PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS)
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan
yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat
Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem
organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka
mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional.
Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya
terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang
bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda,
yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri
sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site
management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Istilah-istilah tersebut memang mempunyai
pengertian dengan penekanan yang sedikit berbeda. Namun, nama-nama tersebut
memiliki roh yang sama, yakni sekolah diharapkan dapat menjadi lebih otonom
dalam pelaksanaan manajemen sekolahnya, khususnya dalam penggunakaan 3M-nya,
yakni man, money, dan material.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini
diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS
sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan rosedur
kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi
individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat
mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan
tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis
tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah
bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah
dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada
masyarakat, sekolah adlah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota2
masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling
berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah
ada karena masyarakat memerlukannya.
B. Rumusan Masalah :
Adapun beberapa masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini adalah :
1) Apa yang dimaksud dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
2) Bagaimana penerapan manajemen berbasis
sekolah (MBS)?
- Tujuan dan Manfaat Penulisan
Karya tulis ini bertujuan :
1) Untuk mengetahui Manajemen berbasis
sekolah (MBS)?
2) Untuk mengetahui penerapan Manajemen
berbasis sekolah (MBS)?
Karya tulis ini diharapkan :
1) Sebagai solusi alternatif dalam mengolola
dan memanejemen pendidikan di sekolah
2) Menambah wawasan penulis pembaca makalah
ini dalam memahami contoh dari perubahan dan inovasi pendidikan dalam aspek
manejemen dan pengololaan pendidikan khususnya di sekolah.
II.
PEMBAHASAN
A. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
1) Pengertian Manajemen Berbasis Sekolah
(MBS)
Istilah manajemen berbasis sekolah merupakan
terjemahan dari “school-based management”. MBS merupakan paradigma baru
pendidikan, yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah ( pelibatan
masyarakat ) dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional.
Menurut Edmond yang dikutip Suryosubroto merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Nurcholis mengatakan Manajemen berbasis sekolah
(MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil dari desentralisasi
pendidikan.
Secara umum, manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah (MPMBS) dapat diartikan sebagai
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala
sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu
sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Lebih lanjut istilah manajemen sekolah acapkali
disandingkan dengan istilah administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu,
terdapat tiga pandangan berbeda; pertama, mengartikan administrasi lebih luas
dari pada manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi); kedua,
melihat manajemen lebih luas dari pada administrasi (administrasi merupakan
inti dari manajemen); dan ketiga yang menganggap bahwa manajemen identik dengan
administrasi.
Dalam hal ini, istilah manajemen diartikan sama
dengan istilah administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk
mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material, secara efektif dan
efisien guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di sekolah secara optimal. Pengertian manajemen
menurut Hasibuan merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber
daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efisien untuk
mencapai tujuan tertentu. Definisi manajemen tersebut menjelaskan pada kita
bahwa untuk mencapai tujuan tertentu, maka kita tidak bergerak sendiri, tetapi membutuhkan orang lain untuk bekerja
sama dengan baik.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan
administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu: merencanakan (planning), mengorganisasikan
(organizing), mengarahkan (directing), mengkoordinasikan (coordinating), mengawasi
(controlling), dan mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen
pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik,
sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
2) Tujuan MBS
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam megelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia;
b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan
bersama;
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada
orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya; dan
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar
sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Kewenangan yang bertumpu pada sekolah merupakan
inti dari MBS yang dipandang memiliki tingkat efektivitas tinggi serta
memberikan beberapa keuntungan berikut:
a. Kebijaksanaan dan kewenangan sekolah
membawa pengaruh langsung kepada peserta didik, orang tua, dan guru.
b. Bertujuan bagaimana memanfaatkan sumber
daya lokal.
c. Efektif dalam melakukan pembinaan peserta
didik seperti kehadiran, hasil belajar, tingkat pengulangan, tingkat putus
sekolah, moral guru, dan iklim sekolah.
d. Adanya perhatian bersama untuk
mengambil keputusan, memberdayakan guru, manajemen sekolah, rancangan ulang
sekolah, dan perubahan perencanaan.
3) Manfaat MBS
MBS memberikan
beberapa manfaat diantaranya
a. Dengan kondisi setempat,
sekolah dapat meningkatkan kesejahteraan guru sehingga dapat lebih
berkonsentrasi pada tugasnya;
b. Keleluasaan dalam mengelola
sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong
profesionalisme kepala sekolah, dalam peranannya sebagai manajer maupun
pemimpin sekolah;
c. Guru didorong untuk
berinovasi;
d. Rasa tanggap sekolah terhadap
kebutuhan setempat meningkat dan menjamin layanan pendidikan sesuai dengan
tuntutan masyarakat sekolah dan peserta didik.
B.
Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan
dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen
berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di Amerika
Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988
American Association of School Administrators, National Association of
Elementary School Principals, and National Association of Secondary School
Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy
for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau
kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan
kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya
dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap
dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan. Akibatnya, peran
utama mereka sebagai pemimpin pendidikan semakin dikerdilkan dengan rutinitas
urusan birokrasi yang menumpulkan kreativitas berinovasi.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini
muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma
baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan
tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik
pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak
kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan
tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat
pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima
apa adanya.
Apa saja muatan kurikulum pendidikan di sekolah
adalah urusan pusat, kepala sekolah dan guru harus melaksanakannya sesuai
dengan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Anggaran pendidikan
mengalir dari pusat ke daerah menelusuri saluran birokrasi dengan begitu banyak
simpul yang masing-masing menginginkan bagian. Tidak heran jika nilai akhir
yang diterima di tingkat paling operasional telah menyusut lebih dari
separuhnya.
Kita khawatir, jangan-jangan selama ini lebih dari
separuh dana pendidikan sebenarnya dipakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak
atau kurang berurusan dengan proses pembelajaran di level yang paling
operasional, sekolah.
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang
memunculkan berbagai isu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam
pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi
keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu
memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan
yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah
desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah
untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah
dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan,
kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara
ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika
perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan
hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian
memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara.
Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk
mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dilembagakan di
tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah
mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau
Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan
Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu
dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak
dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen
berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari
Negara APEC di Chili pada April 2004. APEC (Asia Pacific Economic Cooperation)
merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi
dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola
merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada
desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis
sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga
menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas.
Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara,
yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak
bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk
tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep
yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti
berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan
praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen
berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan
tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang
ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara. Satu
implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas
membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan
mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat
yang berlaku di seluruh sekolah.
Sejak awal, pemerintah (pusat dan daerah) haruslah
suportif atas gagasan MBS. Mereka harus mempercayai kepala sekolah dan dewan
sekolah untuk menentukan cara mencapai sasaran pendidikan di masing-masing
sekolah. Penting artinya memiliki kesepakatan tertulis yang memuat secara rinci
peran dan tanggung jawab dewan pendidikan daerah, dinas pendidikan daerah,
kepala sekolah, dan dewan sekolah. Kesepakatan itu harus dengan jelas
menyatakan standar yang akan dipakai sebagai dasar penilaian akuntabilitas
sekolah. Setiap sekolah perlu menyusun laporan kinerja tahunan yang mencakup
“seberapa baik kinerja sekolah dalam upayanya mencapai tujuan dan sasaran,
bagaimana sekolah menggunakan sumber dayanya, dan apa rencana selanjutnya.”
Perlu diadakan pelatihan dalam bidang-bidang
seperti dinamika kelompok, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan,
penanganan konflik, teknik presentasi, manajemen stress, serta komunikasi
antarpribadi dalam kelompok. Pelatihan ini ditujukan bagi semua pihak yang
terlibat di sekolah dan anggota masyarakat, khususnya pada tahap awal penerapan
MBS. Untuk memenuhi tantangan pekerjaan, kepala sekolah kemungkinan besar
memerlukan tambahan pelatihan kepemimpinan. Dengan kata lain, penerapan MBS
mensyaratkan yang berikut :
1.
MBS
harus mendapat dukungan staf sekolah.
2.
MBS
lebih mungkin berhasil jika diterapkan secara bertahap.
3.
Staf
sekolah dan kantor dinas harus memperoleh pelatihan penerapannya, pada saat
yang sama juga harus belajar menyesuaikan diri dengan peran dan saluran
komunikasi yang baru.
4.
Harus
disediakan dukungan anggaran untuk pelatihan dan penyediaan waktu bagi staf
untuk bertemu secara teratur.
5.
Pemerintah
pusat dan daerah harus mendelegasikan wewenang kepada kepala sekolah, dan
kepala sekolah selanjutnya berbagi kewenangan ini dengan para guru dan orang
tua murid.
Beberapa hambatan yang mungkin dihadapi pihak-pihak
berkepentingan dalam penerapan MBS adalah sebagai berikut :
1.
Tidak
Berminat Untuk Terlibat
Sebagian orang tidak menginginkan kerja tambahan
selain pekerjaan yang sekarang mereka lakukan. Mereka tidak berminat untuk ikut
serta dalam kegiatan yang menurut mereka hanya menambah beban. Anggota dewan
sekolah harus lebih banyak menggunakan waktunya dalam hal-hal yang menyangkut
perencanaan dan anggaran. Akibatnya kepala sekolah dan guru tidak memiliki
banyak waktu lagi yang tersisa untuk memikirkan aspek-aspek lain dari pekerjaan
mereka. Tidak semua guru akan berminat dalam proses penyusunan anggaran atau
tidak ingin menyediakan waktunya untuk urusan itu.
2.
Tidak
Efisien
Pengambilan keputusan yang dilakukan secara partisipatif adakalanya
menimbulkan frustrasi dan seringkali lebih lamban dibandingkan dengan cara-cara
yang otokratis. Para anggota dewan sekolah harus dapat bekerja sama dan
memusatkan perhatian pada tugas, bukan pada hal-hal lain di luar itu.
3.
Pikiran
Kelompok
Setelah beberapa saat bersama, para anggota dewan
sekolah kemungkinan besar akan semakin kohesif. Di satu sisi hal ini berdampak
positif karena mereka akan saling mendukung satu sama lain. Di sisi lain,
kohesivitas itu menyebabkan anggota terlalu kompromis hanya karena tidak merasa
enak berlainan pendapat dengan anggota lainnya. Pada saat inilah dewan sekolah
mulai terjangkit “pikiran kelompok.” Ini berbahaya karena keputusan yang
diambil kemungkinan besar tidak lagi realistis.
4.
Memerlukan
Pelatihan
Pihak-pihak yang berkepentingan kemungkinan besar
sama sekali tidak atau belum berpengalaman menerapkan model yang rumit dan
partisipatif ini. Mereka kemungkinan besar tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan tentang hakikat MBS sebenarnya dan bagaimana cara kerjanya,
pengambilan keputusan, komunikasi, dan sebagainya.
5.
Kebingungan
Atas Peran dan Tanggung Jawab Baru
Pihak-pihak yang terlibat kemungkinan besar telah
sangat terkondisi dengan iklim kerja yang selama ini mereka geluti. Penerapan
MBS mengubah peran dan tanggung jawab pihak-pihak yang berkepentingan.
Perubahan yang mendadak kemungkinan besar akan menimbulkan kejutan dan
kebingungan sehingga mereka ragu untuk memikul tanggung jawab pengambilan
keputusan.
6.
Kesulitan
Koordinasi
Setiap penerapan model yang rumit dan mencakup
kegiatan yang beragam mengharuskan adanya koordinasi yang efektif dan efisien.
Tanpa itu, kegiatan yang beragam akan berjalan sendiri ke tujuannya
masing-masing yang kemungkinan besar sama sekali menjauh dari tujuan sekolah.
Apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah
dilibatkan sejak awal, mereka dapat memastikan bahwa setiap hambatan telah
ditangani sebelum penerapan MBS. Dua unsur penting adalah pelatihan yang cukup
tentang MBS dan klarifikasi peran dan tanggung jawab serta hasil yang
diharapkan kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, semua yang
terlibat harus memahami apa saja tanggung jawab pengambilan keputusan yang
dapat dibagi, oleh siapa, dan pada level mana dalam organisasi.
Anggota masyarakat sekolah harus menyadari bahwa
adakalanya harapan yang dibebankan kepada sekolah terlalu tinggi. Pengalaman
penerapannya di tempat lain menunjukkan bahwa daerah yang paling berhasil
menerapkan MBS telah memfokuskan harapan mereka pada dua maslahat: meningkatkan
keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan menghasilkan keputusan lebih baik.
C.
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Penerapan MBS
Konsep MBS merupakan kebijakan baru yang sejalan
dengan paradigma desentraliasi dalam pemerintahan. Strategi apa yang diharapkan
agar penerapan MBS dapat benar-benar meningkatkan mutu pendidikan. Salah satu
strategi adalah menciptakan prakondisi yang kondusif untuk dapat menerapkan
MBS, yakni :
1. Peningkatan kapasitas dan komitmen seluruh
warga sekolah, termasuk masyarakat dan orangtua siswa. Upaya untuk memperkuat
peran kepala sekolah harus menjadi kebijakan yang mengiringi penerapan
kebijakan MBS. ”An essential point is that schools and teachers will need
capacity building if school-based management is to work”. Demikian De grouwe
menegaskan.
2. Membangun budaya sekolah (school culture)
yang demokratis, transparan, dan akuntabel. Termasuk membiasakan sekolah untuk
membuat laporan pertanggungjawaban kepada masyarakat. Model memajangkan RAPBS
di papan pengumuman sekolah yang dilakukan oleh Managing Basic Education (MBE)
merupakan tahap awal yang sangat positif. Juga membuat laporan secara
insidental berupa booklet, leaflet, atau poster tentang rencana kegiatan
sekolah. Alangkah serasinya jika kepala sekolah dan ketua Komite Sekolah dapat
tampil bersama dalam media tersebut.
3. Pemerintah pusat lebih memainkan peran
monitoring dan evaluasi. Dengan kata lain, pemerintah pusat dan pemerintah
daerah perlu melakukan kegiatan bersama dalam rangka monitoring dan evaluasi
pelaksanaan MBS di sekolah, termasuk pelaksanaan block grant yang diterima
sekolah.
4. Mengembangkan model program pemberdayaan
sekolah. Bukan hanya sekedar melakukan pelatihan MBS, yang lebih banyak
dipenuhi dengan pemberian informasi kepada sekolah. Model pemberdayaan sekolah
berupa pendampingan atau fasilitasi dinilai lebih memberikan hasil yang lebih
nyata dibandingkan dengan pola-pola lama berupa penataran MBS.
Kepemimpinan
kepala sekolah yang efektif dalam MBS dapat dilihat berdasarkan kriteria
berikut:
1. Mampu memberdayakan guru-guru
untuk melaksanakan proses pembelajaran dengan baik, lancar, dan produktif.
2. Dapat menyelesaikan tugas dan
pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
3. Mampu menjalin hubungan yang
harmonis dengan masyarakat sehingga dapat melibatkan mereka secara aktif dalam
rangka mewujudkan tujuan sekolah dan pendidikan.
4. Berhasil menerapkan prinsip
kepemimpinan yang sesuai dengan tingkat kedewasaan guru dan pegawai lain
disekolah.
5. Bekerja dengan tim manajemen
6. Berhasil mewujudkan tujuan
sekolah secara produktif sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
III.
KESIMPULAN
Satu cara yang berguna dalam menyimpulkan adalah
melihat tantangan sebagai satu cara menciptakan suatu jenis sistem pendidikan
baru yang sesuai abad ke-21. Kita membutuhkan sistem-sistem baru yang
terus-menerus mampu merekonfigurasi kembali dirinya untuk menciptakan sumber
nilai publik baru. Ini berarti secara interaktif menghubungkan lapisan-lapisan
dan fungsi tata kelola yang berbeda, bukan mencari cetak biru (blueprint)
yang statis yang membatasi berat relatifnya.
Pertanyaan mendasar bukannya bagaimana kita secara
tepat dapat mencapai keseimbangan yang tepat antara lapisan-lapisan pusat,
regional, dan lokal atau antara sektor-sektor berbeda: publik, swasta, dan
sukarela. Justeru, kita perlu bertanya Bagaimana suatu sistem secara
keseluruhan menjadi lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya?.
Secara sederhana dikatakan, manajemen berbasis
sekolah bukanlah “senjata ampuh” yang akan menghantar pada harapan reformasi
sekolah. Bila diimplementasikan dengan kondisi yg benar, ia menjadi satu dari
sekian strategi yang diterapkan dalam pembaharuan terus-menerus dengan strategi
yang melibatkan pemerintah, penyelenggara, dewan manajemen sekolah dalam satu
sistem sekolah.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas, 2001. Konsep dan Pelaksanaan dalam Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah.
Jakarta: Dikmenum.
Depdiknas, 2001. Panduan Monitoring
dan Evaluasi dalam Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta:
Dikmenum.
Hasibuan, Malayu. 2003. Manajemen
Dasar, Pengertian dan Masalah. Jakarta: Bumi Aksara.
Mansoer, Hamdan. 1989. Pengantar
Manajemen. Jakarta: P2LPTK.
Mulyasa, E. 2002. Manajemen
Berbasis Sekolah Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Suprihatin dkk, 2004. Manajemen
Sekolah. Semarang: UPT UNNES Press.
Nurkolis, 2003. Manajemen Berbasis sekolah Teori, Model
dan Aplikasi. Jakarta: Grasindo.