dan
terakhir adalah Thailand pada tahun 1998 untuk selanjutnya Indonesia menjadi
negara ke-78 yang membentuk lembaga baru ini berdiri sendiri di luar Mahkamah
Agung. Namun di antara ke-78 negara itu, tidak semua menyebutnya Mahkamah
Konstitusi. Negara-negara yang dipengaruhi oleh Perancis menyebutnya Dewan
Konstitusi (Counseil Constitutionnel)
atau Belgia yang menyebutnya Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage). Orang Perancis cenderung menyebutnya
demikian, karena lembaga ini tidak dianggap sebagai pengadilan dalam arti yang
lazim. Karena itu, para anggotanya juga tidak disebut hakim. Terlepas dari
perbedaan ini, yang jelas di ke-78 negara itu, Mahkamah Konstitusi itu
dilembagakan tersendiri di luar Mahkamah Agung.
Mengapa keduanya
dinilai perlu dipisahkan? Karena pada hakikatnya, keduanya memang berbeda. MA
lebih merupakan pengadilan keadilan (court
of justice), sedangkan MK lebih berkenaan dengan lembaga pengadilan hukum (court of law). Memang tidak dapat
dibedakan seratus persen dan mutlak sebagai ‘court
of justice’ versus ‘court of law’
yang usulan yang saya sendiri sering lontarkan sebelumnya. Semula, formula yang
saya usulkan adalah seluruh kegiatan ‘judicial
review’ diserahkan kepada MK, sehingga MA dapat berkonsentrasi menangani
perkara-perkara yang diharapkan dapat mewujudkan rasa adil bagi setiap
warganegara. Akan tetapi, nyatanya UUD 1945 tetap memberikan kewenangan
pengujian terhadap peraturan di bawah UU kepada MA. Di pihak lain, MK juga
diberi tugas dan kewajiban memutus dan
membuktikan unsur kesalahan dan tanggungjawab pidana Presiden dan/atau Wakil
Presiden yang menurut pendapat DPR telah melakukan pelanggaran hukum menurut
UUD. Dengan kata lain, MA tetap diberi kewenangan sebagai ‘court of law’ di samping fungsinya sebagai ‘court of justice’. Sedangkan MK tetap diberi tugas yang berkenaan
dengan fungsinya sebagai ‘court of
justice’ di samping fungsi utamanya sebagai ‘court of law’. Artinya, meskipun keduanya tidak dapat dibedakan
secara seratus persen antara ‘court of
law’ dan ‘court of justice’,
tetapi pada hakikatnya penekanan fungsi hakiki keduanya memang berbeda satu
sama lain. MA lebih merupakan ‘court of
justice’ daripada ‘court of law’.
Sedangkan MK lebih merupakan ‘court of
law’ daripada ‘court of justice’.
Keduanya sama-sama merupakan pelaku kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Pasal
24 ayat (2) UUD 1945. Demikianlah beberapa catatan ringkas berkenaan dengan
Mahkamah Konstitusi itu dalam sistem ketatanegaraan dan dalam sistem kekuasaan
kehakiman Republik Indonesia
yang baru berdasarkan UUD 1945 pasca Perubahan Keempat.