RIBA DALAM PEREKONOMIAN
LARANGAN RIBA
Larangan
Riba dalam Al-Qur’an penurunan wahyu Al-Qur’an bertahap sebanyak empat kali:
1.
Ar-Ruum:39 à menegaskan bahwa bunga akan menjauhkan keberkahan Allah dalam kekayaan,
sedangkan sedekah akan meningkatkannya berlipat ganda.
39.
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka
(yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
2.
An-Nisa:161 à Mengutuk keras praktik riba dengan menyejajarkan orang yang
mengambil riba dengan orang yang mengambil kekayaan orang lain dengan tidak
benar dan mengancam kedua pihak dengan siksa yang amat pedih.
161.
dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.
3.
Ali Imran 130-132 à menyerukan kaum muslimin untuk
menjauhi riba jika menghendaki kesejahteraan yang diinginkan (dalam
makna Islam yang sebenarnya)
130.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
131.
Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang
kafir
132.
Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat.
4.
Al-Baqarah: 275-281à mengutuk keras orang yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang
jelas antara perniagaan dan riba, dan menuntut kaum muslimin untuk menghapuskan
seluruh utang-piutang yang mengandung riba, dengan mengambil pokoknya saja dan
mengikhlaskan kepada peminjam yang mengalami kesulitan.
275.
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya
apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
276.
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap
orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa
278.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman
279.
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
280.
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh
sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu,
lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
281.
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu
kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi
balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka
sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).
Dalam hadist dijelaskan bahwa:
1. Dari Jabir r.a., Rasulullah S.A.W
bersabda, ”terkutuklah orang yang menerima dan membayar riba (bunga), orang
yang menulisnya, dan dua orang saksi yang menyaksikan transaksi itu.” Beliau
lalu bersabda, ”mereka semua sama (dalam berbuat dosa)” (H.R. Muslim dan
Tirmidzi)
2. Dari Abdullah bin Hanzalah, Rasulullah SAW
bersabda, ”satu dirham riba yang diterima seseorang dan dia tahu adalah lebih
buruk daripada berzina 36 kali” (H.R. Ahmad & Duruquthni)
3. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda, ”Akan datang suatu zaman dimana manusia akan mengambil riba dan jika
ia tidak mengambilnya, debunya akan menyentuhnya.” (H.R. Abu Dawud & Ibnu
Majah)
4. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda, ”Riba memiliki tujuh puluh cabang (dosa); yang paling kecil adalah
setara dengan seorang yang menzinai ibunya sendiri” (H.R. Ibnu Majah)
Arti Riba
Secara bahasa à bermakna (ziyadah=tambahan) bertambah, berkembang, atau tumbuh. Catatan : namun tidak berarti semua pertambahan / pertumbuhan dalam Islam adalah haram/dilarang.
Secara teknis riba berarti pengambilan tambahan
dari harta pokok atau modal secara bathil; Riba adalah pengambilan tambahan,
baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjamn-meminjam secara bathil. Ibnu Al
Arabi Al-Maliki menjelaskan bahwa Riba adalah setiap penambahan yang diambil
tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah
(Antonio, 1999).
Dalam pengertian syariah, Riba dibagi menjadi dua
: Riba Nasi’ah dan Riba al-Fadhl.
1. Riba Nasi’ah
Dari kata nasaa’ yang berarti menunda, menangguhkan atau
menunggu. Secara maknawi berarti mengacu kepada pembayaran ”premi” yang harus dibayarkan oleh peminjam
kepada pemberi pinjaman disamping pengembalian pokok sebagai syarat pinjaman
atau perpanjangan batas jatuh tempo.
Riba ini mengacu pada penetapan suatu keuntungan
positif di depan sebagai kompensasi pada suatu pinjaman karena menunggu.
Pelarangan terhadap hal ini mutlak, tidak peduli dengan apakah digunakan untuk
produktif atau konsumtif, apakah bersifat tetap atau berubah prosentasenya,
apakah dibayar di depan atau di belakang, atau sebagai bentuk
hadiah atau kompensasi pelayanan yang diberikan (Umar Chapra, 2000).
Namun yang menjadi catatan adalah, bahwa riba
berbeda dengan perdagangan.
2. Riba Fadhl
Riba ini mengacu pada bentuk pertukaran yang tidak
jujur dan tidak adil.
Riba ini merupakan riba (tambahan) yang dilibatkan
pada transaksi pembelian dari tangan ke tangan (tunai) dan penjualan komoditas.
Pembahasan riba fadhl muncul dari hadist-hadist
yang menuntut bahwa jika emas, perak, gandum, jelai, kurma, dan garam
dipertukarkan masing-masing dengan barang yang sama, mereka harus ditukar di
tempat (spot) dan dengan takaran dan timbangan yang sama dan serupa.
Ada beberapa pendapat yang terkait dengan larangan
pada komoditas-komoditas ini. Pada
umumnya para ulama bersepakat bahwa pada dua jenis barang pertama (emas dan
perak) dilarang dijadikan pertukaran dengan adanya tambahan karena barang
tersebut mewakili uang. Sedang empat barang lainnya mewakili kelompok bahan
pokok makanan (pada saat itu), sehingga terdapat perbedaan dalam menafsirkan larangan
terhadap pertukaran dengan tambahan meskipun dengan spot pada empat
bahan makanan ini. Beberapa pendapat itu adalah:
1. bahwa empat komoditas tersebut dijual
dengan timbangan dan ukuran (Hanafi, Hanbali, Imami, dan Zaidi).
2. bahwa keempat barang tersebut mempunyai
karakteristik dapat dimakan (Syafi’i dan Hanbali).
3. bahwa barang-barang tersebut merupakan
bahan makanan yang dapat disimpan dengan lama (tanpa rusak) (Maliki).
4. terbatas pada enam komoditas tersebut saja
(Zhahiri)—merupakan minoritas
5. keenam komoditas tersebut pada zaman
dahulu dipergunakan sebagai uang di dalam dan di luar Madinah, terutama di
kalangan orang Badui.
(Menurut Umar chapra, pendapat ini paling kuat)
Sehingga tambahan yang diberikan dari pertukaran uang dilarang.
Yang dilakukan terhadap pertukaran komoditas yang
sejenis, tapi berbeda kualitas jika ingin mempertukarkannya
dengan adanya tambahan, rasulullah memberikan solusi dan arahan dengan
menukarkannya dulu dengan uang sehingga nilainya jelas.
Bahan diskusi:
1. apa hikmah/ pelajaran dari larangan Riba
fadhl?
2. bagaiman solusi untuk menghindari riba
nasi’ah?