PEMANTAPAN PEMAHAMAN GEOGRAFI PERANAN MARGINAL MENUJU KARDINAL


PEMANTAPAN PEMAHAMAN GEOGRAFI

PERANAN MARGINAL MENUJU KARDINAL



ABSTRAK
Makalah ini betujuan untuk member masukkan kepada geografiawan. Dalam rangka untuk memantapkan peranannya di dalam dunia ilmu pengetahuan teoritikal maupun pembangunan praktikal. Kecenderungan terjadinya marginalisasi Geografi telah disinyalir dalam waktu yang lama dan sampai saat ini hal tersebut masih saja terjadi sehingga mengakibatkan “adverse negative impact” yang tidak dikehendaki baik dalam perkembangan keilmuwannya Maupin peranan Geografiawan dalam pembangunan. Untuk maksud mencapai “reempowerment”, makalah ini melontarkan ide-ide praktis untuk menuju kardinalisasi geografi. Fitrah geografi dengan tiga pendekatan utama (spatial, ecological, regional complex approach) merupakan sasaran akhir yang seyogyanya dijiwai oleh setiap geografiawan sehingga “scientific dignity” tidak redup tetapi menjadi bercahaya kembali. Hal ini bukan berarti menutup diri dari perkembangan ilmu pengetahuan, namun setiap adopsi pendekatan dari ilmu lain harus selalu didasarkan padajati diri geografi itu sendiri.

PENDAHULUAN
Geografi merupakan ilmu yang sangat istimewa, karena sifatnya multi-variate dimana beberapa bidang kajian yang berbeda-beda dipelajari dan membentuk satu kesatuan ilmu yang solid. Sifat inilah yang menguntungkan mereka yang mempelajari geografi karena bidang kajian ini bersifat poly entry yang menguntungkan bagi mereka yang mempelajarinya karena memberikan peluang lebih banyak bagi mahasiswa geografi untuk memperoleh pekerjaan. Lain halnya dengan ilmu-ilmu lain yang kebanyakan bersifat mono entry sehingga untuk memasuki bidang pekerjaan tertentu harus sejalan dan terbatas dengan bidang  yang secara khusus dipelajarinya. Sebagai contoh bidang kajian lain, maka bidang-bidang pekerjaan yang belum berhubungan dengan pengkhusussan saja yang menjadi wadahnya dan masih banyak contoh yang lain.
Disamping ini, sifat multi-variate ini merupakan kekuatan bidang jaian geografi, namun sifat ini pula yang dapat menjadi titik kelemahan utama bidang kajian geografi apabila tidak mengetahui cara-cara atau kiat-kiat mengatasinya. Pada saat ini tidak banyak lulusan geografi yang yang mempunyai posisi kardinal dalam berbagai program pembangunan dan  hanya berperan marginal saja. Penyebab utama adalah tidak memahami sepenuhnya kajian geografi dengan benar sehingga dalam berbagai kegiatan pembangunan tidak mampu berbicara atau berbuat banyak karena kurang penguasaaan ilmunya. Sifat multi-variate ini terkadang menjerumuskan seseorang menjadi enguasai semua, atau merasa tidak menguasai  semua. Kedua macam presepsi ini sama-sama tidak menguntungkan. Sifat merasa menguasai semua ilmu pengetahuan adalah sangat keliru, karena tidak ada satu orangpun di dunia yang akan mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan. Sifat tidak merasa tidak menguasai semua bidang kajian pendukung dalam geografi juga tidak benar, karena mengakibatkan seseorang merasa rendah diri dan merasa tidak mampu sehingga tidak banyak yang diperbuat dalam penyumbangkan ilmunya.
Dalam cerita pewayangan ada sebuah cerita menarik untuk dikemukakan disini karena mempunyai alur cerita yang hamper mirip dengan kondisi tersebut. Ada seorang tokohynag dikenal dengan Arya Sangkuni. Dia maha patih kerajaan Astina yang sudah tua, lemah, namun penuh trik-trik politik. Pada saat perang Bharatayudha hampir purna, dia maju ke medan perang sendirian melawan tentara Pandhawa dan dia baru tahu kalau dirinya sangat sakti, tidak mempan semua senjata yang ada dan semua prajurit dapat dikalahkan. Tokoh ini sangat menyesal mengapa tidak semenjak dahulu dia sadar akan kesaktian dirinya, sehingga tidak dapat memanfaatkannya untuk kemajuan kehidupannya. Suatu kesadaran yang terlambat mengenali kemampuan diri, sehingga tidak banyak yang dipetik dari adanya keunggulan yang dipunyai. Paper ini bertujuan untuk menyadarkan para Geografiawan untuk mengenali kesaktian dirinya sehingga mampu berkiprah lebih banyak dan lebih mantap dalam setiap kemajuan berbasis wilayah di negeri ini.

DARI MARGINAL MENUJU KARDINAL
            Berbagai pengalaman menunjukkan bahwa ada kecenderungan marginalisasi Geografi dalam berbagai bidang, baik  bidang pendidikan maupun pembangunan berbasis wilayah. Beberapa sarjana telah mensinyalir, bahwa ada dua penyebab terjadinya marginalisasi Geografi, yaitu yang pertama karena adanya kecenderungan spesialisasi yang makin tajam, setra yang kedua adanya adopsi berbagai bidang kajian lain yang tidak berbasis wilayah kedalam ilmu Geografi. Keduanyamengakibatkan menjauhnya para geografiawan dari sifat hakiki Geografi sebagai ilmu yang mempunyai cirri khusus.
            pendekatan ilmu-ilmu lain telah memunculkan berbagai kajian yang melabelkan dirinya sebagai pendekatan geografi dan tidak jarang para geografiawan telah masuk terlalu jauh telah masuk jauh ke domain bidang kajian lain, sehingga analisis geografionya menjadi kabur dan demikian pula analisis dalam bidang kajian lain juga kabur. Akibat nyata yang timbul adalah tidakmantapnya seseorang menguasai ilmu geografi dan apalagi ilmu lain karena dasar-dasar pengetahuan yang mendasari iklmu lain tersebut tidak pernah diperoleh dalam kajian geografi. Dari sinilah kemudian muncul marginalisasi ilmu geografi itu sendiri, karena scientific dignity menjadi kabur dan mereka menganut atau terjebak dalam arus keilmuan ini tidak mampu berperan setral dalam setiap kegiatan pembangunan maupun keilmuan. Untuk masuk ke domain ilmu lain jelas kalah oleh bidang kajian lain itu sendiri, karena ilmu-ilmu dasar pendukungnya tidak dikuasainya, dan apabila masuk kembali ke bidang geografi telah lupa akan jati dirinya.
            Pada pertengahan abad 20 telah terjadi revolusi kuantitatif yang sangat hebat dan pengaruhnya dalam bidang ilmu pengetahuan sungguh luar biasa. Dalam bidang geografi, berbagai teknik analisis kuantitatif telah mendominasi kajian geografi, sehingga seolah-olah setiap kajian geografi yang tidak menggunakan analisi kuantitatif dianggap tidak ilmiah atau mempunyai kualifikasi  keilmuan yang rendah. Kecenderungan spesialisasi sangat marak terjadi, khusunya analisis keruanganan dengan berbagai teknik analisis keruangan dengan berbagai teknik analisis kuantitatif yang canggih, walaupun akhirnya disadari bahwa teknik kuantitatif tersebut ternyata tidak memuaskandalam menjawab permasalahan geografi yang muncul, sehingga teknik analisi kuantitatif tetap diperlukan sebagai bagian yang komplementer dari analisis kuantitatif.
            Boulding(1968)dalam artikelnya yang berjudul The General System Theory The Skeleton of Science telah mengemukakan bahwa spesialisasi yang berlebihan atau kebablasan akan mengakibatkan sulitnya komunikasi ilmiah antar sub-disiplin itu sendiri, sehingga akan kehilangan kesatuan makna ilmu yang utuh. Dalam tulisannya sarjana ini mengungkapkan dengan sangat tajam sebagai berikut:
            ………Specialization has made communication among disciplines and among sub-disciplines increasingly difficult, causing isolated sub-cultures with only tenuous lines of communication between them. In the source specialization, not only the domain of science but the the receptors of information, the scientist, become specialized. The more that science breaks into sub-groups, and the less the amount of cross communication that take place, the more likely that the growth of knowledge is being inhibited. “Specialized deafness” is the result.
            Pada akhirnya ungkapan dikemukakan bahwa hasil yang terjadi adalah specialized deafness atau ketulian spesialisasi, karena masing-masing spesialisasi hanya memikirkan bidang kajiannya sendiri-sendiri dan tidak mau mendengarkan spesialisasi yang lain walaupun berada dalam batang ilmu pengetahuan yang sama. Hal ini tidak hanya terjadi pada bidang geografi saja namun juga mewarnai bidang kajian yang lain. Selanjutnya, sinyalemen yang menyangkut baidang kajian geografi telah diungkapkan oleh beberapa sarjana, beberapa decade yang lalu, diantaranya adalah Fisher (1970) dan Coffey (1981).
Fisher (1980) mengemukakan kekhawatiran terhadap kecenderungan spesialisasi yang makin menjauh dari fitrah geografi sehingga scientific dignity geografi menjadi hilang.
            ………geography is in serious danger…of over extending its periphery at the expense of neglecting its base………
 Makin dalamnya spesialisasi dikhawatirkan akan makin melemahnya hubungan intelektual masing-masing spesialisasi sehingga warna geografinya semakin tidak kentara. Demikian pula Coffey (1981) mengemukakan hal senada:
………within with a fragment discipline, one lacking distinguishable conceptual framework, there may  that be danger individual sub- field will become isolated from one another and will maintain little intellectual intercourse…….
            Makin mendalamnya spesialisasi akan makin menjauhkan keterkaitan kelmuan antara satu bidang spesialisasi dengan yang lain, sehingga scientific dignity geografi juga akan terlupakan dan di sinilah awal malapetaka itu yang tidak lain adalah marginalisasi geografi. Apabila hal ini tidak segera disadari oleh geografiawan dalam pembangunan akan terus berlanjut. Permasalahan besar yang menjadi tantangan geografiawan masa kini adalah mengubah kecenderungan negative (marginalisasi geografi)  ini mejadi kecenderungan positif (kardinalisasi geografi) dalam artian kembali ke jati diri geografi ityu sendiri atau kembali ke fitrah geografi, sehingga scientific dignity geografi menjadi jelas dan peranan geografiawan maupun ilmu geografi tidak lahgi marginal maupun menjadi sentral dan cardinal. Penulis sangat setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Brian Goodall (1987) mengemukakan bahwa apapun pengayaan keilmuan (scientific enriching) yang diadopsi dan apapun spesialisasi keilmuwan (scientific specializing) yanhg dilakukan, kajian Geografi Manusia sebagaimana kajian Geografi pada umumnya harus selalu mengacu pada tiga temu utama studi geografi yang dikenal, yaitu (1) penekanan pada pendekatan keruanganan dengan mengangkat ruang sebagai variable; (2) penekanan pada inter-relasi antara hubungan manusia dengan lingkungannya dan (3) penekanan pada sintesis antara pendekatan spasial dan pendekatan ecological. Secara specific Goodall (1987)mengemukakan sebagai berikut:
…..Like Geography as a whole, human geography covers three related themes: (1) spatial analysis – the recording and description of human phenomena around the earth’s surface, with special attention to the significance of spaces of variable; (2) the  study of the relationships between human beings and their environment, both natural and socio-economic; (3) a regional synthesis which combines  the first two themes in specified localities.
            Ternyata pendapat Goodal (1987) tersebut merupakan konfirmasi dari apa yang pernah dikemukakan oleh Hagget (1873) mengenai tiga pendakatan utama geografi yang disimpulkan melalui proses elaborasipanjanng dan mendalam. Baik Geografi Manusiamaupun cabang-cabang geografi yang lain hendaknya mengacu pada tiga pendekatan ini dalam setiap analisisnya apabila tidak mau terjebak pada perangkap marginalisasi keilmuannya.
emantapan jati diri geografi hanya dapat dilakukan dengan memantapkan pemahaman ketiga pendekatan ini. Dari sinilah titik tolak kardinalisasi geografi dapat dilakukan. Dengan mendasarkan setiap analisis fenomena geosfer pada pendekatan utama geografi ini, peranan geografi dalam setiap program pembangunan berbasis wilayah (regional based development) akan berperan sentral karena tidak ada satupun program pembangunan berbasis wilayah yang tidak berkaitan dengan wilayah, lingkungan, manusia, sumber daya dan ruang. Pendekatan utama geografi adalah pendekatan yang tidak muncul secara instan, namun melalui proses perkembangan paradigm keilmuan geografi yang sangat lama sampai saat ini dan hal ini akan dibahas pada paragraph selanjutnya.

PERKEMBANGAN PARADIGMA KEILMUAN GEOGRAFI
            Paradigma keilmuan Geografi yang ada pada saat ini tidak muncul secara instan, namun melalui proses yang lama. Dalam sub bab yang berjudul The Legacy of The Past, Hagged (1983) mengemukakan 3 fragmen penting yang menandai perkembangan pemikiran geografi. Fragmen yang pertama muncul dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok ilmuwan dan masyarakat serta fragmen yang ketiga muncul dari penelitian-penelitian yang dilaksanakan oleh organisasi kemasyarakatan yang lenbih luas skalanya baik di tingkat nasional maupun internasional.
            Fragmen pertama lebih menekankan pada masalah-masalah kebumian praktis seperti metode survey permukaan bumi, navigasi, pembuatan peta, dan juga pencetakan atlas. Banyak masalah yang semula menjadi teka-teki manusia dapat dipecahklan dan dijelaskan dari kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para geograf pada saat itu. Keterangan yang dapat dikumpulkan kemudian diplot pada peta yang dihansilkan sehingga informasi ilmu kebumian menjadi semakin terang dan apresiasi tentang eksistensi ilmu kebumian menjadi semakin baik. Periode ini terjadi pada abad 18 sampai permulaan abad 19.
            Fragmen kedua terjadi mulai abad 19. Upaya menggabungkan penelitian-penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya oleh ilmuwqan dan terlihat ada 4 kelompok ilmuwan yang terlibat. Kelompok pertama muncul dinegara-negara tertentu dan kegiatan eksplorasi yang dilaksanakan telah menambah informasi yang lebih komprehensif tentang bagian-bagian dunia yang lain.kelompok kedua adalah kelompok peneliti yang lebih professional dan anggotanya tidak begitu banyak namun penelitian yang dihasilkan lebih akurat dan detail. Kelompok ketiga adalah kelompok penelitian yang berorientasi pada bidang pendidikan semata. Kelompok ke empat adalah kelompok tertentu yang merupakan sub bagian dari kelompok professional yang menekankan penelitiannya lebih spesifik. Hal ini mulai muncul pada  pertengahan abad 20 sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dan nampaknya sampai saat ini arah penelitiannya masih terlihat dengan nyata.
            Fragmen ketiga diwarnai oleh organisasi-organisasi nasional maupun internasional yang mencoba mencoba memecahkan permasalahan nasional maupun global. Sejalan dengan hal ini, dibentuklah organisasi geograf dalam tingkat nasional maupun in ternasional sebagai wahana dan media para ilmuwan untuk berkomunikasi. Hal ini terlihat dengan munculnya IGU pada tahun 1922 dan kemudian mengadakan pertemuan rutin setiap 4 tahun sekali serta didalamnya terdapat komisi-komisi yang menangani bidang-bidang kajian khusus. Sementara itu di masing-masing negaramuncul berbagai organisasi yang muncul berbagai organisasi yang mempunyai objek kajian permukaan bumi.
            Perkembangan penelitian yang kemudian memunculkan pemikiran-pemikiran geografi tersebut menghasilkan kategori paradigma geografi. Secara garis besar dikenal ada 2 paradigma utama, yaitu:paradigma tradisional dan paradigma kontemporer (Hebert dan Thomas, 1982; Johnston, et al.2000). Paradigma tradisional ditengarai oleh 3 macam paradihgma, yaitu: (1) exploration paradigm; (2) environmentalism paradigm dan (3) regionalism paradigm. Sementara itu paradigm kontemporer diwarnai oleh 2 macam paradigm, yaitu: (1) quantitative paradigm dan (2) quantitative and qualitative paradigm. Paradigm-paradigma tersebut kemudian menelorkan pendekatan utama geografi yang dikenal saat ini.untuk jelasnya lihat tabel berikut.
Paradigma
Karakteristik
Pendekatannya
Traditional paradigm
Traditional paradigm (1)
Traditional paradigm
Pemetaan dan penggambaran daerah baru yang memotiovasi penelitian dan menghasilkan tulisan-tulisan sederhana tentang daerah baru
Belum mempunyai ciri khusus, karena dianggap belum berupa metode ilmiah
Traditional paradigm (2)
Environmentalism paradigm
Analisis yang lebih sistematik tentang peranan elemen lingkungan hidup terhadap pola kegiatan manusia. Analisis morfometrik dan kausalitas mendominasi serta difokuskan hanya pada wilayah tertentu
Ecological Approach
Traditional paradigm (3)
Regional paradigm
Analisis lebih mendalam dan lebih luas dengan yang lain dalam penekanan pada keterkaitan antara elemen lingkungan dengan kegiatan manusianya
Regional Complex Aproach
Contemporary paradigm
Spatial Analysis Paradigm (quantitative + quantitative and qualitative analysis)
Analisis pada ruangan yang lebih khusus dimana space dianggap sebagai variable lainnya. Teknik-teknik analisis kuantitatif mendominasi pada awalnya dan kemudian terjadi penggabungan teknik analisis kuantitaif dan kualitatif
Spatial Approach
Sumber: HerbertThomas, 1982; Johnston, et.al.,2000; Yunus, 2005

Perkembangan Paradigma Tradisional :
            Tiga macam paradigm yang muncul pada masa ini mempunyai sifat yang berbeda-beda dan produknya merupakan pencerminan tuntutan perkembangan kehidupan serta perkembangan teknologi penelitian serta analissis yang ada.
            Paradigm Eksplorasi (Exploration Paradigm)
            Merupakan perkembangan awal dari “geographical thought” yang pernah dikenal arsipnya. Kekhasan paradigm ini terlihat dari upaya-upaya pemetaan, penggambaran tempat-tempat baru yang belum banyak diketahui dan pengumpulan fakta-fakta dasar yang berhubungan dengan dearah-daerah yang sebelumnya belum banyak diketahui. Dari kegiatan inilahkemudian muncul tulisan-tulisan, gambar-gambar, peta-peta daerah yang baru dan menarik sehingga menumbuhkan mot5ivasi yang kuat bagi para penilik untuk lebih menyempurnakan produk yang sudah dihasilkan sebelumnya baik berupa tulisan-tulisan maupun peta-petanya. Penemuan-penemuan daerah baru yang sebelunya belum banyak dikenal oleh masyarakat luas mulai bermunculan pada saat itu. Sifat dari produk yang dihasilkan berupa deskripsi dan klasifikasi wilayah beserta fatkta-fakta lapangannya.
            Suatu hal yang mencolok adalah sangat terbatasnya latar belakang teoritis yang mendasari penelitian yang mendasari penelitian yang dilaksanakan. Inilah sebabnya ada beberapa yang menganggap bahwa untuk menganggap perkembangan pemikiran geografi (geographical thought) pada masa itu sebagai hal yang kurang pas. Oleh Harvey (1969) hal ini disebut sebagai cognitive description yang hanya mengemukakan deskripsi sederhana tentang apa yang diketahui dan dihasilkan dari pengaturan (ordering) dan klasifikasi (classifitacion) data yang masih sangat sederhana. Oleh karenanya sifat yang sangat sederhana, belum dapat diklasifikasikan sebagai metode ilmiah sehingga pada era ini tidak muncul pendekatan yang khas.

            Paradigma Kelingkungan (Environmentalism Paradigm)
            Muncul sebagai perkembangan selanjutnya dari metode sebelumnya. Pentingnya sajian lebih akurat dan detail telah menuntut peneliti-peneliti untuk melakukan penelitian lebih mendalam mengenai elemen-elemen lingkungan fisik dimana kehidupan manusia berlangsung. Paradigma ini terlihat mencuat ke permukaan pada akhir abad 19, dimana pendapat mengenai peranan yang besar dari lingkungan fisik terhadap pola-pola kegiatan manusia dipermukaan bergaung sangat nyata. Hal ini yang kemusian dikenal sebagai pola piker geographical determinism. bahkan sampai dengan pertengahan abad 20 saja, ide-ide ini masioh terasa gemanya. Bentuk-bentuk analisa morfometrik dan analisa kausalitas mulai banyak dilakukan.
dalam beberapa hal analisa morfometrik pada taraf awal masih berakar pada deskriptif kognitif semata namun perkembangansistem geometris permukaan bumi, koordinat dan klasifikasi data yang dilaksanakan mulai lebih lengkap dan akurat sehingga telah membuahkan sistemasi dan klesifikasi data yang lebih akurat pula disbanding dengan teknik-teknik yang dipakai sebelumnya. Muncul analisis jaringan (network analysis) untuk mempelajari pola-pola dan bentuk-bentuk kota, misalnya, merupakan salah satu contohnya dan kemudian sampai pasa batas-batas tertentu dapat dimanfaatkan untuk membuat prognostasi dan simulasi. Sebagai contoh yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Walter Christaller (1933).
            Upaya untuk menjelaskan terkondisinya fenomena tertentu, khusunya human phenomena oleh elemen-elemen lingkungan fisik mulai dilaksanakan lebih baik dan lebih sistematik. Akar daripada latar belakang analisis hubungan antara manusia dengan lingkungan alam bermula dari sini. Perkembangannya kemudian nampak bahwa analisis hubungan antara manusia dan lingkungan alam telah memunculkan pandangan baru dalam menempatkan manusia dalam ekosistemnya. Manusia tidak sepenuhnya lagi didikte atau dikontrol olehlingkungan alam, tetapi manusialah yang mempunyai peran lebih besar dalam menentukan bentuk-bentuk kegiatannya di permukaan bumi (geographical possibilism dan probabilism). Dalam era ini memunculkan kekhasan pendekatan keilmuwan dalam geografi yang kemudian dikenal sebagai pendekatan ekologis (ecological approach).

            Paradigma Kewilayahan (Regionalism Paradigm)
            paradigma ini adalah fase terakhir dari perkembangan paradigma tradisional. Di sini nampak unsur fact finding tradition of exploration disatu sisi dan upaya memunculkan sintesis  hubungan manusia dengan lingkungannya disisi lain nampak mewarnai paradigma ini. Konsep-konsep region  bermunculan sebagai dasar pengenalan ruang yang lebih detail. Wilayah ditinjau dari segi tipenya (formal and function regions); wilayah ditinjau dari segi hirarkinya (the first order ,the 2nd order,the 3rd order etc. regions) dan wilayah yang ditinjau dari segi kategorinya (the sigle topic, double topic, total regions) adalah beberapa contoh konsep-konsep yang muncul sejalan dengan berkembangnya paradigma regionalisme ini dalam membantu analisis. Di samping itu, temporal analysis  sebagai salah satu bentuk dimensi dalam causal analysis berkembang pula dalam dalam periode ini (Rostov, 1960; Harvey, 1969). sementara itu, Ley (1977) mengatakan bahwa penekanan studi wilayah ini adalah tetap pada bentuk-bentuk karaya manusia dan keterkaitannya dengan bentang alamnya sangat berpengaruh terhadap kegiatan manusia itu sendiri.
            Regional studies may involve the identification of uniform regions, the description of segments of the earth surface and specialized regional monograph. Its focus was on human artefact's  rather than on people, and landscape is taken as a palimpsest of human activity.....
            paradigma keilmuan pada era ini merupakan akar munculnya pendekatan geografi yang saat ini dikenal sebagai pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach) .

Perkembangan Paradigma Kontemporer :
            pada masa inui mulai terjadi perkembangan baru di bidang analisis kuantitatif dan model building. Perkembangan paradigma geografi pada masa ini juga disebut sebagai periode paradigma analisis keruangan (the spatial analysis paradigm). Coffey (1981) mengemukakan ciri-ciri paradigma geografi kontemporer sebagai berikut:
            ..is character by diversity rather than unity; specialization rather than generalized coherence. The discipline, as engaged to-day, is the end product of a complex series of multiple fragmentations. Among these we may identify (1) the human physical dichotomy, (2) the tendency to create special field as the result of the stress place upon the non spatial properties of phenomena under investigation, and (3) the emphasis upon techniques attendant on the rise of quantitative methodologies, (4) there is a distinction between quantitative and non quantitative methodologies and, (5) there is a dichotomy  structure versus process..
            Pendapat diatas menyiratkan bahwa salah sat8u ciri-ciri geografi kotemporer adalah adanya kecenderungan spesialisasi dan gejala ini merupakan hal yang kemudian dikhawatirkan oleh banyak pakar akan menjadi pemicu marginalisasi peranan geografi inti sendiri karena telah menjauh dari fitrah geografi. Ditinjau dari teknik analisisnya, periode perkembangan paradigma kontemporer dibedakan menjadi periode perkembangan analisis kuantitatif dan perkembangan penggabungan analisis kuantitatif dan kualitatif. Paradigma kuantitatif muncul sejalan dengan munculnya revolusi kuantitatif dengan ditemukannya alat hitung elektronik dan teknik-teknik analisis baru. Paradigma kedua, menggabungkan pendekatan kuantitatif dam kualitatif. Hal ini muncul sebagai akibat tidak mempunyai pendekatan kuantutatif untuk menjawab realita kehidupan tentang suatu sistem yang diwanai  bentuk hubungan antar komponen wilayah dan tidak berdiri sendiri tepati sangat kompleks sifatnya. Analisis kuantitatif mengarah pada konsistensi penilaian dan sementara itu analisis kualitatif mengungkapkan kedalaman makna hubungan antar variabel yang sangat kompleks. Keduanya bersifat komplementer serta menutupi kelemahan masing-masing.
            Fragmen-fragmen perkembangan penelitian dan pemikiran tersebut kemudian memunculkan berbagai macam definisi geografi (lihat lampiran). Namun demikian, dari sekian definisi geografi dengan berbagai versi tersebut ternyata mengungkapkan kesamaan-kesamaan mendasar dalam pandangannya. Ada 3 kesamaan pandangan mendasar yang dapat diperas dari berbagai definisi geografi, yaitu:
(1)   obyek studi geografi adalah permukaan bumi sabagai sasaran studi yang nyata dan bukan sesuatu yang abstrak. Obyek ini selalu dikaitkan dengan kepentingan manusia (human oriented/human centered in nature) sabagaienvironment of humanity, yaitu an environment that influence how people live and organize themselves and at the same time an environment that people helped to modify and build.
(2)   Studi geografi menekankan pada “spatial organization” dan hubungan ekologisnya dengan manusia (Abler et al. 1971). bagaimana pemanfaatan ruang dengan baik, pemanfaatan sumber daya dengan baik, dan bagaimana organisasi wilayah dapat ditata untuk mencapai visi “sustainbility”.
(3)   Studi geografi menyadari adanya sistem yang didalamya terdapat komponen yang banyak dan kompleks yang saling terkait satu dengann yang lainnya. Hal ini mengisyaratkan adanya ide bahwa gangguan atau perbaikan pada salah satu komponen wilayah dapat berimbas positif maupun negatif terhadap komponen yang lain, baik dalam skala wilayah lokal, nasional, bahkan global.

PENDEKATAN UTAMA GEOGRAFI
            Dari latar belakang perkembangan penelitian dan pemikiran seperti dijelaskan terdahulu, muncullah 3 pendekatan utama geografi yang sat ini diikuti oleh geografiawan dunia, yaitu pendekatan keruanganan (spatial approach); pendekatan ekologi (ecological approach); dan pendekatan kompleks wilayah (regional complex approach). Pada masa perkembangannya pada abad 20, memang terdapat tarik menarik anara ketiga pendekatan tersebut. Sampai dengan tahun 30an, penelitian-penelitian cenderung ke pendekatan regional  dan pendekatan selanjutnya menunjukkan pergeseran yang signifikan. Sampai dengan pertengahan abad 20 (tahun 50an) penelitian cenderung menekankan pada pendekatan keruangan. Sampai dengan akhir abad 20 dan permulaan milenium ketiga penelitian penelitian bergeser ke pendekatan ekologikal.
            Pada perkembangan selanjutnya, memang muncul pendekatan-pendekatan baru yang diangkat dari disiplin ilmu lain, namun demikian pendekatan baru tersebut sifatnya komplementer terhadap pendekatan utama geografi. Pendekatan komplementer ini  muncul  bukan dari regional based concept sebagai fitrah geografi, tetapi dari topik kajian. Disinilah letak krusialnya studi geografi apabila menjadikan pendekatan komplementer sebagai pendekatan utama, dan akibatnya adalah marginalisasi peranan geografi iti sendiri dalam analisis. Untuk memantapkan peranan geograf dalam berbagai bidang pembangunan, kita harus kembali ke fitrah geografi dan memahami secara mendalam akan pedekatan pendekatan utama geegrafi sebagai scientific dignity , sehingga keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif dapat ditampilkan. Atau dengan kata lain  dapat diungkap bahwa dengan pemahaman yang mendalam tentang pendekatan utama geografi  ini, dapaty mengarahkan geograf dalam memposisiskan dirinya dalam pembangunan secara tepat pada bidang keahliannya sendiri (the right man on the right place) dan tidak terjebak ke domain ilmu lain, sehingga tidak mampu menampilkan kinerja yang maksimal. Seseorang harus menyadari keterbatasannya dan untuk itu perlu pengarahan minat khusus (spesialisasi) agar mempunyai ketajaman analisis yang memadai dalam kerangka ilmu geografi.
            Berikut ini akan dikemukakan pemahaman pendekatan utama geografi beserta contoh aplikasinya, sehingga geograf dapat dengan mudah memahami kehandalannya dan sekaligus keterbatasannya.

Pendekatan Keruangan (Spatial Approach):
            Pendekatan keruangan tidak lain merupakan suatu metode analisis yang menekankan analisisnya pada eksistensi ruang (space) yang berfungsi untuk mengakomodasikan kegiatan manusia. Oleh karena obyek studi geografi adalahgeossheric phenomena, maka segala sesuatu terkait obyek dalam ruang dapat disoroti dari berbagai antara lain, pola (pattern), struktur (sturcture), proses (process), interaksi (interaction), organisasi dalam sistem (organization within system), asosiasi (association), tendensi atau kecenderungan (tendency or tends), dan sinergisme keruanganan (spatial synergism). Dengan demikian minimal ada 8 tema analisis dalam spatial approach dalam geografi, yaitu:
(1)   Spatial pattern analysis
(2)   Spatial structure analysis
(3)   Spatial process analysis
(4)   Spatial interaction analysis
(5)   Spatial association analysis
(6)   Spatial organisation analysis
(7)   Spatial tendency/tends analysis
(8)   Spatial synergism analysis
           
Dalam mengaplikasikan pendekatan keruangan, seeorang tidak cukup hanya menyebutnya saja , namun harus secara ekplisit menyebutkan tema apa yang akan dianut serta penjelasan mengenai operasionalisasi pendekatan harus dikemukakan dengan jelas. Aplikasi pendekatan analisis keruangan, minimal meliputi 7 macam dan apabila ke tujuh macam tema analisis tersebut dituntut untuk melaksanakan bagi seseorang peneliti (sebut saja mahasiswa) maka yang bersangkutan akan mengalami kesulitan yang sangat besar. Aplikasi ke tujuh macam tema analisis tersebut akan memakan waktu, tenaga, dan biaya yang sangat besar, disamping penguasaan materi  dan teknis analisis yang memadai. Salah satu atau gabungan dari beberapa diantaranya sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan tanpa mengurangi kadar keilmuannya.
Oleh karena alat inderawi sangat terbatas kemampuannya untuk mengamati kenampakan geografi di suatu wilayah atau dipermukaan bumi, maka untuk maksud analisis keruangan seseorang memerlukan alat bantu. Disinilah peranan model  visualisasi permukaan bumi diperlukan kehadirannya. Ketersediaan peta, foto udara, maupun citra satelit sangat diperlukan dalam analisis. Namun demikian gambaran yang ditampilkan pada peta, foto udara, ataupun citra satelit ternyata masih sangat rumit dan kompleks sifatnya, sehingga peneliti dituntut untuk mampu mengabstraksikan kedalan visualisasi yang managable. Simbol-simbol yang lebih sederhana sangat diperlukan dalam hal ini, sehingga analisis dapat dilaksanakan dengan lebih mudah. Simbol-simbol yang secara konvensional dan masih dipakai sampai saat ini berwujud simbol-simbol titik, garis, maupun bidang. Visualisasi dari salah satu atau gabungan dari padanya sangat tergantung dari sifat data dan tujuan analisis.
Spatial Pattern Analysis penekana utama dari analisis ini adalah pada “sebaran” elemen-elemen pembentuk ruang. Taraf awal adalah identifikasi mengenai aglomerasi sebarannya dan kemudian dikaitkan dengan upaya untuk menjawab geography question. Sebagai contoh dapat dikemukakan adanya sebaran kenampakan yang mengelompok pada bagian tertentu dan meyebar ke bagian yang lain. Dalam hal ini akan timbul pertanyaan utama yaitu mengapa terjadi pengelompokkan kenampakan pada bagian itu dan sementara itu pada bagian lain tidak? Setelah itu perlu pula dijawab tentang bagaimana pengelompokkan itu dapat terjadi?
Spatial Structure Analysis menekankan pada analisis susunan elemen-elemen pembentuk ruang. Demikian pula halnya dengan analisis struktur keruangan, tugas utama yang pertama adalah mengidentifikasi susunan keruangan yang ada baru kemudian dikaitkan dengan upaya menjawab geographic question. Mengapa terjadi susunan seperti itu dan faktor-faktor apa yang mempengaruhinya serta bagaimana susunan tersebut dapat terjadi?
Spatial Process Analysis menekankan pada proses keruangan yang biasanya divisualisasikan pada perubahan ruang. Perubahan elemen elemen pembentuk ruang dapat dikemukakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Setiap analisis peruahan keruangan tidak dapat dilaksanakan tanpa mengemukakan dimensi kewaktuannya, maka dimensi temporal mempunyai peranan utama dalam hal ini. Minimal diperlukan dua titik waktu untuk mengenali perubahan. Mengapa terjadi perubahan, bagaimana perubahan itu terjadi, dan dampak apa saja yang mungkin timbul dari perubahan tersebut?
Spatial Interaction Analysis menekankan pada interaksi antar ruang. Hubungan timbal balik antara ruang yang satu dengan ruang yang lain mempunyai variasi yang sangat besar, sehingga upaya mengenali faktor-faktor pengontrol interaksi menjadi sedemikian penting. Tahap selanjutnya adalah menjawab mengapa terjadi interaksi dan bagaimana interaksi terjadi? Sebagai contoh yang kongkrit adalah proses pengaruh mempengaruhi antara desa dan kota atau antara Kabupaten X dan Kabupaten Y atau antara Kecamatan A dengan Kecamatan B. Hal ini memang tidak dapat dipisahkan dari analisis organisasi keruangan.
Spatial Organization Analysis bertujuan untuk mengetahui elemen-elemen lingkungan mana yang berpengaruh terhadap terciptanya tatanan spesifik dari elemen-elemen pembentuk ruang. Penekanan utamanya pada keterkaitan antara kenampakan satu dengan yang lain secara individual. Sebagai contoh kongkrit adalah adanya setting dari kota-kota besar, kota menengah dan kota kecil yang berada pada suatu wilayah. Apakah tatanan keruangannya menunjukkan adanya dominasi pengaruh dari kota tertentu terhadap kota yang lain? Bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat terjadi? Peredaan utama dengan Spatial Pattern Analysis adalah pada visualisasi kenampakkannya. Pada analisis pola, penekanan utamanya pada kekhasan aglomerasi, sedangkan pada analisis organisasi terletak pada keterkaitan hubungan antar elemen dan hirarki peranan elemen secara individual. Analisis ini kebanyakan diaplikasikan pada organisasi keruangan sitem kota-kota atau sistem pemukiman di suatu wilayah yang luas.
Spatial Association Analysis bertujuan untuk mengungkapkan terjadinya asosiasi keruangan antara berbagai kenampakan pasa suatu ruang. Apakah ada keterkaitan fungsional atas sebaran keruangan atau gejala dengan sebaran keruangan gejala yang lain? Apakah ada hubungan antara hilangnya lahan pertanian dengan makin banyaknya pendatang-pendatang di suatu daerah? Apakah ada asosiasi keruangan antara kepadatan penduduk dengan peningkatan tindak kriminal di beberapa tempat di kota?
Spatial Tendency/Tends Analysis adalah suatu analisis yang menekankan pada upaya mengetahui kecenderungan peruahan suatu gejala. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan space based analysis, time based analysis, maupun gabungan antara space based analysis dan time based analysis. Sebagai contoh adalah untuk mengetahui apakah terjadi kecenderungan perkembangan kota ke arah tertentu? Faktor-faktor apa yang menjadi determinan dan bagaimana proses terjadinya serta konsekuensi keruangan apa yang bakal terjadi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang? Dengan mengeplot beragai unsur morfologi kota, baik dalam dimensi multi temporal ataupun bukan, seseorang akan mampu membaca kecenderungan yang akan terjadi dengan asumsi semuanya berjalan seperti apa yang telah terjadi sebelumnya. Dalam penelitian untuk program doktor, hai ini menjadi tuntutan yang harus dikerjakan oleh peneliti, karena menyangkut prognostansi keruangan menjadi salah satu persyaratan kualifikasi ilmiahnya.
Spatial Synergism Analysis merupakan perkembangan baru yang saat ini menjadi sorotan ilmu pengetahuan, karena sangat terkait erat dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, khusus teknologi di bidang transportasi dan komunikasi. Makin majunya sistem transportasi dan komunikasi telah memungkinkan terjadinya moilitas barang, jasa, informasi, dan orang menjadi semakin tinggi, sehingga dinamika keruangan juga menjadi semakin tinggi. Di era teknologi informasi yang mengglobal, batas-batas wilayah dalam kegiatan manusia menjadi semakin kabur. Hal ini semestinya dimanfaatkan sedemikian rupa dalam setiap program pembangunan, khususnya pembangunan wilayah untuk menciptakan kerja sama antar wilayah/antar ruang, sehingga nilai lebih yang ditimbulkan oleh kerja sama tersebut jauh lebih besar apabila dengan dibandingkan dengan tanpa kerjasama antar wilayah/ruang atau berdiri sendiri-sendiri. Biidang ini jika dikema dengan baik sebenarnya merupakan kompetensi ilmu geografi yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif. Sat ini ide-ide spatial synergism masih berupa wacana yang kabur, sebagai contoh adalah ide Joglo Semar, Kartamantul dan sejenisnya, belum merupakan suatu konsep pembangunan yang mantap dalam mencapai spatial synergism yang mantap atau bahkan nyaris kabur.
Beberapa tema analisis keruangan yang dijelaskan di atas dapayt berdiri sendiri-sendiri maupun dapat merupakan gabungan dari beberapa tema analisis tergantung daripada tujuan dan kemendalaman pengetahuan yang akan dicapai peneliti. Sebagai contoh upaya analisis kecenderungan keruangan mungkin dapat dimulai dari identifikasi pola persebaran struktur tentang fenomena geosfera yang akan diteliti dan kemudian dilanjutkan dengan analisis proses keruangan. Apabila diperlukan dapat pula analisis interaksi dan asosiasi keruangan dan akhirnya baru dianalisis kecenderungan keruangan yang terjadi berdasarkan fakta empirisnya.


Pendekatan Ekologis (Ecological Approach):
Oleh karena pendekatan ini mengacu pada kajian ECOLOGY, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai makna ekologi itu sendiri. Menurut Worster (1977), secara garis besar ekologi adalah ilmu yang memperlajari tentang keterkaitan antara organisme dan lingkungannya. Namun dalam perkembangannya, ilmu ini mempunyai arah yang bermacam-macam, dan paling tidak ada 3 macam arah perkembangannya. Arah perkembangan pertama terkait dengan analisis keterkaitan atau interaksi antar organisme dan juga dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, dan bagaimana akibat yang ditimbulkannya. Arah perkembangan kedua sering disebut sebagai scientific ecology atau professional ecology. Hal ini merupakan sub disiplin dari biologi. Arah perkembangan yang ketiga berkaitan dengan masalah polotik dan selalu dikaitan dengan ide-ide normatif dalam masyarakat, sehingga analisisnya selalu terkat dengan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Namun demikian pengertian ekologi yang luas dianut adalah pengertian yang pertama.
            Dalam geografi, seseorang  harus membatasi diri dalam analisisnya, karena adanya keterbaasan-keterbatasan akademikyang dipunyai oleh ilmu geografi itu sendiri, dan jangan sampai terjebak ke dalam scientific ecology yang dikembangkan oleh disiplin biologi. Sebagai contoh adalah analisis yang berusaha mengungkapkan mengapa terjadi penurunan populasi badak jawa di daerah suaka margasatwa Ujung Kulon. Dalam hai ini bidang scientific ecology lebih cocok dibanding dengan bidang lainnya, karena pengetahuan mendalam mengenai karakteristik anatomis badaka, kondisi habitat, penyakit, analisis laboratoris tentang komposisi makanannya dan lain sebagainya dapat dilakukan oleh ahli biologi dan bukan oleh ahli geografi.
            Berdasarkan uraian diatas, timbul ertanyaan mendasar, yaitu pendekatan ekologi seperti apa yang kemudian dikembangkan dalam disiplin Geografi? Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa Geografi adalah ilmu yang  bersifat  “human oriented, sehingga manusia dan kegiatan manusia selalu menjadi fokus analisis dalam keterkaitannya dengan lingkungan biotik, abiotik, maupun lingkungan sosial, ekonomi, dan kulturnya (Dangana and Tropp, 1995). manusia dalam hal ini tdak boleh diartikan sebagai makhluk biologis semata yang setaraf dengan makhluk hidup lainnya, namun manusia adalah makhluk yang dikaruniai daya cipta, rasa, karsa dan karya atau makhluk yang berbudi daya. Dengan demikian interelasi manusia dan atau kegiatannya dengan lingkungannya akan menjadi tekanan analisis dalam pendekatan ekologi yang dikembangkan dalam disiplin Geografi. Berdasarkan inventarisasi penelitian yang ada dapat disimpulkan bahwa kendekatan ekologi dalam geografi mempunyai 4 tema analisis, yaitu:
(1)   human behavior – environment analysis
(2)   human activity (performance) – environment analysis
(3)   physico natural features – environment analysis
(4)   physico artificial features – environment analysis

            fokus analisis human behavior – environment interactions adalah perilaku manusia, baik perilaku sosial, perilaku ekonomi, perilaku kultural, dan bahkan perilaku politik, baik yang dilakukan seseorang atau komunitas tertentu. Sebagai contoh dapat dikemukakan didaerah tertentu terdapat sekelompok penduduk yang selalu menebangi kayu di hutan lindung. Untuk mencari jawaban mengenai latar belakang mengapa komunitas tersebut berperilaku seperti itu, arus dicari unsur-unsur internal maupun eksternal yang terkait dengan perilaku tersebut. Apa latar belakangnya, bagaimana prosesnya, dan apa dampak, serta apa dan bagaimana  upaya mengatasinya menjadi pembahasan sentral dari analisis yang bertemakan “human behavior – environment analysis” ini.
            Tema analisis yang kedua menekankan pada keterkaitan antara human activity (performance) – environment . Latar belakang perilaku bukan menjadi pembahasan sentral , namun kegiatan manusianya yang menjadi pembahasan sentral. Perilaku lebih menekankan pada atitide, sedangkan kegiatan manusia lebih difokuskan pada external performance dari atitide itu ssendiri. Kegiatan terkait dengan tindakan manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya, sedangkan perilaku terkait dengan sikap batiniah dan presepsi seseorang atau sekelompok orang terhadap lingkungannya. Dalam hal ini dikenal berbagai kegiatan manusia dalam menyelenggarakan kehidupannya, antara lain kegiatan pertanian, pertambangan,  perikanan, industri, pembangunan perumahan, transportasi, turisme, dan sejenisnya. Sebagai contoh dapat dikemukakan adanya usaha industri genting diberbagai daerah. Didaerah yang satu terlihat kemajuan yang sangat bagus, ditempat yang lain tidak menunjukkan adanya kemajuan dan bahkan kemunduran. Dalam hal ini seseorang dituntut untuk mampu mengungkapkan penyebab terjadinya dengan mengidentifikasi faktor-faktor internal (yang terkait dengan industri) dan faktor-faktor eksternal yang merupakan elemen-elemen lingkungannya dan kemudian menganalisisnya. Sehingga ditemukan faktor-faktor mana yang paling menentukan dan faktor-faktor mana yang tidak.
Tema analisis yang ketiga menekankan pada keterkaitan antara kenampakan fisikal alami dengan elemen-elemen lingkungannya (phsyco natural features – environment interaction). Sebagai contoh dapat dikemukakan disini adanya sebuah danau alami yang menunjukkan gejala peningkatan polusi air dan kemudian mengakibatkan banyaknya biota danau khususnya ikan yang mati. Gejala menurunnya kualitas air danau dapat ditelusuri dengan menganalisis keterkaitan antara faktor-faktor internal (danau itu sendiri) maupun faktor-faktor eksternal (lingkungan disekitar danau/di luar danau) seperti kondisi curah hujan, kondisi tata guna lahan, cara pengolahan lahan, penggundulan hutan, industri yang membuang limbah ke air yang bermuara didanau, daerah pemukiman di sekitar danau, maupun daerah hulu dan lain sejenisnya. Dengan meneliti keterkaitan faoktor-faktor tersebut diharapkan dapat menemukan jawaban mengapa terdapat penurunan kualitas air danau dan sekaligus seorang geograf akan mampu mencari solusinya baik preventif, kuratif, maupun inovatif.
Tema analisis yang keempat memfokuskan pada keterkaitan antara physco artifical features – environment. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, yaitu di suatu daerah pemukiman tertentu yang semulatidak terjadi penggenangan, namun akhir-akhir ini terjadi penggenangan, sehingga mengakibatkan terjadinya deteritorisasi lingkungan yang hebat . kompleks pemukiman merupakan bentuk artifisial yang bersifat fisikal. Dalam hal ini peneliti dapat bertitik tolak dari faktor-faktor internal (pemukiman itu sendiri) dan juga faktor-faktor eksternal (di luar pemukiman tersebut) yang diperkirakan mempunyai keterkaitan erat dengan munculnya penggenangan. Apakad terdapat perubahan iklim khususnya curah hujan, perubahan alur sungai, kondisi laut, kerusakan hutan, penambahan luas pengerasan tanah yang  berakibat run off, hilangnya kantong-kantong penampungan air karena faktor alami dan faktor non alami (kebijakan pembangunan yang salah) dan lain sebagainya. Dengan meneliti keterkaitan antara pemukiman dan faktor-faktor lingkungannya dapat diketahui penyeban utamanya dan sekaligus geograf akan mampu memberikan masukan tentang berbagai alternatif pemecahannya.

Pendekatan Kompleks Wilayah (Regional Complex Approach):
Pendekatan ini tidak lain merupaka integrasi dari pendekatan keruangan dan pendekatan ekologis. Dalam hal ini perlu disadari dan dipahami secara benar tentang pemakaian istilah regional complex. Peristiwa ini mengisyaratkan adanay pemahaman yang mendalam tentang property yang ada dalam wilayah yang bersangkutan. Kompleksitas gejala yang menjadi dasar pemahaman utama dari eksistensi wilayah di samping efek internalitas dan eksternalitas dari padanya. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini adanya gejala environmental deterioration yang terjadi di Kawasan Dieng. Di samping upaya untuk menemukakan penyebab proses, dapak deteriorisasi di kawasan lain di luar Kawasan Dieng, seperti pada dataran rendah di bagian selatannya termasuk Waduk Mrica bahkan sampai ke Kabupaten Cilacap. Ternyata kerusakan lingkungan di Kawasan Dieng juga mempunyai dampak luas terhadap pendangkalan Waduk yang sangat berguna bagi pertanian di dataran rendah (The Domino Effect). Tingginya pengendapan sedimen akibat erosi di daerah hulu akan berakibat terhadap umur waduk. Tanpa pengendalian terpadu eksistensi waduk akan terancam dan kalau ini sampai terjadi maka social cost yang timbul tidak terkirakan besarnya karena menyangkut sustainbilitas produk pertanian dan kesejahteraan petani.
Akibat yang jauh juga terlihat di Kabupaten Cilacap walaupun akibat kerusakan di daerah Dieng bukan penyebab satu-satunya. Hal ini khusus terlihat pada tingginya proses sedimantasi di muara Sungai Serayu. Apabila hal ini tidak segera mendapat perhatian, maka pada waktu yang akan datang eksistensi pelabuhan Ciplacap akan mengalami gangguan yang signifikan di samping kehidupan nelayan di kawasan tersebut. Dengan membandingkan citra satelit yang ada intensitas sedimentasi di muara sungai Serayu dapat dipantau, dan gejala ini tidak dapat dilepaskan dari proses deteriorisasi yang terjadi dikawasan hulu Sungai Serayu khususnya Kawasan Dieng. Analisis terpadu dari bebragai disiplin ilmu memang diharapkan adanya untuk memecahkan masalah yang terjadi, khususnya mencari umbi permasalahan mengidentifikasi the working forces, mengidentifikasi the working proces, mengidentifikasi the impact, dan akhirnya dapat dirumuskan alternatif pemecahannya.
Pada bagian akhir diskusi ini, akan dikemukakan gambaran tentang prospek disiplin Geografi dalam pembangunan dan strategi pembekalan diri. Dalam kenyataan disiplin Geografi tidak hanya menawarkan the single experties namun ada beberapa keahlian yang mampu  ditangani oleh geografiawan. Namun demiukian, seseorang harus selalu menyadari kdan mawas diri akan keterbatasannya sehingga mampu memposisikan dirinya sebagai the right man on the right place. Untuk menyongsong perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ada 4n hal yang harus diperhatikan untuk memantapkan peranan Geografi dalam pembangunan, sehingga terjadi marginalisasi namun secara kardinalisasi yang semakin solid.
Strategi pertama menyangkut pembekalan geografiawan dengan pengetahuan yang mendalam tentang GIS untuk analisis ruang dan wilayah. Pengasaan bidang ini akan membuka kesempatan lebih luas bagi geografiawan untuk berkiprah lebih mantap dalam pembangunan yang bersifat “regional based”. Pengelolaan data geografis, kemampuan memvisualisasikan dan menginterpretasikannyasecar ilmiah merupakan kompetisi utama para geografiawan. Sebagian besar, ataiu nyaris seluruh kegiatan pembangunan yang bersifat regional based atau pembangunan wilayah pasti membutuhkan keahlian ini;
Strategi kedua menyangkut pembekalan dengan teknis analisisnkeruangan baik kualitatif maupun kuantitatif;
Strategi ketiga menyangkut pembekalan geografiawan dengan pengetahuan regional, interregional, dan internasional. Proses globalisasi merupakan realita yang tidak dapat dipungkiri sehingga sistem kehidupan dan kegiatan manusia tidak lagidibatasi oleh batas-batas negara, sehingga pengetahuan mendalam mengenai negara tertentu atau kawasan tertentu menjadi sedemikian penting khususnya dalam rangka menyelenggarakan kerja sama regional baik di bidang sosial, ekonomi, dan miungkin politik (Dicken, 1988; Featherstone 1990; Hirst dan Thompson, 1996; Waters 1995). Perlu adanya pembidangan minat kawasan internasional tertentu bagi geografiawan. Disamping itu penguasaan bahasa dan kawasan yang menjadi spesialisasinya adalah hal yang sedemikian penting karena menunjang pengasaan permasalahan wilayahnya. Seperti misalnya penguasaanb bahasa Jepang bagi mereka yang mempunyai pembidangan khusus negara Jepang dan lain sebagainya.

PERMASALAHAN WILAYAH VS PERMASALAHAN PENELITIAN
Pada bagian akhir makalah ini ada satu hal yang sangat penting untuk dikemukakan, yaitu mengenai research problems, karena permasalahan penelitian (research problem) memegang peranan vital dalam suatu wilayah. Leddy (1982) dam bukunya Practical Research Design mengemukakan bahwa no problem no research. Ungkapan tersebut menyiratkan betapa pentingnya keberadaan permasalahan penelitian dalam penelitian, khususnya penelitian geografi, sehingga apabila hal tersebut tidak ada maka tidak dapat dilakukan penelitian.
Pertanyaan mendasar yang selalu menghantui peneliti adalah permasalahan seperti apa yang ebaiknay dirumuskan, khususnya penelitian geografi? Apakah permasalahan penelitian tersebut harus sekaligus merupakan permasalahan wilayah atau regional problem bagi peneliti geografi? Untuk membahas keterkaitan antara permasalah penelitian dan permasalahan di satu sisi serta pentingnya hal tersebut di sisi lain, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai maksud permasalah itu sendiri. Dalam artian umum permasalahan adalah suatu hal yang memerlukan pemecahan atau harus dipecahkan atau harus dicari solusinya. Makna solui disini lebih terkait dengan denga jawaban-jawaban rasional mengenai hal yang membutuhkan penjelasan, sedangkan penjelasan tersebut berkisar dari jawaban pertanyaan apa, kapan, di mana, mengapa, siapa, bagaimana, seberapa jauh yang dikemukakan oleh peneliti mengenai obyek yang diteliti.
Walaupun demikian, suatu permasalahan peneliti harus mempunyai nilai ilmiah (terkait dengan disiplin ilmunya). Sebagai contoh dikemukakan misalnya alasan mengapa suku bangsa tertentu mempunyai kepekaan emosional yang berbeda dengan bangsa lain? Hal ini jelas tidak punya nilai ilmiah dalam bidang geografi, karena obyek kajiannya bukan geospheric phenomena, namun boleh jadi hal tersebut merupakan kajian yang mempunyai nilai ilmiah yang tinggi di bidang psikologi. Namun demikian hal-hal tertentu akan mempunyai makna geografis apabila kemudian dikaitkan dengan dimensi keruangan, ekologi, maupun kompleks wilayah. Misalnya dikaitka dengan latar belakang wilayah di mana suku bangsa tersebut tinggal, misalnya daerah subur, daerah gersang, daerah pantai, daerah pegunungan, daerah dataran tinggi dan sebagainya, secara geografis mempunyai karakter tertentu dalam mempengaruhi perilaku manusia. Di sinilah letak pentingnya mempelajari pendekatan perilaku (behavior approach) ebagi pendekatan komplementer untuk menjelaskan mengapa terjadi variasi keruangan terciptanya variasi perilaku yang  berbeda.
Permasalahan wilayah adalah suatu fenomena (politik, ekonomi, sosial, kultural) yang telah atau akan memicu munculnya ancaman terhadap kesejahteraan kehidupan manusia ataupun eksistensi manusia itu sendiri baik dalam waktu pendek maupun panjang. Permasalahan wilayah seperti ini sangat baik diangkat sebagai permasalahan penelitian. Jadi permasalahan penelitian yang diangkat, sekalugu merupakan permasalahan wilayah yang harus diupayakan jawabnya, sehingga kemudian dapat dirumuskan kebijakan untuk menaggulanginya. Dalam kenyatannya, dalam geosfer yang menarik bukan merupakan permasalahan wilayah yang menimbulkan minat peneliti untuk mencari jawaban ilmiah. Hal ini pun dapat diangkat menjadi permasalahan penelitian. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya peneliti ingin mengevaluasi apakah suatu kebijakan pembangunan efektif untuk maksud-maksud tertentu dan berupaya mencari penyebabnya. Sebut sebagai contoh aplikasi peraturan, pembangunan rumah harus didahului oleh penerbitan IMB, dalam hal ini, permasalahan penelitian bukan/belum menjadi permasalahan wilayah, namun sangat menarik untuk diuji. Permasalahan penelitian harus bertitik tolak dario fakta yang sudah ada dan bukan dugaan yang harus dibuktikan kebenarannya (hipotesis).
Berdasarkan kajian komprehensif yang saya lakukan, minimal ada 6 tema utama yang dapat digunakan sebagai dasar untuk perumusan masalahan penelitian. Ke enam tema tersebut adalah:
(1)   verification theme (tema verifikasi)
(2)   enquiry theme (tema “enkuiri”)
(3)   exploration theme (tema eksplorasi)
(4)   evaluation theme (tema evaluasi)
(5)   wish vs fact disparity theme (tema kesenjangan asa vs fakta)
(6)   solution theme (tema solusi)
(7)   innovation theme (tema inovasi)
(8)   rehabilitation theme (tema rehabilitasi)

Tema verifikasi adalah suatu tema perumusan permasalahan penelitian yang bertitik tolak dari keinginan peneliti untuk menjawab pertanyaan apakah betul / tidak / dapat / tidak sesuatu teori yang sudah diuji keshahihannya di tempat tertentu berlaku juga di tempat yang lain dengan latar bekalang yang berbeda? Kalau ya, apa alasannya dan kalau tidak apa pula alasannya? Penelitian seperti ini dapat meghasilkan teori-teori baru maupun mengembangkan teori yang sudah ada dalam arti menyempurnakan atau melengkapinya. Sebagai contoh yang nyata dapat dikemukakan di sisni adalah teori yang mengemukakan bahwa ada 6 faktor penentu variasi  keruangan perkembangan fisik kota di USA, yaitu (1) public service; (2) accesibility; (3) physical characteristics; (4) land owners characteristics; (5) developers  initiatives; (6) regulatory measures. Teori ini dikemukakan oleh Lee (1979). Kemudian seorang peneliti tertarik untuk menguji apakah teori tersebut juga berlaku di Indonesia dengan latar belakang sosial. Ekonomi, kultural, polotik, dan teknologi yang berbeda? Apakah kedudukan determinan juga sama atau ada determinan lain yang ditemukan? Mengapa dan bagaimana peranan masing-masing determinan tersebut?
Tema inquiry adalah suatu tema perumusakn permasalahan penelitian yang bertitik tolak dari adanya keingin tahuan yang menggelora terhadap gejala yang dianggap istimewa atau mencolok. Sebagai contoh  di suatu tempat muncul gejala peledakan hama belalang. Sesuatu gejala yang sangat mendadak muncul tanpa diketahui terlebih dahulu gejala-gejalanya walaupun mungkin sadah ada, namun ternyata diluar pengamatan. Hal ini dengan sendirinya perlu mendapat menelasan tentang sebab musababnya sehingga perlu diadakan penelitian mendalam tentang timbulnya gejala tersebut. Hasil penelitian yang diperoleh akan sangat berguna untu memprediksikan kemungkinan-kemungkinan terjadinya hal serupa apabila memenuhi persyaratan seperti halnya penelitian yang dilaksanakan, sehingga kewaspadaan atau langkah-langkah preventif dapat diambil sebagai upaya antisipasi.
Tema eksplorasi adalah tema perumusan penelitian yang bertujuan untuk mencari kemungknan-kemungkinan ditemukannya sesuatu hal yang diinginkan dan biasanya mempunyai nilai pembangunan atau nilai ilmu pengetahuan yang besar. Sebagai contoh upaya untuk mencari terdapatnya cebakan minayak tanah atau muneral berharga lainnya, mencari terdapatnya spesies tumbuhan atau binatang langka. Hal ini biasanya didasarkan pada asumsi-asumsi ilmiah yang diperoleh dari literatur, sehingga pada kondisi serupa ada kemungkinan dapat ditemukan apa yang dicari, walaupun hal tersebut tidak selalu benar karena variasi kewilayahan dengan kompleksitas hubungan dan macamnya elemen ruang. Namun perusan masalahanya secara ilmiah dapat diakui.
Tema evaluasi adalahsuatu tema perumusan permasalahan peelitian yang bertujuan untuk menguji efektif atau tidaknya suatu kebijakan pembangunan. Sebagai contoh mengenai kebijakan kependudukan yang dikenal sebagai KB. Seorang peneliti ingin mengevaluasi sejauh mana kebijakan KB tersebut berdampak secara signifikan terhadap penurunan tingkat kelahiran pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu. Kalau berperan becara signifikan apa yang menjadi faktor determinannya, namun jika tidak, apa saja yang menjadi faktor determinannya. Contoh lain adalah perumusan permasalahan penelitian yang didasarkan pada upaya menilai, apakah peraturan IMB betul-betul efektif untuk mengatur tatanan bangunan pada suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu?
Tema kesenjangan antara harapan dan kenyataan adalah tema perumusan penelitian yang berusaha mencari jawaban megapa gejala-gejala tertentu bertentangan dengan teori. Sebagai contoh dapat dikemukakan di suatu wilayah telah dikategorikan sebagai daeah bahaya utama, yaitu suatu daerah yang setiap saat rentan terhadap ancaman bahaya yang dapat mengancam jiwa maupun hatra benda. Pemerinyah sudah berusaha melindungi waraganya untuk direlokasikan ketempat yang aman, namun warag bersikukuh untuk tidak mau pidah dari tempat tersebut dan bersedia mempertaruhkan jiwa demi tempat tinggalnya. Dalam hal ini ada kesenjangan yang besar antara harapan (penduduj akan mau atau sangat mengharapkan untuk direlokasikan ke tempat yang aman karena jiwa atau harta bendanya terancam), namun pada kenyatannya mereka tidak mau dipindahkan atau pindah. Penyebabnya perlu dikaji secar mendalam dari berbagai aspek dan kajian seperti ini merupakan hal yang sangat menarik.
Tema solusi adalah perumusan permasalahan penelitian yang didasarkan pada upaya mencari pemecahan atas suatu gejala yang dianggap telah mengancam kesejahteraan manusia dalam lingkup yang lebih luas manupun jiwa manusia baik jangka pendek maupun janka panjang. Sebagai contoh adalah adanya gejala mpenebangan liar pada hutan  lindung. Dalam jangka pendek maupun panjang gejala ini jelas akan mengakibatkan imbas negatif tidak hanya pada masyarakat lokal tetapi pada lingkup wilayah yang lebih luas antara lain menurunnya peranan hidrologis, peranan produktif, peranan konservatif, dan beberapa peranan lainnya. Hal ini perlu solusi untuk mengatasi untuk mengatasi agar penduduk tidak lagi menebangi pohon didalam hitan lindung. Dengan sendirinya upaya mencari jawaban mengapa mereka menebangi hutan adalah sasaraan utama dari penelitian, bau kemudian dikemukakan alternatif yang dapat diterima masyarakat untuk tidak lagi menebang pohon-pohondalam hutan lindung. Jadi, solusi yang ditawarkan tidak hanya sekedar saran-saran dari penelitian, namun merupakan sesuatu yang nyata telah disepakati. Hal ini lain dengan tema-tema perumusan penelitian yang terdahulu, dimana solusi baru tebaas pada saran-saran yang perlu ditindak lanjuti sehingga menjadi sesuatu yang riil sifatnya.
Tema inovasi dapat dicontohkan dalam hal upaya mencari suatu bentuk teknologi tertentu untuk penamfaatan limbah atau hal tertentu yang selama ini dinggap tidak berguna seperti gulma tertentu agar dapat dimanfaatkan. Teknologi tertentu untuk menjadukan enceng gondok menjadi sumber energi.
Tema rehabilitasi ditekankan pada upaya untuk memperbaiki kinerja suatu hal agar mempunyai kinerja yang lebih efektif dab efisien. Misalnya dalam hal teknologi tertentu/mesin tertentu untuk perontok jagung yang dirasakan tidak efisien atau efektif, kemudian dicari bentuk-bentuk lain sehingga mekanisme menjadi lebih cepat, efektif, dan efisien. Contoh lain di bidang kebijakan pembangunan wilayah, misalnya mengenai kebijakan dan konservasi lahan. Pada umumnya tema ini merupakan kelanjutan dari tema evaluasi.
Akhirnya, saya harus mengucapakan terima kasih sedalam-dalamnya kepada panitia yang mempercayakan pada saya untuk mempercayakan pada saya untuk memaparkan sedikit kerja elaborasi saya untuk kembali ke fitrah geografi.  Oleh karena masih banyak kekurangan yang dan dalam makalah ini dengan sendiri masukkan dari siapa saja sangat dibutuhkan sehingga misi staf pengajar  yang mempunyai tugas memberikan/menyebar luaskan ilmu geografi kepada siapa saja dan khususnya kepada generasi muda harapan masa depan bangsa ini sampai pad sasaran yang sebenarnya. Semoga sekelumit uraian mengenai salah satu permasalahan geografi yang kita hadapi bersama ini menjadi bahan renungan dan dapat ditindak lanjuti agar misi mengembangkan ilmu geografi tidak sia-sia dan mampu mengatasi gejala marginalisasi keilmuan yang ada serta menjadikan geografi berperan kardinal dalam setiap program pengembangunan berbasis wilayah.


REFERENSI
Ad Hoc Committee on Geography. 1965. The Science of Geography. Washington D.C.: Academy of Sciences.
Abler, R.; J.S.Adams; P.Gould. 1971. Spatial Organization. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Ackerman, E.A. 1963. Annals of The Association of American Geographers. 53.
Boulding, Kenneth E. 1968. General System Theory: The Skeleton of Science, in Walter Buckley (ed.), Modern System Research for the Behavioural Scientist. Chicago: Aldine.
Coffey, W.J. 1981. Geography: Toward A General Spatial System Approach. London: Methuen and Co., Ltd.
Dangana, L and Tropp, C. 1999. “Human Ecology and Environment Ethnics”. In M.Archia and S.Tropp (eds.) Environmental Management: Issued and Solution. Chicester: John Wiley and Sons.
Featherstone, M (ed.). 1990. Global Cultural. London: Sage.
Hagget, P. 1983. Geography A Modern Shyntesis. New York: Harper and Row Publishers.
Hebertshorne, R. 1959. Prespective on The Nature of Geogaphy. London: Murray.
Hebert, D.T. and Colin J. Thomas. 1982. Urban Geograpy: A First Approach. New York: John Wiley and Sons.
Hirst, P and Thompson, G. 1996. Globalization in Question. Cambrigde: Polity Press.
Johnston, R.J, Derck Gregory; Geraldine Pratt and M. WattS. 2000. The Dictionary of Human Geography. Oxford: Blackwell Publishers Ltd  
Waters, M. 1995. Globalization. London: Routledge
WCED. 1987. Our Common Future. Oxford: Oxford University Press.
Worster, D. 1977. Nature’s Economy: A History of Ecological Ideas. Cambridge: Cambrigde University Press.
Yeates, M. 1968. Introduction to Quantitative Analysis in Economical Geography. New Jersey: Englewood Cliffs.
Yunus, H.S. 2005. NMetode Penelitian Geografi Manusia: Pendekatan dan Permasalahan Penelitian. Disampaikan dalam Forum Seminar Pendekatan dan Metode Penelitian Geografi dalam rangka Penyusunan Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada.


Lampiran : Definisi Geografi
           
            Geography is descriptive and explaintory as it analysis the face of earth and it views its subject matters as changing and dynamic rather than static and fixed (Finch, C. Vernor, 1949).
            Geography is the science of the earth and its life, influence the way we life, the food we eat, the clothing we wear, the homes we build and the recreational activities we enjoy (Ekblaw and Mulkerne, 1958).
            Geography is such a dynamic subject that there a daily occurense which show how current events and human relationships are effected by geographic factors. Maps, photographs, and clippings which deal with such happenings when posted on a bulletin board and made the basic for class discussion will help to arise class in geography (Freeman, W. O. and Orris, 1958).
Geography has much to contribute to an understanding of modern global problems, one of its major objectives is to promoted an awareness of the relationships understanding of the differences between one region and another (Miller and Renner, 1958)
Geography is concerned to provide an accurate, orderly, and rational description of the variable character of the earth surface (Hartshorne, 1959).
Geography, its goal is noting less thn an understanding of the vast, interacting system comprising all humanity and its natural environment on the surface of the earth (Ackerman, 1963).
Geography seeks to explain how the sub system of the physical environments are organized on the eart’s surface, and how men to distribute him self over the earth in relation to physical features and to other men (Academy of Science, 1965)
Geography is concerned with giving men an orderly description of their world..however..the contemporary srees is on geography as the study of spatial organization expressed as pattern and procces (Teaffe, 970)
Geography..a science concerned with the rational development and using of theories that explain and predict the spatial distribution and location of various characteristics on the surface of the earth (Yeates, 1968).
            Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala muka bumi dan peristiwa –peristiwa yang terjadi di muka bumi, baik yang bersifat fisik maupun yang menyangkut makhluk hidup beserta permasalahannya melalui pendekatan keruangan, ekologi, dan regional unutk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan (Bintarto, 1981).
            Geografi di Indonesia mempelajari geosfera serta komponen-komponennya secara terpadu, holistik dan sistematik dalam konteks keruangan, lingkungan, serta komplek wilayah untuk kepentingan negara, peradaban manusia, dan ilmu pengetahuan atau pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan (Sugeng Martopo. 1995).