BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia di dalam pergaulan masyarakat
diliputi oleh norma-norma, yaitu peraturan hidup yang mempengaruhi tingkah laku
manusia di dalam masyarakat. Sejak masa kecilnya manusia merasakan adanya
peraturan-peraturan hidup yang membatasi sepak terjangnya.
Tetapi dengan adanya norma-norma maka penghargaan
dan perlindungan terhadap diri dan kepentingan-kepentingannya juga
kepentingan-kepentingan setiap warga masyarakat lainnya serta ketentraman dalam
masyarakat terpelihara dan terjamin.
B.
RUANG LINGKUP MAKALAH
Ruang lingkup pembahasan makalah ini adalah
berkaitan dengan proses peradilan di Negara Indonesia.
C.
TUJUAN
Tujuan Pembuatan makalah ini adalah
untuk membahas, memahami dan mengetahui proses peradilan di Negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian hukum
Menurut pendapat para
sarjana tentang hukum :
a.
Prof. Mr. E.M. Mayers
Dalam bukunya De
Algemene begrippen van het Burgerlijk Recht “Hukum adalah semua aturan yang
mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa Negara dalam
melakukan tugasnya”
b.
Leon Duguit
Hukum ialah aturan tingkah laku para anggota masyarakat,
aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu di indahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar
menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.
c.
Immanuel Kant
Hukum ialah
keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu
dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti
peraturan hukum tentang kemerdekaan.
d.
S.M Amin., S.H
Dalam bukunya “bertamasya ke alam hukum”, hukum dirumuskan
sebagai kumpulan-kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma dan
sanksi-sanksi.
e.
J.C.T. Simorangkir.,S.H
dan Woerjono Sastropranoto.,S.H
Dalam bukunya “pelajaran hukum Indonesia” , hukum ialah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi mengakibatkan diambilnya
tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
f.
M.H.
Tirtaatmidjaja.,S.H
Dalam
bukunya “Pokok-pokok hukum perniagaan” ditegaskan bahwa hukum ialah semua
aturan (norma) yang harus diturut dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam
pergaulan hidup dengan ancaman mesti menggantikan kerugian-jika melanggar
aturan-aturan itu-akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang
akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
B.
Hukum pidana
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan
umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan
atau siksaan.
Dalam
hukum pidana, yang bertindak dan yang mengurus perkara ke dan dimuka Pengadilan
Pidana, bukanlah pihak korban sendiri melainkan alat-alat kekuasaan Negara
seperti polisi, jaksa, dan hakim.
Pidana
adalah hukuman berupa siksaan yang merupakan keistimewaan dan unsur yang
terpenting dalam hukum Pidana. Sifat dari hukum adalah memaksa dan dapat
dipaksakan, dan paksaan itu perlu untuk menjaga tertibnya, diturutnya
peraturan-peraturan hukum atau untuk memaksa si perusak memperbaiki keadaan
yang dirusakannya atau mengganti kerugian yang disebabkannya.
C.
Proses peradilan di Negara Indonesia
1.
Kepolisian
a.
Penyelidik dan Penyelidikan
i.
Penyelidik
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi Negara
Republik Indonesia (Pasal 4).
Dalam pasal 5 KUHP
ditegaskan bahwa :
(1)
Penyelidik sebagimana
dimaksud dalam pasal 4 diatas :
a.
Karena kewajibannya
mempunyai wewenang :
1.
Menerima laporan atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2.
Mencari keterangan dan
barang bukti;
3.
Menyuruh berhenti
seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
4.
Mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Adapun
yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk
kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a)
Tidak bertentangan
dengan suatu aturan hukum
b)
Selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan
c)
Tindakan itu harus
patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya
d)
Atas pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan memaksa
e)
Menghormati hak asasi
manusia
b.
Atas perintah penyidik
dapat melakukan tindakan berupa :
1.
Penangkapan, larangan
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan.
2.
Pemeriksaan dan
penyitaan surat
3.
Mengambil sidik jari
dan memotret seorang
4.
Membawa dan
menghadapkan seorang kepada penyidik.
(2)
Penyelidik membuat dan
menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut pada ayat
(1) huruf a dan huruf b kepada penyidik.
ii.
Penyelidikan
Penyelidik
yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa
yang patut di duga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan
penyelidikan yang diperlukan (pasal 106).
Dalam
hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelidikan sebagaimana
tersebut pada pasal 5 ayat (1) huruf b.
Terhadap tindakan yang dilakukan tersebut, penyelidik wajib membuat berita
acara dan melaporkannya kepada penyidik sedaerah hukum.
Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau
pengadu. Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh
penyelidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyelidik.
Dalam
hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal itu baru disebutkan sebagai
catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut (pasal 103).
Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya
(pasal 104). Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, menurut pasal 105 KUHP,
penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyelidik tersebut
pada pasal 6 ayat (1) huruf a.
b.
Penyidik dan Penyidikan
i.
Penyidik
Dalam pasal 6 KUHP
ditegaskan bahwa :
(1)
Penyidik adalah :
a.
Pejabat polisi Negara
Republik Indonesia
b.
Pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
(2)
Syarat kepangkatan
pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.
Kedudukan
dan kepangkatan penyidik diatur dalam peraturan pemerintah diselaraskan dan
diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim
peradilan umum.
Penyidik
sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya menurut
pasal 7 KUHP mempunyai wewenang :
a.
Menerima laporan atau
pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana.
b.
Melakukan tindakan
pertama pada saat di tempat kejadian.
c.
Menyuruh berhenti
seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dari tersangka.
d.
Melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
e.
Melakukan pemeriksaan
dan penyitaan surat.
f.
Mengambil sidik jari
dan memotret seorang.
g.
Memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
h.
Mendatangkan orang ahli
yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara.
i.
Mengadakan penghentian
penyelidikan.
j.
Mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)
huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi
dan pengawasan penyidik tersebut dalam pasal 6 ayat (1) huruf a.
Adapun yang dimaksud dengan “penyelidik” dalam ayat
ini adalah misalnya pejabat bea dan cukai, pejabat imigrasi dan pejabat
kehutanan, yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang
diberikan oleh undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Dalam
melakukan tugasnya, penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 KUHAP dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini.
Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut
umum. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dilakukan pada tahap
pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; dalam hal penyidikan sudah
dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang
bukti kepada penuntut umum (pasal 8).
Penyelidik dan penyidik sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 ayat (1) huruf a mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada
umumnya di seluruh wilayah Indonesia, khususnya di daerah hukum masing-masing
di mana ia diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Dalam keadaan mendesak dan perlu, untuk tugas
tertentu demi kepentingan penyelidikan, atas perintah tertulis Menteri
Kehakiman, pejabar imigrasi dapat melakukan tugasnya sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku (pasal 9).
ii.
Penyidikan
Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau
pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (pasal 106).
Tata cara melakukan tindakan penyidikan diatur dalam
pasal 107 KUHP sebagai berikut :
(1)
Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf a memberikan petunjuk
kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan memberikan bantuan
penyidikan yang diperlukan.
(2)
Dalam suatu peristiwa
yang patut diduga merupakan tindakan pidana sedang dalam penyidikan oleh
penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b dan kemudian ditemukan bukti
yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik tersebut pada pasal 6
ayat (1) huruf b melaporkan hal itu kepada penyidik tersebut pada pasal 6 ayat
(1) huruf a.
(3)
Dalam hal tindak pidana
telah selesai disidik oleh penyidik tersebut pada pasal 6 ayat (1) huruf b, ia
segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik
tersebut pada pasal (6) ayat 1 huruf a.
Dalam
penyelidikan atau pun penyidikan harus ada laporan atau pengaduan baik lisan
maupun tulisan.
Ø Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau
menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan
laporan atau pengaduan kepada penyelidik dan atau penyidik baik lisan maupun
tertulis.
Ø Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk
melakukan tindak pidana terhadap ketentraman dan keamanan umum atau terhadap
jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut
kepada penyelidik atau penyidik.
Ø Setiap pegawai negeri sipil dalam rangka melaksanakan
tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak
pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik. Laporan
atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor
atau pengadu.
Ø Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus
dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan
penyidik. Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik
harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan, penyelidik atau
penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada
yang bersangkutan (pasal 108).
TERSANGKA DAN TERDAKWA
Pasal 50
(1)
Tersangka berhak
mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada
penuntut umum.
(2)
Tersangka berhak
perkaranya segera dimajukan kepengadilan oleh penuntut umum
(3)
Terdakwa berhak untuk
segera diadili oleh pengadilan
Pasal
52
Dalam pemeriksaan
pada tingkat penyelidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak
memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim.
Pasal
53
(1)
Dalam pemeriksaan pada
tingkat penyelidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak untuk
setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa sebagaimana dimaksud dalam pasal 177
(2)
Dalam hal tersangka
atau terdakwa bisu dan tuli diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 178.
Dalam
hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.
Dalam
hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum, amka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut
umum, tersangka atau keluarganya.
Dalam
hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera
disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.
Penyidikan
dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak
mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada
penyidik (pasal 110).
Dalam
hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan kemanan umum wajib,
menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada
penyelidik atau penyidik. Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana
tersebut dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera
melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan.
Penyelidik
dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ketempat kejadian
dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di
situ belum selesai.
Pelanggar
larangan tersebut dapat dipaksa tinggal ditempat itu sampai pemeriksaan
dimaksud di atas selesai (pasal 111).
Penyidik
yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas,
berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa
dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tengang waktu yang wajar
antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan
tersebut. Pemanggilan tersebut harus dilakukan dengan surat panggilan yang sah,
artinya surat panggilan yang ditandatangani oleh pejabat penyidik yang
berwenang.
Orang
yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik
memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya
(pasal 112).
Jika
seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar
bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan,
penyidik itu datang ketempat kediamannya (pasal 113).
Dalam
hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sbelum dimulainya
pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang
haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib
didampingi oleh penasehat hukum sebagaimana dmaksud dalam pasal 56.. untuk
menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka sejak dalam taraf penyidikan kepada
tersangka sudah dijelaskan bahwa tersangka berhak didampingi penasihat hukum
pada pemeriksaan di siding pengadilan (pasal 114).
Dalam
hal penyidik sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka, penasihat hukum
dapat mengikuti jalannya pemeriksaan dengan cara melihat serta mendengar
pemeriksaan. Penasihat hukum mengikuti jalannya pemeriksaan secara pasif.
Dalam
hal kejahatan terhadap keamanan Negara penasihat hukum dapat hadir dengan cara
melihat tetapi tidak dapat mendnegar pemeriksaan terhaap tersangka (pasal 115).
SAKSI
Dalam
hal pemeriksaan saksi, pasal 117 KUHAP menegaskan bahwa :
(1)
Keterangan tersangka
dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau
dalam bentuk apapun.
(2)
Dalam hal tersangka
memneri keterangan tentang apa yang sebenarnya ia telah lakukan sehubungan
dengan tindak pidana yang dipersangkakan kepadanya, penyidik mencatat dalam
berita acara seteliti-telitinya sesuai dengan kata yang dipergunakan oleh
tersangka sendiri.
Pasal 118
(1)
Keterangan tersangka
dan/atau saksi dicatat dalam berita acara yang ditandatangani oleh penyidik dan
oleh yang member keterangan itu setelah mereka menyetujui isinya.
(2)
Dalam hal tersangka
dan/atau saksi tidak mau membubuhkan tandatangannya, penyidik mencatat hal itu
dalam berita acara dengan menyebut alasannya.
Pasal 119
Dalam
hal tersangka dan/atau saksi yang harus didengar keterangannya berdiam atau
bertempat tinggal di luar daerah hukum penyidik yang menjalankan penyidikan,
pemeriksaan terhadap tersangka dan/atau saksi dapat dibebankan kepada penyidik
ditempat kediaman atau tempat tinggal tinggal tersangka dan/atau saksi
tersebut.
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat
orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Ahli tersebut mengangkat
sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik bahwa ia akan memberikan keterangan
menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya kecuali bila disebabkan karena
harkat dan martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan
rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta (pasal 120).
Penyidik atas kekuatan sumpah jabatannya segera
membuat berita acara yang diberi tanggal dan memuat tindak pidana yang
dipersangkakan, dengan menyebut waktu, tempat dan keadaan pada waktu tindak
pidana dilakukan, nama dan tempat tinggal dari tersangka dan atau saksi,
keterangan mereka, catatan mengenai akta dan atau benda serta segala sesuatu
yang dianggap perlu untuk kepentingan penyelesaian perkara (pasal 121).
Tersangka, keluarga atau penasihat hukum dapat
mengajukan keberatan atas penahanan atau jenis penahanan tersangka kepada
penyidik yang melakukan penahanan itu. Atas penahanan tersangka oleh penyidik
amka tersangka, keluarga atau penasihat hukumnya dapat menyatakan keberatannya
terhadap penahanan tersebut kepada penyidik, maupun kepada instansi yang
bersangkutan, dengan disertai alasannya. Untuk itu penyidik dapat mengabulkan
permintaan tersebut dengan mempertimbangkan tentang perlu atau tidaknya
tersangka itu tetap ditahan atau tetap ada dalam jenis penahanan tertentu.
Penyidik atau atasan penyidik sebagaimana dimaksud
dalam ayat tersebut dapat mengabulkan permintaan dengan atau tanpa syarat
(pasal 123). Dalam hal apakah sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut
hukum, tersangka, keluarga atau paenasihat hukum dapat mengajukan hal itu
kepada pengadilan negeri setempat untuk diadakan praperadilan guna memperoleh
putusan apakah penahanan atas diri tersangka tersebut sah atau tidak sah
menurut undang-undang ini (pasal 124).
PENGGELEDAHAN
Pasal 32
Untuk
kepentingan penyelidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau
penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tatacara yang ditentukan
dalam undang-undang ini.
Pasal 33
(1)
Dengan surat izin ketua
pengadilan setempat penyidik dalam melakukan penyidikan dapat mengadakan
penggeledahan rumah yang diperlukan.
(2)
Dalam hal yang
diperlukan atas perintah tertulis dari penyidik, petugas kepolisian Negara
Republik Indonesia dapat memasuki rumah.
(3)
Setiap kali memasuki
rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni
menyetuhuinya.
(4)
Setiap kali memasuki
rumah harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang
saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir.
(5)
Dalam waktu dua hari
setelah memasuki dan atau menggeledah rumah, harus dibuat suatu berita acara
dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang
bersangkutan.
Pasal
34
(1)
Dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan suart izin terlebih dahulu, dengan tidak mengurangi
ketentuan pasal 3 ayat (5) penyidik dapat melakukan penggeledahan :
a.
Pada halaman rumah
tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada dan yang ada diatasnya,
b.
Pada setiap tempat lain
tersangka bertempat tinggal, berdiam atau ada,
c.
Di tempat tindak pidana
dilakukan atau terdapat bekasnya,
d.
Di tempat penginapan
dan tempat umum lainnya.
(2)
Dalam hal penyidik
melakukan penggeledahan seperti dimaksud dalam ayat (1) penyidik tidak
diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak
merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan,
kecuali benda yang berhubungan dengan tindak pidana yang bersangkutan atau yang
diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dan untuk itu
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh
persetujuannya.
Pasal
37
(1)
Pada waktu menangkap
tersangka, penyellidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang
dibawanya serta, apabila terdapat dugaan keras dengan alas an yang cukup bahwa
pada tersangka tersebut terdapat benda yang dapat disita.
(2)
Pada waktu menangkap
tersangka atau dalam hal tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibawa
kepada penyidik, penyidik berwenang menggeledah pakaian dan atau menggeledah
badan tersangka.
PENYITAAN
Pasal 38
(1)
Penyitaan hanya dapat
dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.
(2)
Dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak
mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi
ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak
dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya.
Pasal 39
(1)
Yang dapat dikenakan
penyitaan adalah :
a.
Benda atau tagihan
tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b.
Benda yang telah
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk
mempersiapkannya.
c.
Benda yang dipergunakan
untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana.
d.
Benda yang khusus
dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana
e.
Benda lain yang
mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
(2)
Benda yang berada dalam
sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk
kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang
memenuhi ketentuan ayat (1).
Benda
sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing-masing,
ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang
dari mana benda itu disita dan lain-lainnya yang kemudian diberi lak dan cap
jabatannya dan ditandatangani oleh penyidik.
Dalam
hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik member catatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau
dikaitkan pada benda tersebut. Ketentuan pasal ini untuk mencegah kekeliruan
dengan benda lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan
untuk penyitaan benda tersebut telah dilakukan (pasal 130).
Mengenai
penyidikan korban luka, keracunan atau mati, pasal 133 KUHAP menegaskan :
(1)
Dalam hal penyidik
untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2)
Permintaan keterangan
ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam
surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat
dan atau pemeriksaan bedah mayat. Keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan
oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.
(3)
Mayat yang dikirim
kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus
diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang
diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain dari badan mayat
Dalam
hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak
mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada
keluarganya korban. Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
Apabila
dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini (pasal 134).
Dalam
hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian mayat, dilaksanakan
menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (2) dan pasal 134
ayat (1) undang-undang ini. Sedang yang dimaksud dengan “penggalian mayat”
termasuk pengambilan mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan (pasal
135).
Semua
biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
Bagian Kedua Bab XIV ditanggung oleh Negara (pasal 136).
2.
Kejaksaan
Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya
dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (137).
Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik
segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau
belum.
Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang
harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal
penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu
kepada penuntut umum. Adapun yang dimaksud dengan “meneliti” adalah tindakan
penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan atau benda yang
tersebut dalam hasil penyelidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat
pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik
(pasal 138).
Setelah penuntut umum menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan kepengadilan (pasal
139).
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat
dakwaan.
Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan
membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir
bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal :
a.
Beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak
menjadikan halangan terhadap penggabungannya.
b.
Beberapa tindak pidana
yang bersangkut-paut satu dengan yang lainnya; adapun yang dimaksud dengan
“tindak pidana dianggap mempunyai sangkut-paut satu dengan yang lain” , apabila
tinda pidana tersebut dilakukan
1)
Oleh lebih dari seorang
yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan
2)
Oleh lebih dari seorang
pada saat dan tempat yang berbeda, akan tetapi merupakan pelaksanaan dari
permufakatan jahat yang dibuat oelh mereka sebelumnya.
3)
Oleh seorang atau lebih
dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana lain atau menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lalin.
c.
Beberapa tindak pidana
yang tidak bersangkut paut satu dengan yang lain, akan tetapi yang satu dengan
yang lain itu ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu
bagi kepentingan pemeriksaan (pasal 141).
Dalam hal penuntut umum menerima satu berkas perkara
yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukakn oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan pasal 141, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap masing-masing terdakwa secara terpisah (pasal
142).
Berkenaan dengan pelimpahan perkara oleh penuntut
umum ke pengadilan negeri, pasal 143 KUHAP menjelaskan :
(1)
Penuntut umum
melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera
mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.
(2)
Penuntut umum membuat
surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi :
a.
Nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan tersangka
b.
Uraian secara cermat,
jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan
waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan
(3)
Surat dakwaan yang
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi
hukum.
(4)
Turunan surat
pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau
kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri; adapun yang
dimaksud dengan “surat pelimpahan perkara” adalah surat pelimpahan perkara itu
sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.
Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan
menetapkan hari siding, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk
tidak melanjutkan penuntutannya. Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat
dilakukan hanya satu kali selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia
menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik
(pasal 144).
3.
Pengadilan
Dalam hal pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara
dan berpendapat bahwa perkata itu sudah termasuk wewenangnya, ketua pengadilan
menunjuk hakim yang akan menyidangkan perkara tersebut dan hakim yang ditunjuk
itu menetapkan hari sidang. Yang dimaksud dengan “hakim yang ditunjuk” ialah
majelis hakim atau hakim tunggal.
Hakim dapat menetapka hari sidang sebagimana dimaksud dalam
ayat (1) memerintahkan kepada penuntut umum supaya memanggil terdakwa dan saksi
untuk datang disidang pengadilan. Pemanggilan terdakwa dan saksi dilakukan
dengan surat panggilan oleh penuntut umum secara sah dan harus diterima
terdakwa dalam jangka waktu sekurang-kurangnya tiga hari sebelum sidang dimulai
(pasal 152).
Pasal 153 KUHAP mengatur tentang persidangan sebagai berikut
:
(1)
Pada hari yang
ditentukan menurut pasal 152 pengadilan bersidang
(2)
a. Hakim ketua sidang
memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam
bahsa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi.
b. Ia wajib
menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang mengakibatkan
terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara tidak bebas.
(3)
Untuk keperluan
pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
(4)
Tidak terpenuhinya
ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi
hukum. Jaminan yang diatur dalam ayat (3) di atas diperkuat berlakunya,
terbukti dengan timbulnya akibat hukum jika asas peradilan terbuka tidak
terpenuhi.
(5)
Hakim ketua sidang
dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak
diperkenankan menghadiri sidang. Untuk menjaga supaya jiwa anak yang masih
dibawah umur tidak terpengaruh oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa,
lebih-lebih dalam perkara kejahatan berat, maka hakim dapat menentukan bahwa
anak dibawah umur tujuh belas tahun, kecuali yang telah atau pernah kawin,
tidak diperbolehkan mengikuti sidang.
Berkenaan dengan pemanggilan terdakwa oleh hakim, pasal 154
KUHAP menegaskan :
(1)
Hakim ketua sidang memerintahkan
supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam
keadaan bebas; sedangkan yang dimaksud denga “keadaan bebas” adalah keadaan
tidak dibelenggu tanpa mengurangi pengawalan.
(2)
Jika dalam pemeriksaan
perkara terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada hari sidang yang telah
ditetapkan, hakim ketua sidang meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara
sah
(3)
Jika terdakwa dipanggil
secara sah, hakim sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa
dipanggil lagi untu hadir pada hari sidang berikutnya.
(4)
Jika terdakwa ternyata
telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alas an yang
sah, pemeriksaan perkara tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang
memerintahkan agar terdakwa di panggil sekali lagi. Kehadiran terdakwa di
sidang merupakan kewajiban dari terdakwa, bukan merupakan haknya, jadi terdakwa
harus hadir di sidang pengadilan.
(5)
Jika dalam suatu
perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada
hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan.
(6)
Hakim ketua sidang
memerintahkah agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alas an yag sah setelah
dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang
berikutnya. Dalam hal terdakwa setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh tidak
dapat dihadirkan dengan baik, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa.
(7)
Panitera mencatat
laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) dan atay (6) dan dapat menyampaikannya kepada hakim ketua sidang.
Pada permulaan sidang, hakim ketua sidang menanyakan kepada
terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahiar, umur atau tanggal lahir, jenis
kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta mengingatkan
terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di
sidang. sesudah itu hakim ketua sidang meminta kepada penuntut umum untuk
membacakan surat dakwaan.
Selanjutnya hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa
apakah ia sudah benar-benar mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua
sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan. Untuk menjamin terlindungnya
hak terdakwa guna memberikan pembelaannya, maka penuntut umum memberikan
penjelasan atas dakwaan,tetapi penjelasan ini hanya dapat dilaksanakan pada
permulaan sidang (pasal 155).
Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan keberatan
bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili perkaranya atau dakwaan tidak dapat
diterima atau surat dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan
kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim mempertimbangkan
keberatan tersebut untuk selanjutnya mengambil keputusan. Jika hakim menyatakan
keberatan tersebut diterima, maka perkara itu tidak diperiksa lebih lanjut,
sebaliknya dalam hal tidak diterima atau hakim berpendapat hal tersebut baru
dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, maka sidang dilanjutkan. Dalam hal
penuntut umum keberatan terhadap keputusan tersebut, maka ia dapat mengajukan
perlawanan kepada pengadilan tinggi melalui pengadilan negeri yang
bersangkutan.
Dalam hal perlawanan yang diajukan oleh terdakwa atau
penasihat hukumnya diterima oleh pengadilan tinggi, maka dalam waktu empat
belas hari, pengadilan tinggi dengan surat penetapannya membatalkan putusan
pengadilan negeri dan memerintahkan pengadilan negeri yang berwenang untuk
memeriksa perkara itu.
Hakim ketua sidang selanjutnya meneliti apakah semua saksi
yang dipanggil telah hadir dan member perintah untuk mencegah jangan sampai
saksi berhubungan satu dengan yang lain sebelum memberi keterangan di sidang.
Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan
sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi
itu tidak akan mau hadir, maka hakim ketua sidang dapat memerintahkan supaya
saksi tersebut kepersidangan. Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap
orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil kesuatu sidang pengadilan
untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat
dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Demikian
pula halnya dengan ahli (pasal 159).
Dalam hal meminta keterangan saksi pasal 160 KUHAP mengatur
sebagai berikut :
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang
demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua
sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum.
b. yang pertama-tama didengar keterangannya
adalah korban yang menjadi saksi.
c. Dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan
maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara
dan atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum
selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua
sidang wajib mendengar saksi tersebut.
(2) Hakim ketua sidang
menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur
atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agam dan
pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau
semenda sampai sederajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau
isttri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.
(3) Sebelum member
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya
masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak
lain daripada yang sebenarnya.
(4) Jika pengadilan
menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib bersumpah atau berjanji sesudah
saksi atau ahli itu selesai member keterangan.
Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji sebgaimana dimaksud dalam pasal 160 ayat (3) dan ayat
(4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia denga surat
penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera ditempat rumah tahanan
Negara paling lama empat belas hari.
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa yang
bersalah melakukannya. Ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang (pasal 183).
Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah :
a.
Keterangan saksi;
b.
Keterangan ahli;
c.
Surat;
d.
Petunjuk;
e.
Keterangan terdakwa.
Hal
yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Dalam
pasal 196 KUHAP ditegaskan bahwa :
(1)
Pengadilan memutus
perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan
lain.
(2)
Dalam hal terdapat
lebih dari seorang terdakwa dalam satu perkara, putusan dapat diucapkan dengan
hadirnya terdakwa yang ada.
(3)
Segera sesudah putusan
pemidanaan diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada
terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya, yaitu :
a.
Hak segera menerima
atau segera menolak keputusan;
b.
Hak mempelajari putusan
sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini;
c.
Hak meminta penangguhan
pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undnag-undang
untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.;
d.
Hak minta diperiksa
perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh
undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan;
e.
Hak mencabut pernyataan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam tenggang waktu yang ditentukan
undang-undang ini.
Pasal
197 :
(1)
Surat putusan
pemidanaan memuat :
a.
Kepala keputusan yang
dituliskan bunyinya : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b.
Nama lengkap, tempat
lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan terdakwa;
c.
Dakwaan sebagaimana
terdapat dalam surat dakwaan;
d.
Pertimbangan yang
disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang
diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan
terdakwa;
e.
Tuntutan pidana,
sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f.
Pasal peraturan
perundang-undangan yang menjdai dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai
keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.
Hari dan tanggal
diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksaoleh hakim
tunggal;
h.
Pernyataan kesalahan
terdakw, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana
disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i.
Ketentuan kepada siapa
biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan
mengenai barang bukti;
j.
Keterangan bahwa
seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana letaknya kepalsuan itu,
jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.
Perintah supaya
terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;
l.
Hari dan tanggal
putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera.
(2)
Tidak terpenuhinya
ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3)
Putusan dilaksanakan
dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.
BAB III
KESIMPULAN
Proses persidangan termasuk proses beracara dimana semua tata
cara persidangan mulai dari tugas kepolisian, kejaksaan sampai dengan pengadilan
tertuang dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kepolisian dalam hal ini bertugas sebagai penyelidik dan
penyidik, kemudian menyerahkan berkas pemeriksaan ke kejaksaan. Pelimpahan dari
kepolisian ke kejaksaan disebut P19.
Tugas kejaksaan adalah setelah Berita Acara Pemeriksaan
dilimpahkan dari pihak kepolisian, kejaksaan harus mengecek dan meneliti apakah
berkas tersebut sudah sempurna atau belum. Apabila dianggap belum sempurna,
maka dikembalikan lagi ke kepolisian untuk disempurnakan, tetapi apabila berkas
tersebut dianggap sudah sempurna (P21) maka selanjutnya dibuatkan surat dakwaan
kemudian didaftarkan ke pengadilan negeri untuk disidangkan.